TRANSFORMASI CERITA WAYANG KULIT KE DALAM BENTUK CERITA MINI SEBAGAI MEDIA PENGEMBANGAN KARAKTER ANAK
SARI
Media jejaring sosial dan game online
yang menyebar hampir ke seluruh tanah air merupakan problematika yang dihadapi
bangsa Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan degradasi karakter, terutama
karakter anak. Problematika tersebut membutuhkan berbagai elemen dan media yang
tepat untuk menanamkan kembali nilai-nilai karakter bangsa. Salah satu media
yang tepat digunakan, yaitu wayang kulit. Wayang kulit merupakan salah satu
kesenian di Indonesia yang banyak memuat nilai-nilai adi luhung. Nilai-nilai
tersebut digunakan sebagai media tuntunan bagi masyarakat. Banyak lakon dalam
pergelaran wayang kulit menguraikan pentingnya menghormati orang tua, dampak berbuat
baik dan buruk, ajaran budi pekerti, dan sebagainya. Nilai dalam sebuah
kebudayaan merupakan hasil dari perenungan perilaku atau perbuatan manusia di
sekitarnya. Seseorang akan dianggap bernilai apabila mampu membantu orang lain
dan tidak membuat keonaran dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai adi
luhung tersebut hendaknya ditanamkan sejak dini kepada anak-anak. Tujuannya,
agar anak-anak dapat membentuk karakternya sendiri sesuai dengan filosofi
kearifan budaya Indonesia. Bukan hal yang mudah memahami cerita wayang kulit,
karena bahasa yang digunakan tidak lagi dikenal anak-anak dan bahkan kebanyakan
kalangan masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan transformasi cerita wayang
kulit ke dalam bentuk yang lain, salah satunya yaitu cerita mini. Transformasi
tersebut berfungsi menyampaikan nilai-nilai adi luhung yang terdapat dalam
cerita wayang kulit kepada anak-anak. Makalah ini bertujuan untuk
mendeskripsikan transformasi cerita wayang kulit ke dalam bentuk cerita mini
sebagai media pengembangan karakter anak. Penelitian ini menggunakan metode
adaptasi yang akan menganalisis kemudian mengubah cerita wayang kulit ke dalam
cerita mini. Transformasi cerita wayang kulit ke dalam cerita mini setidaknya
dapat mengenalkan salah satu seni pertunjukkan di Indonesia dan sekaligus dapat
menanamkan nilai-nilai adi luhung kepada generasi penerus bangsa.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Karakter merupakan komponen yang
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Oleh sebab itu, nilai manusia
dapat dilihat dari karakternya. Karakter berkaitan langsung dengan personality atau kepribadian.
Kepribadian manusia tidak muncul begitu saja, tetapi merupakan hasil bentukan secara
bertahap sejak usia dini. Dunia di sekitar anak berpengaruh terhadap
perkembangan karakter anak. Misalnya, lingkungan, perilaku orang tua, bacaan,
tontonan, dan sebagainya. Seperti yang terjadi saat ini, dunia di sekitar anak
jauh dari yang diharapkan sebagai media pembentukan karakter. Media jejaring
sosial dan game online yang menyebar
hampir di seluruh tanah air berakibat buruk terhadap perkembangan karakter
anak. Bahkan, dunia pertelevisian hanya sedikit yang menayangkan acara edukasi
bagi anak.
Di
sisi lain, transformasi budaya terjadi secara kompleks dengan segala intensitas
dan masifitasnya dari budaya agraris ke pasca-industri yang terjadi dalam kurun
waktu singkat dan menggoncang (Budiyono, 2016:12). Hasilnya, banyak terjadi
perubahan secara cepat dan tidak terduga sehingga memengaruhi pertumbuhan
karakter anak yang memang belum siap. Padahal seperti yang diketahui bersama,
bahwa harapan bangsa Indonesia besar sekali menjadikan generasi penerus bangsa
memiliki karakter yang kuat. Jika sebagian besar masyarakat Indonesia tidak
peduli dengan problematika yang terjadi, maka hal tersebut merupakan isyarat
yang berbahaya bagi kebangsaan.
Selain
itu, anak-anak mudah terpengaruh oleh hal yang didapatkannya. Mereka belum
memiliki filter yang mumpuni untuk menilai hal baik maupun buruk. Akan tetapi,
setiap manusia, baik dewasa maupun anak-anak cenderung menyukai sesuatu yang
positif. Misalnya, anak-anak cenderung menyukai tokoh protagonis yang terdapat
dalam film-film superhero. Setelah menonton biasanya mereka membayangkan
seperti tokoh penyelamat dalam film tersebut. Laksana (2016:4) menyatakan
kanak-kanak mudah hanyut pada segala sesuatu dan mereka bisa membayangkan diri
menjadi apa saja asalkan itu tokoh yang mereka sukai.
Selain
media film, masih banyak media yang dapat membantu mengembangkan karakter anak.
Maka, penulis memilih media karya sastra yang merupakan hasil dari transformasi
dari cerita wayang kulit. Tentu saja karya sastra hasil bentukan dari
transformasi tersebut khas anak-anak yang menghibur sekaligus memberikan
pendidikan karakter. Sarumpaet (2010:2) menyatakan secara praktis, sastra anak
adalah sastra terbaik yang mereka baca dengan karakteristik berbagai ragam,
tema, dan format. Maksudnya, agar karya sastra untuk anak yang ditulis orang
dewasa mampu dipahami anak-anak dengan mudah, maka membutuhkan inovasi dan
akselerasi.
Cerita
wayang kulit dijadikan rujukan karena merupakan salah satu kesenian di
Indonesia yang banyak memuat nilai-nilai adi luhung. Nilai-nilai tersebut
digunakan sebagai media tuntunan bagi masyarakat. Purwadi (2009:25) menjelaskan
bahwa pagelaran wayang kulit, yaitu tontonan yang berupa boneka yang terbuat
dari kulit yang penuh warna-warni, yang bentuknya melukiskan suatu bangun
kepribadian manusia, dalam aspek kedalamannya justru merupakan tuntunan
kehidupan. Banyak lakon dalam pergelaran wayang kulit menguraikan pentingnya
menghormati orang tua, dampak berbuat baik dan buruk, ajaran budi pekerti, dan
sebagainya. Nilai-nilai adi luhung tersebut hendaknya ditanamkan sejak dini
kepada anak-anak. Tujuannya, agar anak-anak dapat membentuk karakternya sendiri
sesuai dengan filosofi kearifan budaya Indonesia.
Memahami
cerita wayang kulit bukan hal yang mudah, karena bahasa yang digunakan tidak
lagi dikenal anak-anak dan bahkan kebanyakan kalangan masyarakat. Maka dari
itu, penulis memilih model karya sastra pendek, yaitu berupa cerita mini
(cermin). Cerita mini merupakan bentuk prosa pendek lima paragraf yang berisi
alternatif-alternatif kekinian (Shodiqin, 2014). Alasan memilih cerita mini,
yaitu tidak membutuhkan waktu yang lama saat membacanya dan agar nilai-nilai
yang terdapat dalam cerita wayang kulit mudah dipahami anak-anak. Selain itu,
intensitas dan budaya membaca masyarakat Indonesia masih rendah. Kiranya,
cerita mini dapat membantu membudayakan membaca bagi anak-anak.
Berdasarkan
uraian tersebut, makalah ini bertujuan mendeskripsikan transformasi cerita
wayang kulit ke dalam cerita mini sebagai media pengembangan karakter anak.
Cerita mini tersebut, selain menghibur dan menanamkan nilai-nilai adi luhung
juga sekaligus mengenalkan salah satu kesenian di Indonesia. Dimana,
kesenian-kesenian tradisional Indonesia saat ini semakin tidak dikenali oleh
generasi penerus bangsa.
Secara
teoretis, makalah ini bermanfaat untuk mengetahui hasil dari transformasi
cerita wayang kulit ke dalam cerita mini sebagai media pengembangan karakter
anak. Manfaat praktis makalah ini dapat dijadikan rujukan sebagai bahan
pembelajaran budi pekerti dan pembentukan karakter anak serta dapat sebagai
bahan perbandingan gagasan konseptual dengan koridor cerita wayang kulit.
Sumber
data berasal dari rekaman video wayang kulit dalam lakon “Laire Semar”, “Bima
Bumbu” dengan dalang Ki. Purbo Asmoro, “Wahyu Mustika Aji” dengan dalang Ki
Panut Sosrodarmoko, dan “Bale Gala-Gala” dengan dalang Ki. Sinarto. Satu lakon
dibagi menjadi beberapa bagian kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk
cerita mini. Misalnya, lakon “Parto Krama” semalam suntuk, dari pathet nem sampai pathet manyura dipecah menjadi tiga cerita mini setelah penulis
melakukan pemahaman dan analisis terhadap nilai yang terdapat dalam lakon
tersebut. Penggalan cerita yang memuat nilai-nilai adi luhung diubah bentuk
menjadi cerita mini, sehingga cerita yang memuat nilai-nilai tersebut merupakan
data.
WAYANG KULIT
Wayang
kulit merupakan kesenian asli Jawa, walaupun cerita wayang yang populer di
masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana
digubah Begawan Walmiki dan Kitab Mahabarata merupakan gubahan Resi Wyasa. Kedua induk
cerita tersebut dalam pewayangan Jawa banyak mengalami pengubahan dan
penyesuaian dengan falsafah lokal, sehingga masyarakat Jawa tidak
merasa asing dengan cerita dan lakon yang dimainkan. Poerbatjaraka dan Tardjan
Hadidjaja (1952:17 dan 25) menyatakan pujangga-pujangga zaman dulu, seperti mpu
Kanwa yang menggubah Arjunawiwaha dan mpu Sedah dan mpu Panuluh menggubah
Baratayudha sebagai bentuk Kakawin.
Usaha
menggubah tersebut mengilhami penulis untuk menggubah cerita wayang kulit
menjadi sebuah cerita mini. Cerita mini merupakan bentuk prosa yang berisi lima
paragraf. Isi cerita mini diambil dari
kolaborasi antara cerita wayang kulit dengan dunia anak-anak yang berkembang
saat ini. Maka, dunia yang terdapat dalam cerita mini merupakan hasil comotan-comotan
dari sisi kehidupan yang campur aduk. Berdasakan hal tersebut, cerita mini
dapat dikatakan semacam demonstrasi sebuah dunia alternatif.
Walaupun
demikian, nilai-nilai yang terdapat dalam ceita wayang kulit tetap diagungkan,
karena salah satu fungsi cerita anak adalah sebagai media pendidikan.
Nilai-nilai yang berkaitan dengan fungsi pendidikan, diantaranya menghormati
orang tua, menjaga kebersihan, patuh kepada perintah Tuhan, menolong sesama,
kejujuran, dan sebagainya. Selain sebagai fungsi pendidikan, sastra anak juga
memiliki fungsi hiburan (Winarni, 2014:5). Sebagai fungsi hiburan cerita mini
memuat hal-hal jenaka yang dikemas dengan bahasa mudah dipahami anak-anak. Di
sisi lain, isi cermin yang hanya lima paragraf tentu membuat anak-anak terdorong
untuk membaca karena tidak panjang.
Cerita
mini merupakan karya sastra yang khusus untuk anak. Tujuannya untuk
mengembangkan karakter yang sudah dimiliki anak. Laksana (2016:4) menyatakan
sejak dulu orang menanamkan kesadaran dengan cerita-cerita. Iman kita dibangun
dengan cerita-cerita. Maksudnya, kesadaran merupakan salah satu komponen dasar
yang dimiliki manusia sebagai impuls pengembangan karakter dirinya. Selain itu,
pengembangan karakter anak melalui cerita mini diharapkan sesuai dengan budaya
dan kepribadian bangsa Indonesia.
Cerita
mini bisa digunakan dalam berbagai lembaga pendidikan, seperti pendidikan
formal, nonformal, dan informal. Cerita mini, dalam pendidikan formal,
khususnya untuk siswa SD, dapat digunakan sebagai media pembelajaran
pengembangan karakter siswa. Demikian juga dengan pendidikan nonformal yang
berlangsung di ruang lingkup sekolah atau lembaga pendidikan seperti kursus.
Dalam pendidikan informal, cerita mini dapat digunakan orang tua untuk
mendongengkan isi cerita kepada anak-anaknya.
|
Seperti
yang disebutkan sebelumnya, bahwa media yang digunakan untuk mengembangkan
karakter anak yaitu cerita mini. Induk dari cerita mini adalah cerita wayang
kulit. Agar mudah dipahami anak-anak, cerita wayang kulit tersebut mengalami
transformasi. Proses transformasi dilakukan untuk menggubah cerita wayang kulit
ke dalam cerita mini. Transformasi merupakan proses mengubah struktur
gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, dan mengatur kembali konstituennya
(Hutomo, 1999:174-175). Berdasarkan hal tersebut, wayang kulit dijadikan sumber
rujukan dan diolah sedemikian rupa menjadi cerita mini yang khas anak-anak.
Intinya, uraian bahasa, cerita dan budaya yang terdapat dalam cerita wayang
kulit diubah sedemikian rupa menjadi cerita mini agar mudah dipahami anak-anak.
Pudentia
(1992) menyatakan transformasi berkaitan dengan perubahan karya sastra yang
menyangkut struktur cerita, tokoh, latar, tema, dan lain-lain (Hutomo,
1999:176). Maka dari itu, cerita mini ditulis berdasarkan hal tersebut tetapi
untuk penamaan tokoh tidak ada perubahan. Hal tersebut disebabkan, selain
mengenalkan nilai-nilai adi luhung yang terdapat dalam cerita wayang kulit,
cerita mini juga mengenalkan nama-nama tokoh yang terdapat dalam cerita wayang kulit,
walaupun secara karakter dan cerita berubah. Tujuannya agar anak-anak tetap
mengenal tokoh-tokoh tersebut.
Di
samping itu, dalam proses transformasi harus memerhatikan permasalahan
kehidupan nyata yang dialami anak-anak. Sarumpaet (2010:28) menyatakan cerita
realistik bukan hanya perlu tetapi juga diminati anak-anak karena penggambaran
di dalamnya dapat mendekatkan mereka pada kehidupan nyata. Demikian juga dengan
cerita mini yang mengaitkan nilai-nilai adi luhung yang terdapat dalam wayang
kulit dengan kehidupan nyata yang dialami oleh anak-anak. Kiranya, dengan
menggabungkan dua hal tersebut dapat memenuhi fungsi cerita anak, yaitu fungsi
pendidikan dan fungsi hiburan.
METODE
Pemikiran ini menggunakan metode adaptasi yang
akan menganalisis kemudian mengubah cerita wayang kulit ke dalam cerita mini.
Maksudnya, pada tahap pertama penulis melakukan identifikasi terhadap
nilai-nilai adi luhung yang terdapat dalam wayang kulit. Dalam proses tersebut,
penulis menggunakan pendekatan hermeneutik agar nilai-nilai tersebut dapat
diapresiasi sesuai dengan kebutuhan penggubahan cerita mini. Tahap kedua,
penulis melakukan pengamatan terhadap dunia anak saat ini. Tahap ketiga,
nilai-nilai yang sudah disiapkan dikolaborasikan dengan dunia anak kekinian,
sehingga mempermudah tahap terakhir, yaitu mulai menulis cerita mini.
PEMBAHASAN
Pada bab berikut akan
diuraikan hasil beserta pembahasan dari transformasi cerita wayang kulit ke
dalam bentuk cerita mini sebagai media pengembangan karakter anak. Adapun data
yang dikutip berupa dialog dan narasi yang memuat nilai-nilai adi luhung,
seperti menghormati orang tua, menjaga kebersihan, patuh kepada perintah Tuhan,
menolong sesama, dan kejujuran. Kata di dalam tanda kurung setelah kutipan
merupakan judul dari cerita mini.
Menghormati Orang Tua
Penghormatan kepada
orang tua merupakan tindangan penting bagi siapa saja. Tindakan itu harus
ditanamkan sejak dini kepada anak-anak, agar di kehidupan kemudian hari,
setelah anak tumbuh dewasa memiliki adab dan sopan santun. Penggalan cermin
berikut berkaitan dengan permasalahan tersebut.
“Gatutkaca, nenek kan sudah bilang, kalau
kamu membuang kulit pisang sembarangan akan merugikan orang lain, atau
merugikan dirimu sendiri. Akhirnya kamu terpeleset juga dengan kulit pisang
yang kamu buang sendiri itu,” kata Kunthi. “Maafkan saya nenek. Saya tidak akan
mengulangi lagi,” kata Gatutkaca sambil mencium tangan Kunthi. (Nasihat Kunthi)
“Dursasana jangan membuang ludah sembarangan.
Di sini ada Paman Sangkuni. Kamu harus menghormati orang tua, Ayo minta maaf ke
paman Sangkuni” kata Duryudana marah. “Iya kakak. Paman maafkan saya,” Kata
Dursasana kepada Sangkuni. (Kurawa)
Kutipan penggalan
cerita mini tersebut menggambarkan kelalaian seseorang dalam bertindak, tetapi
ada tokoh lain yang mengingatkan. Kutipan pertama Kunthi dan kutipan kedua
Duryudana. Pelaku kesalahan, yaitu Gatutkaca dan Dursasana diceritakan mengaku
bersalah dan meminta maaf. Penggalan pertama diambil dari salah satu adegan
dalam lakon Parto Krama, sedangkan penggalan kedua diambil dari salah satu
adegan dalam lakon Bale Gala-Gala. Kiranya, dua penggalan cerita mini tersebut
banyak ditemukan dalam dunia nyata. Dua penggalan cerita mini di atas,
diharapkan anak-anak dapat menangkap pesan yang disampaikan, yaitu pentingnya
menghormati dan mendengarkan nasihat orang tua.
Menjaga Kebersihan
Pada subbab berikut
akan diuraikan tentang pentingnya menjaga kebersihan. Kebersihan merupakan
problematika yang dihadapi berbagai kalangan dan usia. Hendaknya, idiom tentang
pentingnya menjaga kebersihan yang bertebaran di berbagai tempat sepadan dengan
praktik yang dilakukan masyarakat. Maka dari itu, hendaknya menjaga kebersihan
ditanamkan kepada anak-anak sejak dini, agar permasalahan kompleks yang
dihadapi Negara ini, seperti banjir dapat ditanggulangi. Berikut kutipannya.
“Suatu hari ketika
Arjuna berenang di sungai, ia menemukan banyak sampah yang terapung. Ia
langsung cemberut melihat keadaan itu. Kemudian, Arjuna baru sadar bahwa ia
salah satu orang yang menyebabkan sungai-sungai menjadi kotor. Setiap hari, ia
membuang sampah ke sungai tanpa memikirkan akibatnya. Ia berjanji dalam hati
tidak akan mengulangi lagi. Lalu, pelan-pelan ia membersihkan sampah-sampah di
sungai itu agar ia dan orang lain dapat berenang dengan nyaman. (Kesalahan
Arjuna)
“Karena tidak pernah
menjaga kebersihan dirinya sendiri, Antaga dan Ismaya dihukum turun ke bumi
oleh ayahnya. Ketika turun ke bumi Antaga berubah nama menjadi Togog, dan
Ismaya berganti nama menjadi Semar.” (Semar Turun ke Bumi).
Penggalan cerita mini
pertama diambil dari salah satu adegan dalam lakon Bima Bumbu dan penggalan
kedua diambil dari salah satu adegan dalam lakon Laire Semar. Dua penggalan
cerita mini di atas menggambarkan dampak mengabaikan kebersihan. Harapannya,
ketika anak membaca dua teks tersebut dapat memantik kesadarannya untuk turut
serta menjaga kebersihan di lingkungan sekitarnya. Cerita mini dengan tema
menjaga kebersihan diharapkan dapat membantu menjadi media pemantik, selain
idiom “Jagalah Kebersihan” atau Kebersihan Sebagian dari Iman” yang menempel di
berbagai tempat. Kiranya, dengan membaca dan memahami cerita mini tersebut,
anak-anak lebih peduli terhadap lingkungannya.
Patuh Kepada Perintah Tuhan
Patuh
kepada Tuhan merupakan hal utama bagi manusia. Patuh terhadap perintah Tuhan
korelasinya akan meluas kepada hal lain yang tentu positif. Kepatuhan tersebut,
salah satunya diceritakan dalam suasana multikultural, dimana antara tokoh satu
dengan lainnya berbeda agama. Perbedaan tersebut digambarkan melalui dialog
dengan topik toleransi antar umat beragama. Seperti yang diketahui, bahwa saat
ini toleransi antar umat beragama semakin pudar. Berikut kutipannya.
“Mas
Petruk, sudah mau adzan Maghrib. Segeralah pulang. Besok siang kan hari Minggu,
nanti kita lanjutkan lagi,” kata Mbelung. “Oh iya, aku tak pulang dulu ya.
Jangan lupa kamu besok harus ke Gereja dulu sebelum kembali ke tempat ini,”
kata Petruk. (Petruk dan Mbelung)
“Ayo
Nduk, bangun. Sebentar lagi subuh. Ayo, kita salat di Masjid,” kata Cangik
sambil menggoyang-goyang tubuh Limbuk, anaknya. “Iya,” sahut Limbuk yang segera
bergegas ke kamar mandi. (Limbuk)
Dua
kutipan penggalan cerita mini di atas diambil dari adegan dalam lakon Wahyu
Mustika Aji. Penggalan cerita mini pertama menggambarkan antara tokoh Petruk dan tokoh
Mbelung saling mengingatkan perihal ibadah. Secara langsung dapat ditangkap,
bahwa Mbelung mengingatkan Petruk agar patuh terhadap perintah Tuhan, dan
begitu juga sebaliknya. Dialog dua tokoh tersebut, selain mencerminkan
kepatuhan juga menggambarkan toleransi yang baik dalam hal keberagamaan.
Kutipan kedua, mencerminkan seorang anak yang tidak bermalas-malasan beribadah.
Maka dari itu, dua penggalan cerita mini tersebut diharapkan dapat
mengembangkan karakter anak mengenai kepatuhan terhadap perintah Tuhan dan
pentingnya toleransi.
Menolong Sesama
Pada subbab berikut
akan diuraikan kutipan narasi dan dialog pentingnya menolong orang lain. Jika
seseorang sejak kecil dididik untuk menolong orang lain, ketika dewasa akan
memiliki reflek menolong orang lain tanpa perlu diperintah. Reflek menolong
dapat dikatakan bagian dari komponen karakter seseorang.
“Gatutkaca jatuh dari angkasa. Tubuhnya
membentur tanah dengan sangat keras. Melihat itu, Petruk dan Bagong segera
berlari menghampiri. Mereka berdua melihat keadaan Gatutkaca. Akhirnya, dengan
sekuat tenaga Petruk dan Bagong mengangkat Gatutkaca sampai ke Puskesmas.
(Gatutkaca Jatuh)
“Kenapa kamu menangis Reng?” tanya Abimanyu.
“Sepedaku jatuh di got, dan aku tidak kuat mengangkatnya,” kata Gareng sambil
menangis. “Ayo, Abimanyu kita bantu mengangkat sepeda Gareng,” ajak Antasena
kepada Abimanyu. “Ayo,” sahut Abimanyu (Sepeda Gareng)
Dua
penggalan cerita mini dia atas merupakan hasil transformasi dari adegan dalam lakon Parto Krama. Dua penggalan
cerita mini tersebut merupakan gambaran kepedulian terhadap sesama. Penggalan
pertama dan kedua menceritakan bahwa Petruk dan Bagong menolong Gatutkaca,
serta Antasena dan Abimanyu menolong
Gareng tanpa berdebat. Seringkali dalam kehidupan sehari-hari kita mendahulukan
perdebatan saat menolong orang lain. Padahal yang paling penting atau
didahulukan adalah pertolongan itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, cerita
mini dengan tema menolong sesama diharapkan dapat menjadikan anak-anak peduli
akan kesulitan orang lain. Selain itu, apabila cerita mini ini dibacakan guru
di depan kelas, kemudian guru menyampaikan pesannya maka siswa akan mudah
menerapkannya di kehidupan nyata. Begitu juga, apabila cerita mini tersebut
dibacakan orang tua secara mendalam.
Kejujuran
Problematika selanjutnya
yang dihadapi bangsa Indonesia adalah kejujuran, dimana banyak orang menganggap
bahwa kejujuran mahal harganya. Kasus korupsi, plagiasi, mencotek, menipu, dan
sebagainya, kiranya sulit diselesaikan. Melalui cerita mini ini, diharapkan
anak-anak dapat menyerap nilai pentingnya sebuah kejujuran. Secara naluri,
setiap manusia cenderung menginginkan kejujuran, baik itu orang dewasa maupun
anak-anak. Cerita mini dengan tema kejujuran ini bertujuan untuk
menumbuhkembangkan potensi kejujuran yang dimiliki anak agar dalam kehidupan
sehari-hari, bahkan sampai mereka dewasa dapat direalisasikan.
“Nilai ujian matematikamu dapat 9. Hasil
belajar atau nyontek?” tanya Yudistira kepada Arjuna. Arjuna tertawa, lalu
menjawab, “Itu hasil nyontek kak”. “Kan sudah dibilang, ibu juga sudah
menasihati kamu agar jangan nyontek. Walaupun nilaimu jelek, tetapi kalau jujur
itu lebih baik dan terpuji,” kata Yudistira. (Arjuna Ujian)
“Lho! uang lima ribu rupiah kok dapat pensil
empat?” tanya Petruk kepada Bagong. “Hehehe, yang dua aku ambil tanpa ketahuan
yang jual,” jawab Bagong santai. Petruk berdiri dari tempat duduknya, lalu
memarahi Bagong. “Cepat kembalikan! Dosa. Perbuatanmu itu tercela,” kata Petruk
marah. Tanpa menjawab Bagong keluar untuk mengembalikan pensil yang dicurinya.
(Ulah Bagong)
Dua penggalan cerita
mini di atas merupakan hasil transformasi dari adegan lakon Bima Bumbu. Dua
penggalan cerita mini tersebut intinya sama, walaupun dalam konteks yang
berbeda. Penggalan pertama dalam konteks ketidakjujuran dalam ujian dan
penggalan kedua dalam konteks mengambil sesuatu tanpa sepengatahuan pemiliknya.
Penggalan pertama tersebut dalam dunia nyata banyak kita temukan. Apalagi hidup
di zaman serba internet saat ini. Begitu mudah siswa, baik dari tingkat SD
sampai perguruan tinggi melakukan perilaku tidak jujur ketika ujian. Penggalan
pertama cerita mini di atas diharapkan mampu membendung perilaku yang demikian.
Penggalan kedua
cerita mini di atas, diharapkan dapat mengembangkan perilaku anak yang secara
naluri memiliki potensi jujur atau paling tidak mencegah perbuatan tercela,
seperti penipuan dan pencurian. Penipuan kecil yang dilakukan anak-anak akan
berdampak buruk di kemudian hari, karena penipuan kecil akan menimbulkan
penipuan besar jika telah menjadi kebiasaan. Dewasa ini di media televisi
maupun media sosial bayak kita temukan anak-anak melakukan perilaku buruk, yang
salah satunya melakukan penipuan. Maka dari itu, peran dari berbagai elemen
dibutuhkan untuk menjaga dan melestarikan karakter bangsa. Selain itu, juga
dibutuhkan media yang relevan agar diminati anak-anak.
SIMPULAN
Cerita mini adalah
karya sastra yang berisi lima paragraf. Cerita mini merupakan bentuk karya
sastra hasil transformasi dari cerita wayang kulit. Selain itu, cerita mini
juga hasil dari pengamatan dunia anak-anak masa kini. Jadi, isi cerita mini
diambil dari kolaborasi antara cerita wayang kulit dengan dunia anak-anak yang
berkembang saat ini. Maka, dunia yang terdapat dalam cerita mini merupakan
hasil comotan-comotan dari sisi kehidupan yang campur aduk. Berdasakan hal
tersebut, cerita mini dapat dikatakan semacam demonstrasi sebuah dunia
alternatif. Harapannya, agar cerita mini dapat menarik perhatian anak-anak,
sehingga dapat mendorong mereka membaca. Tema-tema yang diangkat berdasarkan
nilai-niali adi luhung yang terdapat dalam cerita wayang kulit, seperti
menghormati orang tua, menjaga kebersihan, patuh kepada perintah Tuhan,
menolong sesama, dan kejujuran. Tokoh yang terdapat di dalamnya juga memakai
tokoh-tokoh dalam cerita wayang kulit dengan pengubahan karakter sedemikian
rupa. Pengubahan karakter tersebut disesuaikan konteks cerita yang dikaitkan
dengan pendidikan dan pengembangan karakter anak. Maka dari itu, cerita mini
diharapkan mampu menjadi media mengembangkan karakter anak.
DAFTAR PUSTAKA
Budiyono, Sunu Catur. 2016. Bagaimana Sastra Diajarkan. Sidoarjo:
Kopi Aksara Publisher.
Hutomo, Suripan Sadi. 1999. Filologi Lisan: Telaah Teks Kentrung.
Surabaya: Lautan Rezeki.
Laksana, A.S. 2016. Menanam Kesadaran Dengan Cerita. Rubrik Ruang Putih Minggu, 8 Mei
2016, halaman 4. Surabaya: Jawa Pos.
Poerbatjaraka, R. M. Ng dan Tardjan
Hadidjaja. 1952. Kepustakaan Djawa.
Djakarta/Amsterdam: Djambatan.
Purwadi. 2009. Pengkajian Sastra Jawa. Yogyakarta: Pura Pustaka.
Sarumpaet. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak: Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Shodiqin, Muhammad. 2014. Di Surat Itu Tak Ada Namaku: Antologi Cermin.
Sidoarjo: Kopi Aksara Publisher.
Winarni, Retno. 2014. Kajian Sastra Anak. Edisi 2. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Dipresentasikan
di Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta
Komentar