PATALON
Wening//dumling cenger jabang//wruh pepadhang
miwah sepi. Sebelum menguraikan sedikit pengetahuan saya tentang
pergelaran wayang kulit, izinkan saya untuk menjelaskan beberapa hakikat “wayang”
yang saya ketahui. Wayang merupakan jarwadhasak
dari wahya ing hyang. Wahya adalah wedar, sabda, atau firman, sedangkan hyang bermakna Sang Pencipta.
Artinya, wayang memuat firman-firman Tuhan sebagai petunjuk manusia (baca:
penonton). Dengan kata lain, pergelaran wayang kulit, selain sebagai tontonan
juga sebagai tuntunan terhadap masyarakat penontonnya, karena isinya tentang wejangan kepada manusia agar lebih
bijaksana menjalankan hidup.
Orang
Jawa memaknai wayang sebagai wewayange
ngaurip yang berarti bayangan hidup manusia dari lahir hingga mati[1].
Bayangan hidup yang dimaksud merupakan representasi karakter manusia yang
diletakkan dalam tokoh-tokoh wayang. Tujuan representasi dari karakter manusia
tersebut sebagai media pengingat, pembelajaran, serta pendidikan bagi siapa
saja, khususnya orang Jawa. Maka dari itu, ketika wayang dipentaskan, dalang
dituntut mempunyai kemampuan secara intelektual, emosional, maupun spiritual
agar nilai-nilai adi luhung yang memuat tuntunan kehidupan dapat disampaikan
kepada penonton dengan baik.
Wayang
memang tidak hanya diceritakan (seperti dongeng), tetapi juga harus dipentaskan
yang di dalamnya ada berbagai adegan dramatik dengan tujuan mempengaruhi
penonton untuk larut dan hanyut dalam lakon yang dimainkan. Artinya, melalui
lakon yang dimainkan, dalang berusaha menyampaikan tuntunan hidup kepada
masyarakat yang menonton. Dalang sebagai pelaku utama berusaha memaparkan
nilai-nilai kehidupan, ajaran-ajaran tentang kebaikan, norma-norma masyarakat,
dan sebagainya. Maka, masyarakat penonton harus bersinergi dengan dalang agar
pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik serta dapat dijadikan laku prihatin sehari-hari.
Membicarakan
pergelaran wayang kulit tidak dapat dilepaskan dari berbagai perangkat
pendukungnya. Pergelaran wayang kulit memuat berbagai jenis karya seni untuk
merangkai pertunjukan yang utuh, antara lain, seni rupa, seni musik
(karawitan), seni suara, seni bahasa dan sastra, dan seni drama[2]. Seni
rupa dapat dilihat dari tipografi bentuk wayang, bentuk gamelan, dan
perlengkapan atau peralatan yang mendukung pergelaran. Seni musik terdapat pada
alunan gamelan. Seni suara terdapat pada olah vokal dari pesindhen, penggerong,
dan dalang. Seni bahasa dan sastra terdapat pada catur yang dimainkan dalang dan gendhing-gendhing dari pesindhen maupun penggerong.
Sedangkan seni drama terdapat pada adegan-adegan (sabet).
JANTURAN
Swuh
rep data pitana. Sastra merupakan unsur dominan dalam
pergelaran wayang kulit dan media sastra adalah bahasa. Bahasa dalam pergelaran
wayang kulit menggunakan Bahasa Jawa, baik ngoko,
krama, krama inggil, maupun
Bahasa Kawi. Bahasa ngoko, krama, dan krama inggil digunakan untuk
dialog yang dalam pergelaran wayang kulit disebut dengan ginem dan antawacana.
Bahasa Kawi digunakan untuk janturan,
suluk dan gendhing-gendhing
pengiring adegan. Dari sini dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan bagian
penting dalam pergelaran wayang kulit.
Melalui
bahasa, dalang menyampaikan lakon atau isi cerita, kritik, dan pesan kepada
masyarakat. Bahasa juga digunakan sebagai penguat suasana, penggambaran
peristiwa, alat mempengaruhi penonton, dan sebagainya. Bahasa dalam pergelaran
wayang kulit berperan besar membentuk bangunan cerita wayang kulit semalam
suntuk. Maka dari itu, sebagai penonton awam atau pemula diharapkan untuk
mempelajari serta memahami Bahasa Jawa agar dapat memahami cerita wayang kulit
secara utuh. Di sisi lain, unsur kesastraan juga dapat dilihat dari penyajian
adegan, karena adegan berkaitan dengan dramatisasi yang memang bagian dari
sastra. Dalam hal ini, dalang berusaha memainkan lakon wayang secara dramatis
agar terlihat indah.
Dalam pergelaran wayang kulit, dramatisasi (tindakan atau
perbuatan) tokoh wayang dinamakan sabet.
Sabet dalam pergelaran wayang kulit
merupakan semua gerakan wayang yang dimainkan dalang. Sabet merupakan manipulasi wayang[3].
Maksudnya, dalang berusaha menghidupkan tokoh wayang melalui gerak dinamis yang
sesuai dengan suasana batin tokoh. Sabet
dalam pergelaran wayang kulit mendukung eksistensi cerita wayang yang
ditampilkan. Perang dan jogetan tokoh
wayang merupakan jenis sabet yang
paling menonjol. Biasanya sabet yang
paling ditunggu-tunggu penonton, yaitu perang – khususnya perang kembang (berdasarkan wawancara beberapa penonton).
Melalui dramatisasi (sabet)
dalang berusaha menjalin komunikasi dengan penonton melalui gerak. Bahkan, banyolan tokoh tidak harus diungkapkan
melalui dialog, tetapi dapat diwakili dengan solah tokoh wayang. Artinya, dalam pementasan dalang menjalin
komunikasi secara tidak langsung dengan penonton[4]. Sabet
dalam hal ini solah wayang juga dapat
digunakan untuk menggambarkan suasana hati tokoh. Misalnya, dalam jejer Hastina Pura, Duryudana tampil
dari kanan bersamaan dengan Drona yang tampil dari kiri. Ketika saling
berhadapan, Duryudana membelakangi dan diam sejenak. Dalam hal ini dalang
bermaksud menyuguhkan kemarahan Duryudana melalui sabet. Peristiwa dan suasana pertemuan dua tokoh tersebut menjadi
dramatis dan indah ketika dalang menggambarkan suasana hati tokoh melalui sabet. Maka dari itu, unsur drama dalam
pergelaran wayang kulit termasuk dalam ranah kesusastraan.
LADRANG
Bumi
gonjang ganjing langit kelap kelap. Seluruh perwatakan
tokoh wayang kulit merupakan perwujudan watak manusia yang ada di dunia ini.
Sebagai contoh, ada manusia yang berwatak licik dan culas yang dalam pergelaran
wayang kulit digambarkan seperti tokoh Sangkuni. Begitu juga ada manusia yang
berwatak arif dan bijaksana yang digambarkan melalui tokoh Puntadewa. Bahkan di
dalam diri setiap manusia terdapat watak baik dan buruk atau hal tersebut biasa
dikatakan sebagai kelebihan dan keburukan. Kedua perwatakan tersebut juga
melekat pada tokoh wayang. Misalnya, Bima sebagai representasi kebaikan juga
seringkali emosional atau mudah tersulut kemarahan.
Contoh
lain, ketika dalang mengucapkan janturan
Hastina Pura yang di dalamnya menjelaskan watak Duryudana. Duryudana mempunyai
nama lain Suyudana. “Suyudana, suyud marang pepingil, dana marang paweweh…”
terjemahan bebasnya “suyud marang pepingil” yaitu suka memberi kepada yang
membutuhkan, “dana marang paweweh” yaitu
gemar berbagi kepada yang kekurangan. Artinya, Duryudana yang dikenal
masyarakat sebagai representasi keburukan juga mempunyai watak baik. Hal ini
bertujuan agar penonton tidak hanya memandang manusia hanya dari watak buruknya
saja[5].
Selain
itu, simpingan wayang juga dapat
dikatakan sebagai representasi karakter manusia. Simpingan ditata rapi di sebelah kanan dan kiri dalang. Simpingan sebelah kanan dalang merupakan
karakter-karakter representasi kebaikan dan simpingan
sebelah kiri dalang merupakan gambaran karakter-karakter representasi
keburukan. Wayang simpingan semakin
dekat dengan dalang bentuknya semakin kecil. Artinya, bagi manusia yang semakin
mempunyai watak rendah hati maka akan semakin dekat dengan Yang Mahakuasa, yang
dalam pergelaran wayang kulit dalang merupakan gambaran dari Yang Mahakuasa
karena memiliki kekuasaan memainkan tokoh wayang.
Bagian
lain dari pergelaran wayang kulit yang berkaitan dengan sastra, yaitu
pembabakan. Pergelaran wayang kulit sama halnya dengan drama modern yang di
dalamnya terdapat pembabakan untuk mengatur alur cerita. Pembabakan merupakan
bagian penting dalam sebuah drama yang di dalamnya memuat adegan-adegan yang
saling berkaitan yang pada akhirnya membentuk satu cerita utuh. Dalam
pergelaran wayang kulit babak disebut dengan pathet. Pergelaran wayang kulit, khususnya gaya Surakarta dan Yogyakarta,
pathet dibagi menjadi tiga pembabakan
besar, antara lain pathet nem, pathet
sanga, dan pathet manyura.
Pergelaran wayang kulit Jawa Timuran membagi pathet menjadi empat, antara lain pathet sepuluh, pathet wolu, pathet sanga, dan pathet serang.
Pathet dalam konteks pertunjukan wayang
dimaknai sebagai sistem pengatur pembagian waktu yang berkaitan dengan olahan musikal[6].
Pathet dimaknai sebagai sistem yang
mengatur tatanan fungsi nada, kedudukan nada, dan wilayah nada. Maksudnya,
tinggi rendahnya pathet digunakan
untuk mengiringi pembabakan pergelaran wayang kulit. Iringan gamelan pathet nem digunakan pada pathet (babak) nem, iringan gamelan pathet
sanga digunakan pada pathet sanga, dan iringan gamelan pathet manyura digunakan pada pathet manyura. Tiga pathet tersebut mempunyai struktur internal sama, yaitu jejer, adegan, dan perang. Tiga bagian
tersebut mempunyai struktur intern, yaitu deskripsi, dialog, dan tindakan.
Ketiga struktur intern tersebut masih didukung unsur karawitan. Unsur karawitan
yang dimaksud dimainkan sesuai keadaan dalam adegan. Unsur-unsur tersebut
meliputi, sulukan, krepyakan, dhodhogan, dan sabetan
yang dilakukan dalang, gendhing yang
dinyanyikan pesindhen dan penggerong.
Secara
pakem, pathet nem (babak pertama)
ditandai dengan kayon miring ke kiri
dan dalang melakukan jejer kapisan.
Adegan yang terdapat pada pathet nem,
antara lain Pisowanan Agung, Paseban Jawi, Budhalan Wadyabala, dan Perang
Gagal. Empat adegan tersebut dirangkai di dalam caturan (janturan, pocapan, ginem), sulukan, dan sabetan. Selain itu, pada pathet nem biasanya terdapat adegan
hiburan (dagelan) yang dinamakan Limbukan atau Cangikan dengan menampilkan tokoh Cangik dan Limbuk. Adegan
tersebut ditampilkan setelah bubaran Pisowanan Agung.
Pathet
sanga (babak kedua) ditandai dengan kayon ditancapkan tegak. Adegan yang terdapat pada pathet sanga, diantaranya Bambangan,
Perang Kembang, Pisowanan Kasatriyan. Pada pergelaran wayang kulit, baik gaya
Surakarta, Yogyakarta, maupun Jawa Timuran, pathet
sanga diawali dengan adegan Gara-Gara dengan menampilkan tokoh Panakawan.
Gaya Surakarta dan Yogyakarta menampilkan tokoh Panakawan, antara lain Gareng,
Petruk, dan Bagong. Gaya Jawa Timur menampilkan hanya tokoh Bagong. Fungsi dari
adegan tersebut sama dengan adegan Limbukan
pada pathet nem, yaitu sebagai
hiburan. Di sisi lain, adegan Gara-Gara juga banyak menyampaikan pesan,
nasihat, dan filosofi kehidupan bagi masyarakat penonton. Pathet Manyura (babak ketiga) ditandai dengan kayon miring ke kanan. Adegan yang terdapat pada pathet manyura, antara lain Pisowanan
Agung dan Perang Brubuh. Setelah
adegan terakhir selesai dalang melakukan suwuk
dan tancap kayon yang menandakan
pergelaran wayang kulit selesai.
SREPEGAN
Nuladha
laku utama//tumraping
wong tanah jawi. Bagian sastra paling penting dalam pergelaran wayang
kulit, yaitu catur. Catur merupakan rangkaian bahasa yang
diucapkan dalang dari babak pertama (pathet
nem) sampai babak terakhir (pathet
manyura). Catur dalam pedalangan
Surakarta merupakan susunan atau rangkaian bahasa yang diucapkan dalang pada
waktu penyajian wayang, yang berisi pelukisan keadaan dan berupa dialog tokoh
wayang. Susunan catur antara lain, janturan, pocapan, dan ginem (antawacana).
Janturan merupakan bentuk prosa yang
mendeskripsikan suasana adegan serta karakter tokoh wayang dengan diiringi
gamelan. Janturan berasal dari kata jantur yang bermakna melukiskan atau
menggambarkan. Fungsi janturan untuk mendeskripsikan suasana
adegan serta karakter tokoh wayang. Secara filosofis, penggambaran suasana dan
karakter tokoh wayang memberikan pengajaran kepada manusia atau penonton agar
menjalankan kebaikan dan menjauhi keburukan. Hal tersebut terdapat dalam uraian
janturan yang menggambarkan kebaikan dengan
jelas dan keburukan dengan jelas, baik suasana maupun karakter tokoh.
Pocapan yaitu deskripsi suasana adegan
dan pelukisan karakter tokoh wayang tidak disertai iringan gamelan[7].
Pocapan atau ucapan, secara filosofis
apabila merujuk tidak diiringinya gamelan bermakna bahwa sekali waktu manusia
membutuhkan keheningan untuk merenung atau melakukan perenungan. Hal tersebut
berdasarkan karakter pocapan yang
menggambarkan suasana dan karakter tokoh. Korelasi dari kehidupan nyata, bahwa
dalam setiap harinya manusia membutuhkan keheningan untuk merefleksikan
perilaku yang telah dilakukan.
Ginem disebut juga dengan antawacana atau dialog tokoh wayang
kulit. Secara harafiah ginem bermakna
bicara atau berkata. Ginem tokoh
wayang kulit sekaligus dapat menggambarkan karakter tokohnya. Misalnya,
penggambaran karakter Sangkuni dapat dilihat dari nada bicaranya atau
intonasinya. Bratasena gaya bicaranya terbuka atau blakasuta. Hal tersebut mencerminkan watak keras dan teguh
pendirian. Secara filosofis, ginem
atau gaya bicara seseorang berhubungan dengan karakternya. Berdasarkan hal
tersebut, penonton dapat belajar mengenai karakter orang lain melalui tokoh
wayang.
Suluk atau sulukan merupakan bahasa puisi yang memberi efek suasana pada
pergelaran wayang kulit. Secara harafiah, suluk
mempunyai arti suara yang indah. Suluk menggambarkan
usaha manusia menuju Tuhan. Maksudnya, isi dari suluk mencerminkan perilaku manusia yang berdasarkan perintah
Tuhan. Suluk juga diartikan sebagai
suluh atau penerangan. Bisa juga diartikan jalan menuju kesempurnaan. Suluk dapat diartikan sebagai media
penerangan hidup. Secara filosofis, suluk
bermakna jalan ke arah kesempurnaan batin. Suluk
seakar dengan kata suluh yang bermakna alat yang digunakan sebagai penerangan. Suluk dalam pergelaran wayang kulit
berfungsi sebagai media pengajaran tentang kebaikan kepada penonton. Di sisi
lain, suluk berasal dari kata su yang bermakna indah, baik, atau
utama, sedangkan luk berarti lekuk
suara. Berdasarkan hal tersebut suluk
bermakna suara yang indah.
SUWUK
Meh
rahina sumubang hyang haruna,
kadi
netraning oga rapuh,
Sabdaning
kukila,
Ring kani gara
saketer.
Terjemahan
Bebas
Menjelang
fajar bersirat warna kemerahan,
seperti mata yang sedang sakit,
ocehan burung engkuk di pohon kanigara,
menyuarakan rintihan.
seperti mata yang sedang sakit,
ocehan burung engkuk di pohon kanigara,
menyuarakan rintihan.
Surabaya. Jumat
Pahing. 23 Maret 2018
Pemerhati
Persoalan Filsafat, Kebudayaan Jawa, dan Sastra
[1] Solichin
dan Suyanto. 2011. Pendidikan Budi
Pekerti dalam Pertunjukan Wayang. Surakarta: SENAWANGI.
[2] Pramulia, Pana.
2017. Sanggit: Filososfi Pergelaran Wayang Kulit. Lamongan: Pagan Press.
[3] Soetarno. 2005. Pertunjukan Wayang dan Makna Simbolisme.
Surakarta: STSI Press.
[4] Soedarsono, Manteb dkk. 2015. Ki. Manteb Soedarsono: Pemikiran dan Karya
Pedalangannya. Sunardi (ed). Surakarta: ISI Press
[5] Pramulia, Pana.
2017. Sanggit: Filososfi Pergelaran Wayang Kulit. Lamongan: Pagan Press.
[6] Martopangrawit. 1969. Pengetahuan Karawitan. Surakarta: ASKI
[7] Soetarno. 2005. Pertunjukan Wayang dan Makna Simbolisme.
Surakarta: STSI Press
Komentar