PERGELARAN WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA PENANAMAN KARAKTER ANAK (PERSPEKTIF HUKUM EPIK AXEL OLRIX)


SARI
Salah satu sastra lisan yang paling populer di masyarakat Jawa adalah pergelaran wayang kulit. Lakon wayang kulit Jawa diambil dari epik India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Pergelaran wayang kulit juga menjadi tuntunan bagi masyarakat yang menonton. Maksudnya, wayang bukan sekadar sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai media komunikasi, penyuluhan dan pendidikan. Maka, pergelaran wayang kulit dapat dijadikan wahana penanaman karakter yang memuat moral, etika, dan nilai-nilai adi luhung. Untuk memahami dan menemukan moral, etika, dan nilai-nilai adi luhung pergelaran wayang kulit dibutuhkan teori yang relevan. Penelitian ini akan menggunakan teori hukum epik Axel Olrix dan menggunakan objek pergelaran wayang kulit lakon Laire Semar dengan dalang Ki. Purbo Asmoro. Hukum Epik Axel Olrix tersebut mempunyai dua belas hukum yang akan digunakan untuk menganalisis. Akan tetapi, dalam penelitian ini Hukum Epik Axel Olrix yang diambil hanya tiga poin yang berkaitan dengan penanaman karakter anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi untuk memahami keterkaitan antara moral dan nilai-nilai di masyarakat dengan yang digambarkan pada pergelaran wayang kulit.


LATAR BELAKANG MASALAH
Sastra lisan merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Meneliti sastra lisan membutuhkan kecermatan atau ketelitian tersendiri, karena sastra lisan berbaur dengan tradisi lisan itu sendiri. Barangkali sastra lisan yang berbaur ini sudah tidak utuh lagi, dengan kata lainnya sudah diubah oleh generasi-generasi penerusnya. Menurut Endraswara (2008), sastra lisan dibedakan menjadi dua bagian, yaitu (1) sastra lisan murni, dan (2) sastra lisan tak murni. Sastra lisan murni bisa berupa mite, dongeng, legenda, hikayat, peribahasa, puisi lisan, nyanyian/tembang (macapat, maskumambang, dirge dll) dan Pergelaran-Pergelaran yang tersebar secara lisan di masyarakat. Sedangkan sastra lisan tak murni bisa berupa drama panggung, peraturan adat (undang-undang), mitos dan lain sebagainya.
Salah satu sastra lisan yang paling populer di masyarakat Jawa adalah pergelaran wayang kulit atau dalam bahasa Jawa disebut dengan ringgit purwa. Pergelaran wayang kulit, yaitu tontonan yang berupa boneka yang terbuat dari kulit yang penuh warna-warni, yang bentuknya melukiskan suatu bangun kepribadian manusia, dalam aspek kedalamannya justru merupakan tuntunan kehidupan, sehingga juga disebut wayang purwa (Purwadi, 2009:25). Wayang purwa atau populer disebut wayang kulit merupakan salah satu dari sekian banyak kekayaan budaya Jawa. Selain sebagai hiburan, pertunjukan wayang kulit juga menjadi tuntunan bagi masyarakat yang menonton. Maksudnya, wayang bukan sekadar sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai media komunikasi, media penyuluhan dan media pendidikan. Bahkan wayang juga sebagai wahana pengabdian dalang bagi masyarakat, negara dan bangsa serta umat manusia pada umumnya (Sujamto, 1995:26-27). Lakon wayang kulit Jawa diambil dari epik India, yaitu Ramayana dan Mahabarata.
Pergelaran wayang kulit merupakan wahana penanaman karakter, karena Pergelaran wayang kulit memuat moral, etika, dan nilai-nilai adi luhung. Berdasarkan hal tersebut, Pergelaran wayang kulit dapat dijadikan media untuk menanamkan karakter generasi penerus bangsa yang saat ini di ambang kehancuran. Maka dari itu, untuk memahami dan mengerti moral, etika, dan nilai-nilai adi luhung Pergelaran wayang kulit dibutuhkan teori yang relevan. Penelitian ini akan menggunakan teori hukum epik Axel Olrix dan menggunakan objek pergelaran wayang kulit lakon Laire Semar dengan dalang Ki. Purbo Asmoro. Hukum Epik Axel Olrix tersebut mempunyai dua belas hukum yang akan digunakan untuk membongkar moral, etika, dan nilai-nilai adi luhung, sehingga dapat dijadikan media penanaman karakter anak. Hukum epik Axel Olrix merupakan suatu hukum yang diterapkan untuk menganalisis mite, dongeng, legenda, dan epik yang digagas oleh Axel Olrix. Axel Olrix menyatakan, bahwa struktur Pergelaran prosa rakyat terikat oleh hukum-hukum yang sama yang biasa disebut hukum epos (Danandjaja, 1984:82). Berdasarkan hal tersebut, maka struktur Pergelaran rakyat (epik) antara satu dengan lainnya identik. Hukum-hukum tersebut membatasi kreativitas pengarang sastra lisan, karena sastra lisan mengikuti hukum-hukumnya sendiri.
Hukum epik Axel Olrix ada dua belas poin, antara lain hukum pembukaan dan penutup, hukum pengulangan, hukum tiga kali, hukum dua tokoh di dalam satu adegan, hukum keadaan berlawanan, hukum anak kembar, hukum tokoh keluar pertama dan terakhir, hukum ada satu pokok Pergelaran saja, hukum berpola Pergelaran rakyat, hukum penggunaan adegan tablo, hukum logika legenda, dan hukum kesatupaduan rencana Pergelaran (Sudikan, 2014:103). Dua belas hukum tersebut merangkai Pergelaran wayang kulit dari jejer sampai tancap kayon atau dari awal Pergelaran wayang kulit sampai akhir Pergelaran wayang kulit. Hanya, dalam penelitian ini dibatasi pada tiga poin hukum epik, yaitu hukum pembukaan dan penutup, hukum pengulangan dan hukum logika legenda. Maka, penelitian ini berjudul “Pergelaran Wayang Kulit Sebagai Media Penanaman Karakter Anak (Perspektif Hukum Epik Axel Olrix)”.
Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi untuk memahami keterkaitan antara moral dan nilai-nilai di masyarakat dengan moral dan nilai-nilai yang digambarkan pada pergelaran wayang kulit lakon Laire Semar. Pendekatan etnografi berkaitan dengan kebudayaan dan tradisi masyarakat yang akan diteliti. Menurut Endraswara (2003:1) penelitian kebudayaan bersifat dinamis dan dialektis. Maksudnya, dinamis mempunyai makna bahwa penelitian kebudayaan senantiasa mengikuti gelombang kebudayaan yang bersifat labil. Dialektis, maksudnya dalam penelitian budaya perlu memerhatikan aspek-aspek kedaerahan, dimana aspek tersebut berbeda dengan daerah lainnya. Setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri. Hal tersebut sebagai identitas bahwa daerah satu dengan lainnya berbeda.

PEMBAHASAN
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa untuk menemukan moral dan nilai-nilai adi luhung sebagai penanaman karakter, teori digunakan yaitu Hukum Epik Axel Olrix.  Hukum epik Axel Olrix ada dua belas poin, antara lain hukum pembukaan dan penutup, hukum pengulangan, hukum tiga kali, hukum dua tokoh di dalam satu adegan, hukum keadaan berlawanan, hukum anak kembar, hukum tokoh keluar pertama dan terakhir, hukum ada satu pokok Pergelaran saja, hukum berpola Pergelaran rakyat, hukum penggunaan adegan tablo, hukum logika legenda, dan hukum kesatupaduan rencana Pergelaran. Pada penelitian ini hanya tiga poin yang dipilih, yaitu hukum pembukaan dan penutup, hukum pengulangan, dan hukum logika legenda.
Sebelum menggunakan Hukum Epik Axel Olrix, peneliti menguraikan alur cerita dan pola alur dalam cerita. Alur cerita merupakan urutan cerita (konflik) dari pathet nem sampai pathet manyura. Pola cerita disusun terstruktur dengan menggunakan kaidah pola alursegi tiga tidak beralas dan pola garis menanjak. Kedua pola tersebut digunakan sebagai pijakan analisis berikutnya.
Alur Cerita
1)      Tejamaya, Ismaya, dan Manikmaya merupakan anak yang patuh kepada orang tuanya.
2)      Pesan dari Sang Hyang Tunggal di Pendopo Jonggring Saloka kepada tiga anaknya, yaitu Tejamaya, Ismaya, dan Manikmaya, bahwa siapapun yang kukuh akan bisa menggantikannya. Pesan tersebut menyulut watak angkara murka ketiganya.
3)      Tejamaya sebagai anak tertua sesumbar bahwa yang bisa menggantikan ayahnya hanya dia.
4)      Ismaya yang merasa paling kuat tidak terima dan menyampaikan kepada Tejamaya bahwa dia yang mampu menggantikan ayahnya.
5)      Terjadi adu argumentasi dan pertengkaran antara Tejamaya dengan Ismaya karena keduanya merasa paling kuat.
6)      Manikmaya merasa di atas angin dan mengadu domba keduanya.
7)      Tejamaya dan Ismaya beradu kekuatan untuk menelan gunung.
8)      Keduanya menjadi buruk rupa setelah menelan gunung.
9)      Sang Hyang tunggal marah dan menghukum Tejamaya dan Ismaya untuk turun ke bumi.
10)  Tejamaya berganti nama menjadi togog dan ditugaskan menjadi abdi dan pengingat dari Raja-Raja yang mempunyai watak angkara murka.
11)  Ismaya berganti nama menjadi Semar dan ditugaskan menjadi abdi dan pengingat dari Raja-Raja yang mempunyai watak berbudi luhur.
12)  Manikmaya diangkat oleh Sang Hyang Tunggal menjadi Raja di Jonggring Saloka.
13)  Togog dan Semar menemui Sang Hyang Wenang untuk mencari petunjuk dan nasihat.
14)  Sang Hyang Wenang menasihati Togog dan Semar agar menerima dengan rela hukuman yang diterimanya, karena hukuman tersebut berasal dari ulah mereka sendiri.
15)  Togog dan Semar turun ke bumi dan menjalani hukuman

Struktur alur digambarkan dalam dua pola
1)      Tejamaya, Ismaya, dan Manikmaya merupakan anak yang patuh kepada orang tuanya. Pesan dari Sang Hyang Tunggal di Pendopo Jonggring Saloka kepada tiga anaknya, yaitu Tejamaya, Ismaya, dan Manikmaya, bahwa siapapun yang kukuh akan bisa menggantikannya. Pesan tersebut menyulut watak angkara murka ketiganya. Tejamaya sebagai anak tertua sesumbar bahwa dia yang bisa menggantikan ayahnya. Ismaya yang merasa paling kuat tidak terima dan menyampaikan kepada Tejamaya bahwa dia yang mampu menggantikan ayahnya. Manikmaya mengadu domba. Tejamaya dan Ismaya berlomba untuk menelan gunung. Tejamaya dan Ismaya mendapatkan hukuman.
 





2)      Cerita pada selanjutnya mengungkapkan bahwa Tejamaya dan Ismaya rela menerima hukuman karena kesalahannya. Tejamaya berganti nama menjadi togog dan ditugaskan menjadi abdi dan pengingat dari Raja-Raja yang mempunyai watak angkara murka. Ismaya berganti nama menjadi Semar dan ditugaskan menjadi abdi dan pengingat dari Raja-Raja yang mempunyai watak berbudi luhur. Togog dan Semar menemui Sang Hyang Wenang untuk mencari petunjuk dan nasihat.

 






Data yang telah terstruktur berdasarkan alur cerita dan pola alur kemudian dipelajari dan dikaitkan dengan teori yang digunakan. Sebelum melakukan analisis, peneliti melakukan pembacaan transkripsi dan terjemahan secara kritis, pengidentifikasian moral dan nilai-nilai adi luhung sampai dengan menyimpulkan hasil. Pada akhirnya, data berupa pergelaran wayang kulit tersebut dianalisis dengan menggunakan teori Hukum Epik Axel Olrix yang telah diacu.

Hukum Epik Axel Olrix
Ada dua belas poin dalam Hukum epik Axel Olrix, diantaranya (1) hukum pembukaan dan penutup; (2) hukum pengulangan; (3) hukum tiga kali; (4) hukum dua tokoh di dalam satu adegan; (5) hukum keadaan berlawanan; (6) hukum anak kembar; (7) hukum tokoh keluar pertama dan terakhir; (8) hukum ada satu pokok pergelaran saja; (9) hukum berpola pergelaran rakyat; (10) hukum penggunaan adegan tablo; (11) hukum logika legenda; dan (12) hukum kesatupaduan rencana pergelaran (Sudikan, 2014:103). Dua belas hukum tersebut hanya tiga poin yang dipilih, yaitu hukum pembuka dan penutup, hukum pengulangan, dan hukum logika legenda. Alasannya, tiga poin tersebut terkait dan dapat dijadikan sebagai media penanaman karakter anak. Data yang ditemukan dinalisis dan dimaknai, kemudian ditarik keterkaitannya dengan penanaman karakter anak.

Hukum Pembuka dan Penutup
Pada poin pertama, yaitu hukum pembuka dan penutup akan diuraikan melalui tabel yang kemudian akan dianalisis dan dimaknai, kemudian ditarik keterkaitannya dengan penanaman karakter anak. Hukum pembukaan pada pergelaran wayang kulit dapat dilihat dari pengadeganan babak pertama atau biasa disebut jejer pathet nem. Sedangkan hukum penutup dalam pergelaran wayang kulit dapat dilihat dari pengadeganan terakhir pada babak tiga atau pathet manyura (sebelum tancap kayon) dengan iringan gendhing penutup. Hukum pembuka dan penutup diuraikan melalui tabel berikut ini.
Tabel 1 Hukum Pembuka dan Penutup
Hukum Pembuka
Hukum Penutup
Janturan Pisowanan Agung

Swuh rep data pitana anenggih pundi ta ingkang tata pambukaning kandha. Sinebut kaeka adi dasa purwa eka marang sawijati. Adi linuwih, dasa sepuluh, purwa wiwitan, senajan kathah titahing Bathara kang kasangga ing pratiwi kaungkulaning angkasa tinapit samudra. Kapitan tan anggara raras tan kadi ingkang minangka bebukaning kanda ya pambukaning carita. Lah menika ingkang datan ing Kahyangan, ya Jonggring Saloka…..
Gendhing Umbul Donga

Ya Allah iman basuki,
Ya Allah slamet-slamet,
Ya Allah mulya waluya,
Ya Allah selameta,
Ya Allah negarane,
Gusti kawula
Terjemahan Bebas
Janturan Pisowanan Agung

Pada mulanya suasana dunia ini sepi, suwung, sunyi (awung-awung), kemudian
munculah cerita
yang dapat dikatakan sebagai adi dasa purwa eka terhadap kesejatian. Adi yang bermakna mempunyai kelebihan dan keutamaan, dasa adalah sepuluh, purwa merupakan permulaan, walaupun banyak sabda dari Dewa yang menjadi penyangga jagad serta angkasa raya dan lautan. Di antara keindahan yang menjadi pembukaan cerita itu ada sebuah tempat yang biasa disebut dengan kahyangan atau Jonggring Saloka….
Gendhing Umbul Donga

Ya Allah


Pada pergelaran wayang kulit atau seni pertunjukan lainnya, hukum pembuka dan penutup menjadi sebuah keniscayaan. Pergelaran wayang kulit lakon “Laire Semar” hukum pembuka terdapat pada Janturan Jonggring Saloka. Hukum penutup terdapat pada gendhing sebelum tancap kayon, yaitu gendhing umbul donga. Secara filosofis Janturan Jonggring Saloka bermakna bahwa manusia harus mempunyai kelebihan dan keutamaan dalam menjalani kehidupan. Selain itu, manusia harus senantiasa ingat kepada kebesaran Sang Pencipta. Sedangkan gendhing umbul donga berpesan bahwa setiap perbuatan atau tindakan harus diakhiri dengan doa.
Intinya, manusia harus menjalani kehidupan dengan berdasar pada perintah dan larangan Tuhan, sehingga dapat berbuat kebaikan. Di sisi lain, segala tindakan dan perbuatan hendaknya disandarkan pada kekuatan doa. Dalam hal ini, perbuatan dan tindakan manusia harus berdasarkan kebaikan dan setiap saat atau untuk mengakhiri tindakan disertai dengan doa sebagai keuatan. Makna tersebut dapat ditanamkan kepada anak dalam kehidupan sehari-hari untuk menguatkan karakter.

Hukum Pengulangan
Pengulangan dilakukan dalam berbagai berbagai bentuk, misalnya saja pengulangan nama tokoh dengan nama lain, pengulangan suluk, dan pengulangan perang antar tokoh. Pada pembahasan ini yang akan diuraikan hanya pengulangan suluk dan perang, karena berkaitan dengan penanaman karakter anak. Datanya sebagai berikut.
Tabel 2 Hukum Pengulangan Suluk
Suluk
Terjemahan Bebas
Pengulangan
Suluk Gurisa

Bremara reh manguswa amung mbrengengeng,
Kadi karunaning kaswosih, o,
Ning marga amalatkung, o,
Risang gandawastratmaja,
Leng leng lalu hangulati.
Suluk Gurisa

Suara kumbang berdengung hendak mencium bunga,
seperti terpikat oleh senandung,
di jalan, yang menimbulkan rasa kasih,
Sang Ganda Wastratmaja,
Terpesona ketika melihatnya.





Lima
Suluk Pathet Nem Jugag
Anjrah ingkang puspita rum, kasiliring samirana, mrik, o,
sekar gadung, kongas gandanya, o,
maweh mawas renaning driya, o, o.
Suluk Pathet Nem Jugag
Harumnya bunga menyebar, o,
wanginya terbawa hembusan angin, o,
kembang gadhung semerbak aromanya,
membuat hati begitu senang.




Tujuh

Data di atas dipilih berdasarkan pemaknaan terhadap isi dan keterkaitannya dengan kehidupan sehari-hari anak. Maksudnya, suluk yang dipilih dapat dijadikan pijakan untuk menanamkan dan menumbuhkan karakter anak. Dua suluk yang dipilih tersebut paling banyak diulang daripada suluk lainnya. Isi dari dua suluk tersebut hampir sama, yaitu menceritakan tentang keindahan. Berdasarkan banyaknya pengulangan dan isi suluk, dalang pergelaran wayang kulit lakon “Laire Semar” mengagungkan keindahan. Dari sini uraian isi dan makna suluk dapat dikaitkan dengan penanaman karakter anak.
Pengagungan keindahan dapat ditanamkan kepada anak sejak dini sebagai media pengingat kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Jika keagungan keindahan sudah tertanam dalam diri anak, maka karakter yang kuat akan dapat dimiliki sebagai modal menjalani kehidupan sehari-hari dan menjadi bekal dewasa nanti.

Tabel 3 Hukum Pengulangan Perang
Nama Tokoh
Pengulangan
Tejamaya melawan Ismaya
Dua

Data di atas merupakan pengulangan perang dilakukan tokoh yang sama, yaitu Tejamaya dan Ismaya. Perang pertama dilakukan dengan cara adu kekuatan (fisik), dan hasilnya dua tokoh tersebut tidak ada yang menang (saling terluka). Perang kedua dilakukan dengan cara adu kekuatan untuk menelan gunung. Hasilnya, dua tokoh tidak ada yang berhasil dan berubah wujud menjadi buruk. Kedua perang tersebut berasal dari watak serakah dan angkara murka dari Tejamaya maupun Ismaya. Perang pertama yang berdampak buruk tidak menjadikan bahan pembelajaran dua tokoh tersebut yang pada akhirnya memunculkan perang kedua.
Perilaku yang dilakukan Tejamaya dan Ismaya dapat diistilahkan sebagai “masuk di lobang yang sama” atau melakukan kesalahan kembali. Berdasarkan uraian tersebut, maka perilaku yang dilakukan oleh Tejamaya dan Ismaya dapat dijadikan sebagai media perenungan dan penanaman karakter anak. Dalam hal ini, berhati-hati menjalankan segala sesuatu ditekankan agar tidak mengalami dampak yang buruk. Di sisi lain, keserakahan dan watak angkara murka dapat menimbulkan kerugian pada diri sendiri dan orang lain. Perilaku dan peristiwa yang dialami Tejamaya dan Ismaya juga berkaitan dengan hukum logika legenda.

Hukum Logika Legenda
Hukum logika legenda dalam pergelaran wayang kulit lakon “Laire Semar” terdapat pada hukum sebab – akibat yang dialami tokoh. Kejahatan dan keburukan akan berdampak pada kerugian. Kebaikan dan kebenaran akan menghasilkan kebaikan. Tejamaya dan Ismaya yang mempunyai watak serakah mendapatkan akibat setimpal. Salah satu peristiwa dalam pergelaran wayang kulit lakon “Laire Semar” yang dapat dijadikan penanaman karakter, yaitu pengulangan perang yang dilakukan Tejamaya dan Ismaya.
            Pengulangan perang yang berdampak pada kerugian dapat dikatakan bahwa tokoh tidak bisa mengambil pelajaran akan peristiwa. Maksudnya, peristiwa (perang) pertama yang mengakibatkan kerugian terulang kembali pada peristiwa kedua. Kegagalan dalam membaca peristiwa dan akibat tersebut berdampak pada hukuman yang diterima keduanya. Sang Hyang tunggal marah dan menghukum Tejamaya dan Ismaya untuk turun ke bumi. Kemudian, Sang Hyang Wenang menasihati Togog dan Semar agar menerima dengan rela hukuman yang diterimanya, karena hukuman tersebut berasal dari ulah mereka sendiri.
Artinya, hukum sebab – akibat berlaku bagi siapa saja. Kebaikan akan berdampak pada kebaikan dan keburukan akan mengakibatkan kerugian, bahkan kehancuran. Peristiwa yang dialami Tejamaya dan Ismaya tersebut dapat digunakan sebagai penanaman karakter anak. Sejak dini hendaknya anak dididik agar senantiasa berhati-hati dalam mengambil sikap, menjauhi watak serakah, dan menghindari sifat angkara murka.

SIMPULAN
Penelitian pergelaran wayang kulit lakon “Laire Semar” ini dianalisis menggunakan hukum epik Axel Olrix. Hukum epik Axel Olrix ada dua belas poin, antara lain hukum pembukaan dan penutup, hukum pengulangan, hukum tiga kali, hukum dua tokoh di dalam satu adegan, hukum keadaan berlawanan, hukum anak kembar, hukum tokoh keluar pertama dan terakhir, hukum ada satu pokok Pergelaran saja, hukum berpola Pergelaran rakyat, hukum penggunaan adegan tablo, hukum logika legenda, dan hukum kesatupaduan rencana Pergelaran. Hanya, dalam penelitian ini dibatasi pada tiga poin hukum epik, yaitu hukum pembukaan dan penutup, hukum pengulangan dan hukum logika legenda. Alasannya, tiga poin tersebut berkaitan dan tepat digunakan sebagai media penanaman karakter anak. Sebelum Hukum Epik Axel Olrix digunakan, terlebih dahulu alur cerita dan pola alur dalam cerita diuraikan. Alur cerita merupakan urutan cerita (konflik) dari pathet nem sampai pathet manyura. Pola cerita disusun terstruktur dengan menggunakan kaidah pola alursegi tiga tidak beralas dan pola garis menanjak.
            Poin pertama yaitu hukum pembuka dan penutup, hukum pembuka terdapat pada Janturan Jonggring Saloka dan hukum penutup terdapat pada gendhing sebelum tancap kayon, yaitu gendhing umbul donga. Makna dari hukum pembuka dan penutup tersebut, bahwa manusia harus menjalani kehidupan dengan berdasar pada perintah dan larangan Tuhan, sehingga dapat berbuat kebaikan. Di sisi lain, segala tindakan dan perbuatan hendaknya disandarkan pada kekuatan doa. Hukum pengulangan menjadi poin kedua dalam penelitian ini. Ada dua jenis pengulangan, yaitu suluk dan perang. Isi dari dua suluk menceritakan tentang keindahan. Pengulangan perang dilakukan tokoh yang sama, yaitu Tejamaya dan Ismaya. Perilaku yang dilakukan Tejamaya dan Ismaya dapat diistilahkan sebagai “masuk di lobang yang sama” atau melakukan kesalahan kembali. Poin ketiga yaitu hukum logika legenda, dimana hukum sebab – akibat yang dialami tokoh. Tejamaya dan Ismaya yang mempunyai mendapatkan akibat dan hukuman setimpal dari perbuatannya. Maka, uraian tersebut dapat dijadikan rujukan untuk menanamkan karakter kepada anak, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun sebagai bekal dalam kehidupannya kelak.

DAFTAR RUJUKAN
Danandjaja, James. 1984, Foklor Indonesia: ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafitipers.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra, edisi revisi. FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta: Buku kita.
Purwadi, Dr. 2009. Pengkajian Sastra Jawa. Yogyakarta: Pura Pustaka.
Sudikan. Setya Yuwana. 2014. Metode Penelitian Sastra Lisan. Lamongan: Pustaka Ilalang.
Sujamto. 1995. Wayang dan Budaya Jawa. cetakan ketiga, cetakan pertama tahun 1992. Semarang: Dahara Prize.
Dipresentasikan di Universitas Trunojoyo Madura

Komentar