FILOSOFI DONGKREK


SENI PERTUNJUKAN TRADISI
Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat religius, karena menganggap segala sesuatu mempunyai roh dan mempercayai segala yang ada di alam semesta ini mempunyai kekuatan Berbagai jenis dan karakteristik tradisi di Indonesia, diantaranya  dibungkus dengan kesenian atau seni pertunjukan. Ritual berbasis seni pertunjukan menyajikan sesuatu yang harmonis, dimana perpaduan antara ritus-ritus, alunan musik, gerak tari, serta olah suara melebur menjadi satu kesatuan cerita yang utuh. Soedarsono (2002: 126) mengemukakan bahwa seni pertunjukan ritual memiliki ciri-ciri khas, yaitu: 1) Diperlukan tempat pertunjukan yang terpilih, yang biasanya dianggap sakral; 2) Diperlukan hari serta saat yang terpilih yang biasanya juga dianggap sakral; 3) Diperlukan pemain yang terpilih, biasanya mereka yang dianggap suci atau yang telah membersihkan diri secara spiritual; 4) Diperlukan seperangkat sesaji, yang kadang-kadang sangat banyak jenis dan macamnya; 5) Tujuan lebih dipentingkannya daripada penampilannya yang esetetis; dan 6) Diperlukan busana yang khas.
Cerita yang di angkat dalam seni pertunjukan merupakan representasi dari kehidupan manusia. Tujuannya, agar cerita yang ditampilkan dalam seni pertunjukan mampu menjadi media pembelajaran serta perenungan masyarakat tentang arti kehidupan. Jadi, secara lahiriah seni pertunjukan merupakan alat untuk melakukan refleksi kehidupan. Simatupang (2013: 3) menyatakan jagad seni adalah jagad refleksi kemanusiaan, sebuah dialektika tiada henti yang hanya akan berakhir pada saat sirnanya manusia dari atas bumi.
Selain itu, seni pertunjukan yang berbasis ritual hadir untuk membentengi masyarakat dari hal-hal buruk, seperti angkara murka, keserakahan, ketamakan, penyakit, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan, bahwa seni pertunjukan tidak hanya sekadar sebagai tontonan, tetapi juga sebagai perlindungan dan tuntunan bagi masyarakat. Bahkan, dalam mitos-mitos masyarakat Nusantara, seni pertunjukan yang khas dengan aroma ritual-ritual tertentu mampu menjadi alat untuk keselamatan dan kesejahteraan. Sedyawati (1981: 52) berpendapat seni pertunjukan di Indonesia berangkat dari suatu keadaan dimana ia tumbuh dalam lingkungan-lingkungan etnik, adat, atau kesepakatan bersama yang turun temurun mengenai perilaku yang sangat besar untuk menentukan kebangkitan kesenian.
Soedarsono (1999: 1) memaparkan fungsi seni pertunjukan sebagai berikut: 1) Sebagai ritual kesuburan; 2) Memperingati daur hidup sejak kelahiran manusia sampai ia mati; 3) Mengusir wabah penyakit; 4) Melindungi masyarakat dari berbagai ancaman bahaya; 5) Sebagai hiburan pribadi; 6) Sebagai presentasi estetis; 7) Sebagai media propaganda; 8) Sebagai penggugah solidaritas sosial; 9) Sebagai pembangunan integritas sosial; 10) Sebagai pengikat solidaritas nasional. Berbagai fungsi yang diuraikan tersebut, tentunya apabila mencermati bermacam-macam seni pertunjukan di Indonesia mempunyai esensi yang sama, yaitu sebagai pembangunan moral masyarakat.
Tradisi lisan terlahir dari zamannya dan dapat digunakan pada semua zaman. Mungkin yang berbeda hanya bahasa dan bagaimana pelaku tradisi tersebut mentransformasikan tradisi lisan itu kepada masyarakat. Oleh karena itu, memahami tradisi lisan membutuhkan kecermatan serta ketelitian yang intensif, karena tradisi lisan berbaur dengan ritual-ritual keagamaan yang dipercayai masyarakat. Seiring berkembangnya pemikiran masyarakat menuju dunia modern, ritual-ritual yang dilakukan menjadi semakin praktis. Maka dari itu, tradisi lisan yang berbaur dengan berbagai ritual yang ada bisa dikatakan sudah tidak utuh lagi. Dengan kata lain sudah dimodifikasi oleh generasi-generasi penerusnya.
Tradisi lisan identik dengan daerah-daerah kecil, misalnya Madiun, Kediri, Nganjuk, Ponorogo, Tulungagung, dan sebagainya. Di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, gaung tradisi lisan hampir tidak bisa ditemukan. Hal ini disebabkan, kota besar sudah banyak terkontaminasi oleh budaya modern, sehingga banyak kalangan tua dan kalangan muda enggan untuk melestarikan tradisi-tradisi yang ada, karena mereka menganggap melakukan tradisi lisan membutuhkan biaya mahal, waktu yang panjang, dan tempat yang sakral. Bahkan, sebagian dari mereka mengatakan bahwa hal yang berhubungan dengan tradisi Nusantara adalah bid’ah atau tidak adanya tuntunan dari agama.
Sedangkan, di daerah-daerah kota kecil khususnya kota kabupaten kecil di Jawa, walaupun budaya modern juga telah merambah pesat tetapi masyarakatnya masih mengagungkan budaya asli peninggalan leluhur.  Hal ini tercermin dalam perilaku masyarakat untuk menghormati nenek moyang, seperti slametan, sesaji, ritual pernikahan, ritual kematian, ruwatan, sedekah bumi, bersih desa, dan masih banyak lagi. Hal ini menandakan bahwa tradisi lisan tersebut merupakan wujud dari peradaban manusia Jawa itu sendiri, dan tradisi tersebut membentuk akal-budi untuk memenuhi kebutuhan rohani. Di Kabupaten Madiun, tepatnya di desa Mejayan  ada sebuah tradisi lisan yang ditampilkan dengan menggunakan seni pertunjukan. Nama seni pertunjukannya adalah Dongkrek. Kesenian Dongkrek diciptakan oleh R. Bei Lo Prawirodipura yang menjabat sebagai Palang di Mejayan Kawedanan Caruban.
SEJARAH SINGKAT DONGKREK
Kesenian Dongkrek bermula dari bunyi yang ditimbulkan oleh perpaduan dua musik tradisional, yaitu bunyi “dong” yang berasal dari beduk dan gong dan bunyi “krek” yang berasal dari alat musik yang bernama korek. Maka dari itu, kesenian khas Caruban ini diberi nama Dongkrek. Berdasarkan hasil wawancara dengan keturunan ke-5 dari R. Bei Lo Prawirodipura, yaitu Bapak Roeshadi, dapat diperoleh informasi bahwa Dongkrek diperkirakan lahir sekitar tahun 1867.
Berbeda dengan kesenian Reog dan Jaranan, kesenian Dongkrek belum banyak di kenal masyarakat Indonesia, walaupun di Caruban, tepatnya di Desa Mejayan, kesenian Dongkrek setiap tahunnya, yaitu setiap bulan Sura mengadakan kirab. “Kirab adalah perjalanan bersama-sama atau beriring secara teratur dari muka sampai belakang dalam suatu rangkaian upacara (Novia, 2008: 264).” Masyarakat Caruban dan sekitarnya memahami, bahwa kirab seni pertunjukan Dongkrek  mampu untuk mengusir berbagai macam penyakit atau populer disebut pagebluk.
Secara lahiriah, Dongkrek merupakan sebuah seni yang menarik baik ditinjau dari segi wujud topeng maupun seni tariannya. Kirab seni pertunjukan Dongkrek ditampilkan masih berupa ujaran, tarian, prosesi ritual, dan wujud-wujud topeng yang simbolis. Simbol-simbol tersebut merupakan pesan tersurat yang disampaikan kepada masyarakat. Namun demikian dibalik apa yang tersurat ini terkandung nilai adiluhung sebagai santapan rohani secara tersirat. Memang peranan simbol dalam tradisi lisan merupakan unsur yang dominan, akan tetapi bilamana ditelusuri secara mendalam dapat ditemukan nilai-nilai edukatif yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, sampai di mana seseorang dapat melihat nilai- nilai tersebut tergantung dari kemampuan menghayati dan mencerna bentuk-bentuk simbol atau lambang yang telah diuraikan.
Menurut penuturan Bapak Roeshadi, dulu pada awalnya kesenian Dongkrek diciptakan almarhum R. Bei Lo Prawirodipura bertujuan untuk ritual mengakhiri penderitaan masyarakat disebabkan penjajahan Kolonial Belanda. Tata cara ritual yang dilakukan juga berbeda. Pada mulanya kesenian Dongkrek tidak dikirab, melainkan hanya menari di depan kediaman Ki. Palang. Kemudian dilanjutkan pagelaran wayang kulit, dan diakhiri penancapan keris Udan Arum (Semar Mesem) di halaman rumah Ki. Palang. Hanya saja, perangkat, peralatan, perlengkapan Dongkrek, pemimpin serta pelaku ritual tidak berbeda.
Uraian tersebut kiranya awal lahirnya dengan masa sekarang ada pergeseran ritual maupun fungsi pertunjukan dari kesenian Dongkrek. Pergeseran ritual dan fungsi pertunjukan tersebut merupakan sebuah fenomena menarik dan belum pernah dikaji sebelumnya oleh peneliti kesenian Dongkrek. Pergeseran tersebut bertolak dari kemungkinan-kemungkinan konseptual yang ada di masyarakat, atau bisa jadi problematik yang terjadi di masyarakat berubah dari masa ke masa.

FILOSOFI DONGKREK
Pada dasarnya, filosofi adalah studi mengenai kebijaksanaan, dasar-dasar pengetahuan, dan proses yang digunakan untuk mengembangkan dan merancang pandangan mengenai suatu kehidupan. Filosofi dalam sebuah kebudayaan memuat nilai-nilai yang merupakan hasil dari perbuatan atau perilaku manusia. Dongkrek sebagai seni pertunjukan tradisional juga menguraikan nilai-nilai adiluhung masyarakatnya. Lahirnya kesenian Dongkrek bisa dilihat dari sekar gambuh berikut ini.
Keparenga amatur//Sekar gambuh amurwani atur//Seni dongkrek angirta dongkrek kang asli//Ngleluri budaya luhung//Ciptane leluhur kita semangke kang cinatur//Riwayat dongkrek engkang asli//Asal saking Dusun Menjayan kang asli//Palang kalenggahanipun//Priya luhur kang yasa//Jamane kang kapungkur//Duk semana Menjayan kang dusun//Katrajang eng pagabluk akeh pepati//Tambah-tambah polah ipun//kawula ngudi usada Berkah Kang Maha Agung//Eyang Palang hang sakti halangkung//Metu brata angenta dongkrek mauwarni//Kinarya mbrasta pagabluk//Serno tapis tanpa sisa//Suka sukur yang Agung//Para kawula bingah kalangkung//Eyang Palang aparing dawuh sayekti//Istinen Budaya luhung//Nirkala suka raharja (SK Desa No2/DK/4/414/107.07/0/2003).

Terjemahan Bebas
Izinkan untuk menguraikan//melalui tembang gambuh ini//Seni Dongkrek yang asli//yang menceritakan budaya adi luhung//Hasil cipta dari leluhur kita//Riwayat Dongkrek yang asli//asalnya dari Dusun Mejayan//yang dipimpin oleh Palang//Laki-laki luhur yang baik//dari zaman dulu//Pada zaman dulu Dusun Mejayan//dilanda bencana yang mengakibatkan kematian//Jadinya, semuanya kalang kabut//masyarakat memohon kesembuhan dan berkah dari Yang Maha Besar//Eyang Palang yang memang sakti//berperang dengan menciptakan Dongkrek//untuk mengusir bencana//yang akhirnya hilang tanpa sisa//bersyukur kepada Yang Agung//Semua masyarakat bersuka cita//Eyang Palang berwasiat//bahwa budaya adi luhung//harus dilestarikan dengan kegembiraan.

Gambuh merupakan jarwadhasak dari gampang nambuh (Wirodono, 2011:xxx). Maksudnya, sikap yang seakan-akan sudah pandai atau sikap angkuh karena telah memiliki kekuatan. Gambuh juga bermakna “menantang”. Makna tersebut terdapat pada Serat Centhini Jilid I, “reh kaya papati//anggambuh prang pupuh” (Mijil, pada 24) dan “ingsun nguni pasanggiri//sapa kang agambuh pupoh” (Megatruh, pada 36). Makna dari “anggambuh” pada tembang Mijil dan “agambuh” pada tembang Megatruh sama, yaitu menantang. Gambuh juga bermakna pertemuan atau menemukan sesuatu setelah proses pencarian yang panjang. Pertemuan tersebut bisa berhubungan dengan jati diri, cita-cita, dan bahkan Tuhan. Dalam Serat Centhini Jilid 2 pada sekar Kinanti 99 pada 37, “lah kulup sira kariya//Ingsun gambuh mring panepin (hal 77). Terjemahannya, “Lhah nak, kalian tinggalah di sini//Aku ingin mengadakan pertemuan sebentar.
Berdasarkan uraian tersebut, maka jika merujuk pada sekar gambuh di atas dapat diambil makna menantang dan pertemuan. Menantang di sini dapat dikorelasikan dari keberanian/pertempuran Eyang Palang untuk mengusir pagebluk atau bencana. Sedangkan, gambuh sebagai pertemuan maksudnya bertemunya bencana dengan penolongnya. Makna keseluruhan dari tembang gambuh tersebut, bahwa semua pertolongan berasal dari Tuhan Yang Mahakuasa dengan berbagai perantaranya dan pentingnya bersyukur dalam keadaan apapun juga.
Pada awalnya bentuk sajian Dongkrek sebagai sarana ritual terbilang sederhana. Sajian Dongkrek masih berupa prosesi arak-arakan yang diikuti oleh tiga orang penari, iringan bunyi-bunyian (ensemble musik) dan beberapa tokoh masyarakat. Tiga penari yang dimaksud terdiri dari tokoh genderuwo, wanita perot, dan tokoh tua. Ketiga penari itu secara keseluruhan disajikan oleh laki-laki yang kesemuannya mengenakan topeng yang menggambarkan ketiga tokoh tersebut. Secara filosofi tiga tokoh tersebut merupakan representasi dari kakang kawah adhi ari-ari. Maksudnya, satu orang yang mempunyai dua saudara (maskulin dan feminim) yang tidak tampak. Tiga tokoh tersebut juga merupakan gambaran dari watak manusia, yaitu kebaikan dan keburukan.
Kemudian, Dongkrek pelan-pelan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Jumlah penari yang awalnya tiga berkembang menjadi tujuh penari, antara lain 1) orang tua; 2) putri ayu; 3) putri perot; 4) buta ireng; 5) buta abang; 6) buta kuning; 7) buta ijo. Orang tua merupakan representasi dari seseorang/pribadi manusia, putri ayu dan putri perot bisa diartikan sebagai gambaran gangguan seseorang yang didapat dari luar dirinya. Uraiannya, bahwa seseorang (laki-laki) seringkali tergoda oleh wanita dan demikian pula sebaliknya. Empat buta merupakan gambaran nafsu yang dimiliki manusia, yaitu alwamah, amarah, sufiah, dan mutmainah. Secara filosofis, gambaran tersebut bermakna bahwa setiap manusia harus bisa mengendalikan hawa nafsunya dan sekaligus meredam godaan-godaan dari luar dirinya. Maka, kalau sudah demikian manusia akan dapat hidup tentram, damai, dan santosa. Inti tarian Dongkrek, ‘Orang Tua” mampu menaklukkan dua putri dan berhasil mengalahkan empat buta/raksasa. Maknanya, bahwa setiap manusia hendaknya dapat mengendalikan hawa nafsunya, sehingga tidak tergoda oleh apapun yang mengganggunya. Hasilnya, manusia tersebut akan hidup sejahtera di dunia dan akhirat kelak.
Kemuadian, yang tidk dapat dipisahkan dengan kesenian Dongkrek yaitu perangkat gamelan yang mengiringinya. Gamelan merupakan perangkat alat musik dalam kesenian Jawa. Gamelan dan tari berpengaruh pada keluhuran watak dan membiasakan orang Jawa pada irama, yang ternyata membawa orang Jawa pada ketertiban dan kerajinan pada tingkah laku. Berdasarkan hal tersebut, kedudukan gamelan begitu penting dalam khasanah kesenian bahkan kehidupan orang Jawa karena irama gamelan mengajarkan tentang kebersamaan hidup. Kebersamaan tidak dihasilkan dari persamaan-persamaan, melainkan dari berbagai perbedaan. Hal tersebut terdapat pada berbagai macam jenis gamelan yang bentuk, fungsi, dan kegunaannya berbeda-beda membentuk satu kesatuan mengalunkan irama yang indah. Pesan dari filosofi tersebut memerintahkan manusia untuk senantiasa bekerjasama dalam hal kebaikan tanpa melihat perbedaan-perbedaan yang dimiliki antara satu dengan lainnya.
Gamelan kesenian Dongkrek ada banyak macam yang menghasilkan irama statis dan dinamis untuk didengarkan. Pada awalnya, gamelan Dongkrek hanya memiliki unsur-unsur ritme, tempo, dan dinamika, maksudnya tidak memiliki unsur melodi. Meskipun tidak memiliki unsur-unsur musik lengkap, namun mereka tetap menganggap bahwa itu musik. Alasan mereka untuk itu cukup kuat, oleh karena unsur ritme yang terdapat dalam Dongkrek sudah merupakan unsur pokok dalam musik, tanpa ritme musik itu tidak ada. Sebagaimana ditegaskan pula oleh Leon Stein (1979:259) rhythm is the result of relationship between the duration and progression of successive sound. The pattern of movement in sound may either symmetrical and recurrent of non-symmetrical and non-recurrent. Rhythm is the most basic element in music-it is the one element without which nonmusic can exist.
Perangkat gamelan Dongkrek pada awalnya, antara lain: bedug, kenthongan, korek dan gong beri. Instrumen bedug dimaksudkan untuk menghasilkan bunyi suara “dung”, instrumen korek untuk bunyi “rek....rek”, instrumen kenthongan untuk bunyi “thok...thok”, dan instrumen gong beri  untuk bunyi “zheng...zheng”. Bedug merupakan simbol awal mula kejadian, dimulainya kehidupan, dimulainya segala sesuatu. Maka dari itu, penanda untuk memulai ibadah salat dalam agama Islam, yaitu dengan ditabuhnya bedug. Dalam kesenian Dongkrek, secara filosofis bedug diartikan sebagai awal atau dimulainya kembali kehidupan yang aman, tenteram, dan sejahtera. Kethongan merupakan alat musik yang biasanya digunakan untuk mengumpulkan masyarakat. Secara filosofis, kenthongan bermakna gotong royong atau simbol kerukunan masyarakat. Artinya, melalui kenthongan masyarakat diingatkan agar senantiasa menjaga kerukunan.
Sejauh ini belum diketahui asal muasal gong ini diadopsi atau gong  ini diciptakan. Bentuk gong beri juga tidak begitu populer, sehingga tidak ada dalam beberapa bentuk komponen perangkat gamelan, seperti gamelan Jawa (karawitan), gamelan Bali, gamelan  Sunda atau gamelan dalam pengiring kesenian rakyat yang lain. Maka dari itu, salah satu nilai khas Dongkrek terdapat pada alat musik gong beri. Beri mempunyai kata lain baki yang bentuknya mirip seperti nampan atau lengser. Benda tersebut sejenis perlengkapan rumah tangga yang terbuat dari logam dengan bentuk bulat pipih dan biasannya digunakan untuk sarana meletakkan dan membawa hidangan atau minuman guna disajikan kepada tamu. Berdasarkan uraian tersebut, secara filosofis gong beri bermakna sebagai simbol dari etika moral (Jawa) yang berarti berbudi luhur yang dibahasakan dalam basa Jawa menjadi budi bawa laksana (mumpuni, cakap dan berwibawa).
Selain gong beri yang merupakan nilai khas Dongkrek, alat musik korek juga merupakan kekkhasan kesenian Dongkrek. Alat ini tidak ditemukan pada kesenian lainnya. Konon korek menjadi cikal bakal dari munculnya nama kesenian Dongkrek. Bunyi “krek” yang dihasilkannya menginspirasi penciptaanya untuk dijadikan identitas dari kesenian yang diciptakan. Korek juga diasosiasikan secara simbolik memiliki fungsi makna konotatif berdasarkan logika berpikir orang Jawa. Secara subjektif korek diasosiasikan  dengan sapu korek yang dalam tradisi orang Jawa, sapu difungsikan untuk menyapu (membersihkan) segala sesuatu yang dianggap sebagai kotoran atau mengotori. Asumsi ini sekirannya lebih dianggap sebagai kotoran atau mengotori. Asumsi ini didasarkan pada aspek kebetulan semata karena nama instrumen korek dalam Dongkrek juga ditemukan dalam klasifikasi nama sapu lidi yang ada dalam tradisi masyarakat di Jawa. Dalam rumah tangga sapu lidi biasanya diklasifikasi ke dalam beberapa jenis, seperti: sapu lemes (sapu yang lidinya masih panjang dan baru), sapu kelud (sapu lidi yang diikat untuk membersihkan kotoran debu dimeja), sapu tebah (sapu yang digunakan untuk memukuli kasur yang dijemur dan sapu korek (sapu lidi untuk membersihkan halaman rumah dari segala kotoran).
Permainan musik dalam kesenian Dongkrek tidak mengalami perubahan yang signifikan, baik ketika Dongkrek difungsikan sebagai seni sakral pada awal kemunculannya, maupun sebagai seni tontonan dalam masa-masa perkembangan dan kejayaanya. Namun, beberapa perubahan memang telah terjadi di dalamnya. Perubahan itu lebih banyak terjadi pada segi instrumentasinya dan bukan  pada pola-pola memainkannya. Salah satu sebab terjadinya  perubahan instrumentasi tersebut, diantaranya terdapat penambahan jenis instrumen baru di dalamnya. Memasuki masa perkembangannya, instrumen alat musik itu terus mengalami penambahan. Penambahan tersebut selain dimaksudkan untuk terciptannya nada dan irama yang lebih menarik, juga untuk penyelarasan dengan beberapa atraksi yang ada dalam gerak tari atau atraksi seni lain. Beberapa instrumen tambahan tersebut diantaranya adalah: kendang, kenong, dan gong pamungkas. Instrumen kendang difungsikan untuk pengatur irama dan penghasil bunyi “dhang-dhang”. Instrumen kenong untuk menghasilkan bunyi “nong-nong” dan instrumen gong pamungkas untuk menghasilkan  bunyi “gung-gung.
Kenong merupakan salah satu bagian dari seperangkat gamelan karawitan yang berjumlah lebih dari satu dan penghasil rangkaian bunyi, ning, nang, nong. Dalam kesenian dongkrek serangkaian bunyi tersebut tidak bisa dihasilkan karena jumlah dan jenisnya hanya satu. Oleh karena itu, kenong dalam keseluruhan musik gamelan dongkrek berfungsi sebagai penjaga tempo dan bukan penghasil serangkaian bunyi tersebut. Penjaga tempo ini dalam karawitan sering disebut sebaga “ngethuki”. Secara filosofis, kenong bermakna bahwa seseorang harus senantiasa menjaga laku hidupnya dalam jalan kebaikan dan kebenaran. Sedangkan gong pamungkas dalam perangkat karawitan dikenal dengan sebutan kempul. Cara memainkannya dipukul dengan menggunakan stick berbalut kain. Sesuai dengan namanya, dia lebih difungsikan sebagai penyelaras akhir dari keseluruhan bunyi intrumen Dongkrek. Pola memainkannya juga mengikuti pola yang konstan, ajeg dan monoton, mengikuti pola-pola permainan intrumen yang lainnya. Sama dengan instrument yang lain, intrumen ini juga sulit untuk divariasaikan karena perangkat gamelan Dongkrek dilihat dari jenis dan jumlahnya hanya satu. Satu-satunya variasi yang bisa dlakukan hanya dengan mempercepat atau memeperlambat pola permainannya, persis seperti sifat dan karakter intrumen gamelan Dongkrek yang lain. Makna filosofi dari alat musik ini sama seperti kenong, yaitu manusia harus menjaga perilaku agar menuai keselamatan.
Kendang merupakan alat musik yang dapat memberikan kemungkinan dalam mengelola irama, dinamika dan variasi yang menambah keindahan artistik, sekaligus juga mengiringi dan mengatur serta mengendalikan gerak tarinya. Jadi fungsi kendang antara lain mengatur/mengendalikan dan mengiringi gerak tarian, memperindah tabuhan, menghentikan tabuhan, mengatur irama tabuhan, mengatur variasi, menjadi pimpinan seluruh perangkat gamelan lainnya. Kendang menurut istilah Jawa berarti “ngegongi”, yaitu mengakhiri atau tanda segala sesuatu telah berakhir/ selesai dan memang harus diakhiri karena seluruh rangkaianya memang telah selesai/ diselesaikan.

Komentar