LATAR BELAKANG MASALAH
Pergelaran
wayang kulit memuat berbagai jenis karya seni untuk merangkai satu cerita yang
utuh, antara lain, seni rupa, seni musik (karawitan), seni suara, seni bahasa
dan sastra, dan seni drama. Seni rupa terdapat pada tipografi bentuk wayang,
bentuk gamelan, dan perlengkapan atau peralatan yang mendukung pergelaran. Seni
musik terdapat pada alunan gamelan yang dimainkan oleh niyaga atau pengrawit.
Seni suara merupakan olah vokal dari pesindhen,
penggerong, dan dalang. Seni bahasa
dan sastra terdapat pada catur yang
dimainkan dalang. Sedangkan seni drama terdapat pada adegan-adegan (sabetan) yang dimainkan dalang.
Purwadi
(2009:25) menjelaskan bahwa pagelaran wayang kulit, yaitu tontonan yang berupa
boneka yang terbuat dari kulit yang penuh warna-warni, yang bentuknya
melukiskan suatu bangun kepribadian manusia, dalam aspek kedalamannya justru
merupakan tuntunan kehidupan, sehingga juga disebut wayang purwa. Maksudnya,
cerita wayang merupakan representasi dari kehidupan manusia dimana dalam cerita
tersebut menguraikan tuntunan-tuntunan hidup menjadi lebih baik.
Berdasarkan
uraian tersebut, dalang hendaknya mempunyai kemampuan secara intelektual,
emosional, maupun spiritual agar filosofi-filosofi lokal yang memuat tuntunan
kehidupan dapat disampaikan kepada penonton dengan benar. Menurut Sujamto
(1995:26-27) wayang juga sebagai wahana pengabdian dalang bagi masyarakat,
Negara dan bangsa serta umat manusia pada umumnya.
Sinarto (wawancara tanggal 20 Oktober 2014) menyatakan bahwa dalang
merupakan milik masyarakat, sehingga seorang dalang hendaknya mengetahui
kebutuhan masyarakat dalam menonton pergelaran wayang kulit. Maksudnya, seorang
dalang diwajibkan mengerti dan memahami pasar agar kesenian wayang kulit tidak
ditinggalkan masyarakat karena dianggap monoton. Selain itu, penikmat
wayang kulit di Jawa Timuran tidak
seantusias masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Wayang kulit Jawa Timuran merupakan seni pedalangan yang
berasal dari Jawa Timur. Menurut Sinarto (wawancara tanggal 7 Agustus 2014)
secara teritorial gaya pakeliran di Jawa Timur dibagi menjadi empat, yaitu gaya
Mojokertoan, gaya Porongan, gaya Malangan, dan gaya Pesisiran. Gaya Mojokertoan
meliputi Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang dan sekitarnya. Gaya Porongan
meliputi Kabupaten Sidoarjo, Kotamadya Surabaya, dan sekitarnya. Gaya Malangan
meliputi Kabupaten Malang dan sekitarnya. Sedangkan, gaya Pesisiran meliputi
Kabupaten Lamongan, Kabupaten Gresik dan sekitarnya. Keempat gaya tersebut
mempunyai ciri khas berbeda walaupun kecil. Perbedaan signifikan hanya terdapat
pada gaya Malangan, yaitu laras
gamelan yang digunakan adalah laras pelog.
Menurut Sinarto (wawancara tanggal 7 Agustus 2014) wayang
kulit Jawa Timuran hanya terbatas pada residu Brang Wetan. Wilayah Madiun,
Kediri, dan sekitarnya tidak termasuk, karena secara gaya dan bahasa mengikuti
Jawa Tengah. Hal tersebut dapat dilihat dari bahasa sehari-hari. Satu contoh, rek dengan cah, yok apa dengan piye, embong dengan dalan, dan sebagainya.
Begitu juga dengan tradisi atau kebiasaan masyarakatnya. Selain itu, penamaan pathet, wanda wayang, laras
gamelan sama seperti gaya Surakarta, walaupun tempat-tempat tersebut termasuk
dalam wilayah Jawa Timur.
Berdasarkan uraian tersebut, Supriyanto (2001:2) juga
menyatakan sub-kultur Brang Wetan,
antara lain residu budaya Majapahit dapat dijumpai di Jombang, Mojokerto,
Surabaya dan sekitarnya, dan subkultur Osing di Banyuwangi serta subkultur
Malangan di residu kerajaan Singosari. Maksudnya, sebutan Brang Wetan mengacu
pada tempat di sebelah timur Bantaran sungai Brantas.
Ciri khas wayang kulit Jawa Timuran salah satunya terdapat
pada olah gamelan. Olah gamelan Jawa Timuran memiliki warna tersendiri. Hal
tersebut dapat diperhatikan dari pukulan kendang
yang khas seperti dalam tari remo dan
Ludruk. Bahkan, tari Remo dipentaskan
untuk membuka pergelaran wayang kulit Jawa Timuran. Fungsi tari remo sebagai conditioning atau untuk mengundang penonton hadir di pergelaran
wayang kulit. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa kedudukan tari
remo begitu penting dalam masyarakat Jawa Timuran.
Gendhing merupakan
nyanyian atau lagu yang dilantunkan oleh sindhen,
penggerong, dan dalang. Soetarno
(2005:85) menjelaskan fungsi gendhing
untuk menguatkan suasana yang dibutuhkan adegan, serta untuk memberikan rasa
tertentu terhadap karakter tokoh wayang. Selain itu, gendhing juga berfungsi sebagai hiburan, karena juga dilantunkan
saat adegan dagelan.
Menurut
Sinarto (wawancara tanggal 20 Oktober 2014) unsur-unsur karawitan pergelaran
wayang kulit meliputi, sulukan, krepyakan, dan gendhing. Gendhing berkorelasi langsung dengan
gamelan yang ditabuh nayaga. Salah
satu fungsi gendhing dalam pergelaran
wayang kulit sebagai pengiring adegan, penguat suasana, dan adegan hiburan.
Tembang yang digunakan dalam pergelaran wayang kulit dapat berupa tembang gedhe, tembang tengahan, tembang
macapat, dan tembang dolanan.
Pada pergelaran wayang kulit masa kini tembang
gedhe dan tembang tengahan jarang
digunakan, karena kedua tembang tersebut menggunakan bahasa Kawi yang sulit
dipahami masyarakat.
Gendhing-gendhing dalam wayang kulit Jawa Timuran
khas bernuansa kesenian Jawa Timur lainnya, seperti Ludruk dan remo. Hal
tersebut menunjukkan bahwa wayang kulit Jawa Timuran merupakan bernuansa
kerakyatan, walaupun lakon yang dimainkan bernuansa Keraton. Masyarakat Jawa
Timuran akan merasa akrab dengan suguhan bernuansa kerakyatan. Basuki
(2010:104) bagi masyarakat Arek, adanya gendhing-gendhing khas Jawa Timuran yang bernuansa kerakyatan terasa akrab
dengan telinga mereka, karena mereka terbiasa mendengarkannya baik dari wayang
kulit maupun dari seni yang lain seperti Ludruk, tari, atau Tayuban.
Menurut Sinarto (wawancara tanggal 7 Agustus 2014)
lakon tidak ada perbedaan siginifikan antara gaya Jawa Timuran dengan gaya
lainnya. Perbedaan terdapat pada adegan Gara-gara yang tidak disajikan secara khusus.
Maksudnya, sajian Gara-gara disesuaikan dengan alur lakon yang
dipentaskan. Tokoh dalam adegan tersebut hanya menyajikan dua Panakawan yaitu
Semar dan Bagong.
Salah satu unsur wayang
kulit yang penting yaitu bahasa. Strauss (2013:92-93) menyatakan bahasa
merupakan produk kebudayaan, karena bahasa digunakan masyarakat untuk
merefleksikan kebudayaan masyarakat secara umum. Melalui bahasa, dalang
menyampaikan lakon atau isi cerita, kritik, dan pesan kepada masyarakat. Bahasa
dalam pergelaran wayang kulit berperan besar membentuk bangunan cerita wayang kulit
semalam suntuk.
Bahasa (ginem) dalam pergelaran wayang kulit
Jawa Timuran dominan menggunakan bahasa dan dialek lokal Jawa Timuran. Sinarto
yang merupakan dalang Lamongan/Jawa Timuran menggunakan bahasa dengan terbuka.
Laksono (2004:49) menyatakan bahwa masyarakat Jawa Timuran, khususnya Pesisir
gaya berbicaranya lugas dan tidak banyak basa-basi. Hanya dalam penguraian janturan, pocapan, dan suluk tidak
ada perbedaan dengan gaya Mataraman.
Gaung
pergelaran wayang kulit Jawa Timuran masih kalah dibandingkan kesenian Jawa
Timuran lainnya, seperti Ludruk, kidungan, remo, tayuban, dan
sebagainya. Bahkan, seni pedalangan gaya Mataraman semakin mengancam eksistensi
wayang Jawa Timuran. Hal tersebut disebabkan, kurangnya generasi penerus dan
kurangnya peminat. Di sisi lain, budaya-budaya pop yang menjamur mengakibatkan
wayang kulit Jawa Timuran semakin tenggelam. Di
sisi lain, gendhing-gendhing yang digunakan memiliki nuansa
tersendiri. Masyarakat yang bukan dalam wilayah Brang Wetan, akan merasa aneh
mendengarkan gendhing-gendhing Jawa Timuran. Hal tersebut
disebabkan, masyarakat di luar wilayah Brang Wetan tidak memahami konvensi
naratif wayang kulit Jawa Timuran. Basuki (2010: 100) menyatakan konvensi naratif merupakan pengetahuan bersama (dalang dan
penonton) yang dibentuk dari repetisi sebuah cerita. Pengetahuan bersama
tersebut bisa berupa struktur penceritaan, pembangunan karakter, bagaimana
cerita berakhir, dan sebagainya.
Salah satu
unsur penting dalam wayang kulit Jawa Timuran, yaitu struktur penceritaan.
Struktur penceritaan dibangun berdasarkan terdapat tiga pathet. Menurut Soetarno (2002:151) setiap pathet mempunyai struktur internal yang sama yang terdiri dari tiga
bagian, yaitu jejer, adegan, dan
perang. Tiga bagian tersebut mempunyai struktur, yaitu deskripsi, dialog, dan
tindakan. Berdasarkan hal tersebut, wayang kulit Jawa Timuran memiliki struktur
penceritaan yang berbeda dengan gaya Mataraman.
Uraian di
atas menegaskan bahwa struktur penceritaan berkaitan dengan pengadeganan.
Menurut Sinarto (wawancara tanggal 20 Oktober 2014) struktur penceritaan wayang
kulit Jawa Timuran mengalir mengikuti alur cerita. Maksudnya, jalinan antar
adegan atau cerita tidak dipisah-pisahkan secara tegas, tetapi mengalir
mengikuti narasi. Narasi yang dibangun dalang berfungsi sebagai pembentuk
karakter cerita. Berbeda dengan gaya penceritaan wayang kulit Mataramam yang
lebih menguatkan unsur dramatiknya, dimana cerita dibangun berdasarkan
dramatisasi adegan. Dramatisasi adegan berfungsi sebagai pelengkap dialog.
Dapat dikatakan bahwa cerita gaya Mataraman terbagi menjadi adegan-adegan yang
dramatik.
Basuki
(2010:110) menyatakan gaya narasi wayang kulit Jawa Timuran dapat dikatakan
sebagai dramatic story telling.
Dalang wayang kulit Jawa Timuran seakan-akan mendongeng, bukan memainkan drama.
Pergantian antara adegan satu dengan adegan lainnya tidak dengan tiba-tiba,
melainkan dalang memberikan klu yang berupa pocapan.
Gaya penceritaan tersebut membentuk adegan-adegan yang saling merangkai
mengikuti narasi dalang, sehingga adegan-adegan tersebut tidak terputus begitu
saja. Di sisi lain, gaya penceritaan wayang kulit Jawa Timuran membuat ending cerita yang sulit ditebak
penonton. Hal tersebut disebabkan, ending
cerita akan dibangun sesuai dengan improvisasi narasi dalang. Misalnya, ending
cerita bisa menggantung, kemenangan tokoh utama, atau bahkan kekalahan tokoh
utama.
Berdasarkan
uraian tersebut, maka struktur penceritaan wayang Jawa Timuran memiliki ciri
khas tersendiri. Wayang Jawa Timuran memiliki gaya bercerita yang naratif,
sehingga narasi dalang, dialog tokoh, dan peran karakter saling berkaitan
membentuk lakon. Hal tersebut yang membuat penonton/penggemar wayang kulit Jawa
Timuran menyelesaikan pergelaran sampai tancep
kayon. Berbeda dengan penggemar wayang kulit Mataraman, yang seringkali
tidak menyelesaikan pergelaran, karena sudah dapat menebak ending ceritanya. Wayang kulit gaya Mataraman diakhiri dengan
kemenangan tokoh protagonis dan tokoh tersebut dijogetkan dalang.
Konvensi naratif yang
dimiliki dalang dan masyarakat Jawa Timuran berdampak pada eksistensi wayang
kulit Jawa Timuran. Dalang wayang kulit Jawa Timuran wajib memahami karakter
masyarakat Jawa Timuran. Karakter tersebut tercermin dalam perilaku, bahasa,
dan tindakan. Masyarakat Jawa Timur terkenal tegas dan blakasuta. Hal tersebut juga dapat dilihat dari kesenian
tradisionalnya, seperti remo dan Ludruk yang mencerminkan ketegasan.
Di samping itu,
kesenian-kesenian Jawa Timuran merupakan representasi dari rakyat kecil. Dapat
dikatakan bahwa kesenian Jawa Timuran bernuansa kerakyatan. Misalnya,
lakon-lakon Ludruk dominan
menceritakan permasalahan rakyat kecil, seperti “Sarip” dan “Sakerah”.
Sedangkan, nuansa kerakyatan dalam wayang kulit Jawa Timuran terdapat pada
nuansa gendhing yang dimainkan dan
struktur penceritaan. Nuansa gendhing
yang dimainkan dipengaruhi oleh kesenian Ludruk dan tari remo. Sedangkan,
struktur penceritaan identik dengan sastra lisan kentrung, kempling, dan mongdhe. Dua hal tersebut menjadi
identitas wayang kulit Jawa Timuran ditengah gencarnya hegemoni wayang kulit
Mataraman di Jawa Timur.
Berdasarkan uraian di atas,
maka penelitian ini berjudul “Nuansa Gendhing dan Struktur Penceritaan Wayang
Kulit Jawa Timuran”. Tujuan dalam penelitian ini yaitu mendeskripsikan nuansa gendhing dan struktur penceritaan wayang
kulit Jawa Timuran.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang yang
menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata lisan yang sudah ditranskripsi
menjadi kata-kata tertulis. Menurut Soedarsono (1999:39) bahan atau data
penelitian kualitatif harus dicermati untuk mendapatkan seperangkat
ukuran-ukuran yang ditentukan. Bahan atau data tersebut bisa terdiri dari
ujaran, catatan yang terekam dalam konteks berbeda. Maksud dari berbeda, yaitu
data bisa diperoleh dari observasi, perekaman langsung, dan wawancara langsung.
Beberapa perbedaan bahan dan data diklasifikasikan dan dipadukan untuk mencari
persamaan.
Penelitian
ini menggunakan pendekatan etnografi untuk memahami identitas masyarakat Jawa
Timur, khususnya masyarakat Jawa Timur territorial arek melalui pergelaran wayang kulit Jawa Timuran. Selain itu,
peneliti menggunakan pendekatan hermeneutik untuk mengetahui ujaran-ujaran
dalang mengenai cerita dan struktur penceritaan yang diuraikan dengan bahasa sanepa, pasemon atau simbolis. Berdasarkan uraian tersebut, jenis
penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu berupaya memaparkan secara
analitis prespektif dan berupaya untuk mendeskripsikan nuansa gendhing dan
struktur penceritaan pergelaran wayang kulit Jawa Timuran.
Penelitian
ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data. Tiga teknik tersebut dijadikan
bahan untuk proses selanjutnya. Tiga teknik tersebut saling berkaitan satu
dengan lainnya. Teknik pengumpulan data antara lain, teknik observasi, teknik
perekaman, dan teknik wawancara. Sedangkan teknik analisis data, peneliti
menggunakan tiga tahapan, antara lain interpretasi, eksplanasi, dan deskripsi.
NUANSA
GENDHING
Gendhing berkorelasi
langsung dengan gamelan yang ditabuh nayaga.
Fungsi gendhing dalam pergelaran
wayang kulit diantaranya sebagai pengiring adegan, penguat suasana, dan adegan
hiburan. Gendhing yang berfungsi
sebagai pengiring adegan dan penguat suasana disebut dengan gendhing pathetan, sedangkan gendhing
hiburan (lelagon) digunakan pada
adegan Limbukan dan adegan Gara-Gara
(Pramulia, 2017:32). Wayang kulit Jawa Timuran, tidak meenggunakan adegan Limbukan. Dalam adegan Gara-Gara,
ciri khas gendhing-gendhing Jawa Timuran sangat kental. Hal
tersebut dapat diamati dari pukulan gamelan yang tegas dan dinamis.
Seperti
yang disebutkan sebelumnya, bahwa gendhing-gendhing wayang kulit Jawa Timuran
berkaitan dengan kesenian Jawa Timuran yang lain, seperti Ludruk dan remo. Ludruk dan tari remo
adalah seni lokal yang menjadi penanda identitas “sub kultur Surabaya-an”
(Sudikan, 2004:32). Ciri-ciri dari kedua kesenian tersebut adalah suara
gamelan, dimana memuat nuansa kerakyatan didalamnya. Nuansa kerakyatan dapat
diperhatikan dari pukulan kendang dan gamelan yang bergas dan dinamis. Suara
gamelan yang bergas merupakan simbol protes terhadap tatanan keraton (negari
gung) yang halus dan berirama statis. Gendhing-gendhing tersebut digunakan untuk
mengiringi struktur bercerita wayang kulit Jawa Timuran.
Gendhing khas Jawa Timuran, yang tidak dimiliki gaya
lainnya salah satunya yaitu gendhing Gandakusuma. Gandakusuma
merupakan gendhing pembuka pergelaran
wayang kulit setelah tari remo. Gandakusuma berfungsi sebagai doa
keselamatan. Gendhing tersebut
digunakan untuk mengiringi pelungan
dalang pada (pembabakan) pathet wolu.
Gandakusuma diiringi gamelan laras slendro pathet (tinggi rendahnya nada) sepuluh.
Hal tersebut yang membuat wayang kulit Jawa Timuran berbeda dengan gaya
Mataraman, karena wayang kulit gaya Mataraman hanya mengenal tiga pathet, yaitu nem, sanga, manyura. Pergelaran wayang kulit Jawa
Timuran mempunyai tiga pathet, antara
lain pathet sepuluh, pathet wolu, pathet sanga, dan pathet
serang. Berikut penggalan pelungan dari pergelaran wayang kulit Jawa
Timuran.
Ingsun miwiti anggawan wayang,
o, bambang paesan keliring wayang,
gelaring jagad dumadi,
klarapaning naga papasihan,
preciking tapele jagad gumelar,
ya na jajraging sangka buwana.
Gligen ngajeging lasi blencong kencana murti,
Uriping Bathara Kama
ya na sulak ing Bathara Surya
ing sowang purba wasesa,
ya na kotakku kayu cendana sari, o
tutuping dhuwur jati kusuma
ya na kebak panggetaking ati,
Jengkala keketeging rasa kendang,
panuntuting wirama wiramane gendhing.
Terjemahan Bebas
Aku
akan mulai mendalang,
wayangku adalah bambangan (pemuda),
wayangku adalah bambangan (pemuda),
menggelar
jagad ciptaan Tuhan,
gedebogku
berkekuatan dua naga yang sedang memadu kasih,
pracik (ikat atas dan
bawah) layar bagaikan sabuk jagad raya,
kekuatannya bagaikan penyangga jagad.
kekuatannya bagaikan penyangga jagad.
Kekuatan tiang penegak
di sebelah kanan-kiri kelir sebagai
pagar (rajeg)
yang berkekuatan besi,
Adapun
lampu penerangnya bagaikan mas yang dimiliki dewa,
Hidupnya
Bathara Kama
dibalik
Bathara Surya
yang dikaruniai kekuasaan
untukmenguasai, mengatur/menata pada
alam raya ini,
Tempat
wayang (kotak) memakai bahan
sarinya
kayu cendana yang harum itu,
Tutup kotak bagian atas
menggunakan bahan kayu jati yang harum
(kusuma = kembang),
Sebagai alat pengiringku (gamelanku) kuatnya tabuhan kendang,
yang diikuti irama alunan gendhing.
Pelungan tersebut diuraikan dalang dengan nada tenang diiringi suara
rebab dan kendang yang mencerminkan nuansa Jawa Timuran. Nuansa Jawa Timuran
yang dimaksud merupakan simbol ketegasan. Nuansa Jawa Timuran ini kontradiktif
dengan pelungan yang tenang dan terkesan hening, akan tetapi dari kontradiktif
tersebut menimbulkan kekhasan Jawa Timur dan indah didengar. Kekhasan Jawa
Timuran ini berkaitan dengan karakter masyarakat Jawa Timur yang tegas tetapi
tetap mengedepankan unggah-ungguh atau sopan santun.
Masyarakat penggemar wayang kulit yang tidak terbiasa mendengarkan
suara gamelan beserta gendhing-gendhing wayang kulit Jawa Timuran akan
merasa aneh bahkan asing. Menurut Sinarto (wawancara tanggal 20 Oktober 2014)
suara gamelan Jawa Timuran berbeda dengan gaya lainnya. Adegan perang dalam
wayang kulit Jawa Timuran menggunakan gendhing
krucilan, dimana suara gamelan
dominan pada saron dan peking yang dipukul secara berirama
bergantian. Suara gamelan tersebut mencerminkan karakter masyarakat Jawa Timur
yang terbuka atau blaka suta terhadap
keadaan.
Tabel 1
Iringan gamelan Jawa
Timuran
No
|
Adegan
|
Gendhing
|
1
|
Jejer 1 Pathet
wolu dan sepuluh
|
Gendhing
Gandakusuma
|
2
|
Kedhatonan
|
Gendhing
Gethek Rancak
|
3
|
Paseban Jawi
|
Gendhing Ayak Kumpul Arang
|
4
|
Jejer 2
|
Gendhing Gedog Rancak
|
5
|
Perang Sepisan
|
Gendhing Ayak Kempul Kerep
|
6
|
Jejer 3
|
Gendhing Dhudha Bingung
|
7
|
Perang
Gagal Pathet Sanga
|
Krucilan Kempul Kerep
|
8
|
Jejer 4
|
Gendhing Jonjang
|
9
|
Jejer 5
|
Gendhing Rangsang
|
10
|
Perang Brubuh
|
Krucilan Kempul Kerep
|
11
|
Tanceb Kayon
|
Gendhing penutup
|
Sumber: Kayam (2001:
91-99).
Sedangkan dalam wayang
kulit Mataraman, adegan perang menggunakan gendhing
srepegan, dimana saron dan peking dipukul
secara statis (terus menerus). Berdasarkan pengamatan, gendhing krucilan
terkesan menghentak seperti iringan gamelan pada Ludruk dan tari remo.
Sedangkan gendhing srepegan terkesan lembut dan halus,
walaupun tempo yang dimainkan cepat. Perbedaan tersebut berkaitan dengan
perbedaan karakter antara masyarakat Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Masyarakat
Jawa Tengah cenderung halus dan kalem,
karena dekat dengan keraton, sedangkan masyarakat Jawa Timur cenderung apa
adanya dan terbuka, karena jauh dari tatanan keraton. Selain itu, banyak
kesenian dari Jawa Timur yang menyimbolkan protes terhadap tatanan keraton yang
dianggap sudah mapan.
Berdasarkan tabel di atas, menurut
Sinarto (wawancara tanggal 20 Oktober 2014) gendhing-gendhing seperti Gethek
Rancak, Gedok Rancak merupakan
khas Jawa Timuran. Gendhing-gendhing tersebut digunakan dalam
mengiringi Ludruk. Bahkan, gendhing Gandakusuma hanya terdapat dalam wayang kulit Jawa Timuran. Selain
itu, gendhing-gendhing tersebut tidak ditemukan dalam wayang kulit Mataraman. Bahkan,
masyarakat Jawa Timur yang berasal dari residu Mataraman (Madiun, Kediri, dan
sekitarnya) akan sulit menikmati nuansa gendhing
tersebut, karena rasa budaya yang dimiliki berbeda. Berikut tabel pengadeganan
dan gendhing-gendhing wayang kulit Mataraman.
Tabel 2
Iringan gamelan Mataraman
No
|
Adegan
|
Gendhing
|
1
|
Jejer 1 Pathet nem
Tamu datang
Bubaran, ratu masuk
|
Gendhing Kabor dilanjutkan Ladrang. Krawitan.
Ladrang Remeng
Ayak-ayakan Panjang Mas
|
2
|
Kedhatonan
|
Gendhing
Darmokeli/Gandrungmangu
|
3
|
Pasowanan jawi
|
Gendhing Kembangtiba
|
4
|
Budhalan
|
Lancaran
Kebogiro/Wrahatbala/Manjarsewu/
Singonebah
|
5
|
Jejer 2 Sabrangan
Perang
Gagal
|
Gendhing Udansore,
Ladrang Kembang
Gadhung, Srepegan Pinjalan
Srepegan, Guntur
|
6
|
Peralihan
|
Srepegan pathet sanga
|
7
|
Adegan Pandita Pathet
Sanga
|
Gendhing Langudhempel dilanjutkan
ladrangan
|
8
|
Perang Kembang
|
Ladrang Babad Kenceng
|
9
|
Sesudah Perang Kembang
|
Gendhing Gandrung Mangungkung
|
10
|
Peralihan
|
Sulukan Pathet Manyura
|
11
|
Jejer 3 Pathet Manyura
|
Gendhing Gliyung
|
12
|
Perang Brubuh
|
Srepegan, Guntur
|
13
|
Tanceb Kayon
|
Gendhing Boyong
|
Sumber: Kayam (2001:
91-99).
Berdasarkan data tabel 2 di atas, dapat
dibandingkan dengan tabel 1, dimana penggunaan gendhing berbeda. Selain itu, pengadeganan antara wayang kulit Jawa
Timuran dengan Mataraman juga berbeda. Wayang kulit Jawa Timuran memakai lima jejer, bahkan menurut Sinarto (wawancara tanggal 20 Oktober 2014) ada yang memakai enam jejer. Hal tersebut berkaitan dengan
ciri khas struktur penceritaannya, yaitu dramatic
story telling. Sedangkan wayang kulit Mataraman menggunakan tiga jejer
dengan dua peralihan. Peralihan tersebut sebagai ciri khas struktur
penceritaannya, yaitu dramatisasi adegan.
Ketika beberapa
pengadeganan wayang kulit Jawa Timuran diubah dalang menjadi pengadeganan
Mataraman, maka taste atau cita rasa
akan berubah. Seperti yang dilakukan Sinarto (tanggal 30 Agustus 2014) dalam
lakon Bale Gala-Gala, pada saat adegan Paseban Jawi gendhing yang digunakan gendhing
Kembangtiba. Berdasarkan hal
tersebut, penulis mewawancara lima penonton tua dan tiga penonton muda untuk
menanggapi pengubahan tersebut. Lima penonton tua berpendapat bahwa hal
tersebut terasa aneh didengar dan irama gamelannya kurang bergas. Satu penonton muda berpendapat gendhing tersebut kurang akrab di telinganya, dan dua penonton muda
lainnya menjawab biasa saja.
Berdasarkan hal tersebut, dapat
dikatakan bahwa karakter seni pertunjukan khususnya wayang kulit berkaitan
dengan karakter masyarakatnya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa
masyarakat Jawa Timuran berkarakter tegas dan blakasuta tercermin dalam kesenian tradisionalnya. Dengan kata
lain, masyarakat Jawa Timuran memosisikan diri sebagai pemberontak tatanan
Keraton. Pemberontakan tatanan Keraton dalam wayang kulit Jawa Timuran terdapat
pada olah gamelan dan gendhing yang
digunakan.
Nuansa gendhing-gendhing
memengaruhi minat penonton terhadap wayang kulit. Bagi masyarakat Jawa Timuran,
gendhing-gendhing khas Jawa Timuran yang bernuansa kerakyatan terasa akrab
dengan telinga mereka, karena mereka terbiasa mendengarkannya baik dari wayang
kulit maupun dari seni yang lain seperti Ludruk. Walaupun hanya persepsi, gamelan dan gendhing ternyata bisa berkorelasi dengan karakter. Sinarto
(wawancara tanggal 20 Oktober 2014) gamelan wayang kulit Jawa Timuran
mencerminkan jiwa “kerakyatan” masyarakat Jawa Timuran. Maka, gamelan dan gendhing wayang kulit Jawa Timuran
merupakan sebagai penanda identitas masyarakat Jawa Timuran.
STRUKTUR
PENCERITAAN
Struktur
penceritaan berkaitan dengan pengadeganan. Seperti yang dijelaskan dalam
sub-bab sebelumnya, bahwa struktur penceritaan wayang kulit Jawa Timuran
mengalir mengikuti alur cerita. Maksudnya, jalinan antar adegan atau cerita
tidak dipisah-pisahkan secara tegas, tetapi mengalir mengikuti narasi. Narasi
yang dibangun dalang berfungsi sebagai pembentuk karakter cerita. Cerita yang
dibangun berdasarkan narasi tersebut, membuat dalang wayang kulit Jawa Timuran
seakan-akan mendongeng, bukan memainkan drama.
Pergantian
antara adegan satu dengan adegan lainnya tidak dengan tiba-tiba, melainkan
dalang memberikan klu yang berupa pocapan.
Gaya penceritaan tersebut membentuk adegan-adegan yang saling merangkai
mengikuti narasi dalang, sehingga adegan-adegan tidak terputus begitu saja.
Berbeda dengan dengan wayang kulit Mataraman, dimana perpindahan adegan
mengikuti dramatisasi yang dilakukan dalang. Maksudnya, adegan bisa tiba-tiba
pindah tanpa proses penceritaan yang jelas. Hanya, secara cerita wayang kulit
Mataraman mudah ditebak penonton. Misalnya, pada pathet nem ada perang gagal,
pathet wolu ada perang kembang,
dan pathet manyura ada perang brubuh.
Bahkan, penggemar wayang territorial Mataraman seringkali tidak menyelesaikan
pertunjukan karena sudah mengerti akhir ceritanya.
Berbeda
dengan wayang kulit Jawa Timuran, dimana alur cerita bergantung pada inovasi
narasi dalang. Dalang dapat mengubah adegan sesuai kebutuhan. Menurut Sinarto (wawancara tanggal 20 Oktober 2014) alur cerita atau bahkan
pengadeganan bisa berubah sewaktu-waktu, hal tersebut bertujuan agar penonton
tetap menonton sampai pertunjukan selesai (tancep
kayon). Hal tersebut berkaitan dengan hasil wawancara dengan informan bahwa
pertunjukan wayang kulit Jawa Timuran wajib ditonton sampai tancep kayon, sehingga penonton dapat
mengerti ending cerita dan memahami
makna lakon.
Resolusi atau penyelesaian
masalah dalam wayang kulit Jawa Timuran, tidak terjadi dengan tegas seperti
gaya Mataraman. Penonton harus menunggu sampai adegan terakhir agar bisa
mengetahui akhir cerita karena adegan demi
adegan (jejer, ginem, perang) mengalir saling
bergantian. Di sisi lain, akhir cerita tidak harus dengan kekalahan tokoh
antagonis, tetapi bisa merupakan pengungkapan rahasia dalam lakon. Adegan yang mengalir tersebut yang membuat
penonton wayang kulit Jawa Timuran bisa
bertahan hingga tanceb kayon.
SIMPULAN
Nuansa gendhing dan
struktur penceritaan dalam wayang kulit Jawa Timuran merupakan penanda
identitas masyarakat Jawa Timur. Gendhing-gendhing tersebut bernuansa kesenian
Jawa Timur lainnya, seperti Ludruk
dan tari remo. Hal tersebut menunjukkan
bahwa wayang kulit Jawa Timuran merupakan kesenian kerakyatan.
Gendhing khas Jawa Timuran, yang tidak dimiliki gaya
lainnya salah satunya yaitu gendhing Gandakusuma. Gandakusuma merupakan gendhing
pembuka pergelaran wayang kulit setelah tari remo. Gandakusuma
berfungsi sebagai doa keselamatan. Selain itu, gendhing untuk mengiringi adegan perang
dalam wayang kulit Jawa Timuran menggunakan gendhing
krucilan, dimana suara gamelan
dominan pada saron dan peking yang dipukul secara berirama
bergantian. Ketika beberapa pengadeganan yang berkaitan dengan gendhing
dalang menjadi pengadeganan Mataraman, maka taste atau cita rasa akan berubah, karena tidak sesuai karakter
masyarakat Jawa Timuran.
Struktur
penceritaan wayang kulit Jawa Timuran mengalir mengikuti alur cerita.
Maksudnya, jalinan antar adegan atau cerita tidak dipisah-pisahkan secara
tegas, tetapi mengalir mengikuti narasi. Narasi yang dibangun dalang berfungsi
sebagai pembentuk karakter cerita. Pergantian antara adegan satu dengan adegan
lainnya tidak dengan tiba-tiba, melainkan dalang memberikan klu yang berupa pocapan. Gaya penceritaan tersebut
membentuk adegan-adegan yang saling merangkai mengikuti narasi dalang, sehingga
adegan-adegan tidak terputus begitu saja.
Penyelesaian masalah dalam wayang kulit Jawa Timuran, tidak
terjadi dengan tegas. Penonton harus menunggu sampai adegan terakhir agar bisa
mengetahui akhir cerita, karena adegan demi
adegan (jejer, ginem, perang) mengalir saling
bergantian. Di sisi lain, akhir cerita tidak harus dengan kekalahan tokoh
antagonis, tetapi bisa merupakan pengungkapan rahasia dalam lakon.
DAFTAR
PUSTAKA
Basuki, Ribut. 2010. Identitas
Arek dalam Teks Naratif Wayang Kulit Jawa Timuran: Konstruksi dan Dekonstruksi
Masyarakat Jawa. Jakarta: Universitas Indonesia.
Kayam, Umar. 2001. Kelir
Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media.
Laksono, Kisyani. 2004. Bahasa
Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan: Kajian Dialektologi.
Jakarta: Pusat Bahasa.
Live-Strauss, Claude. 2013. Antropologi Struktural. Cetakan
keempat. Cetakan pertama tahun 2005.
Penerjemah: Ninik Rochani Sjam. Bantul: Kreasi Wacana.
Pramulia, Pana. 2017. Sanggit:
Filososfi Pergelaran Wayang Kulit.
Lamongan: Pagan Press.
Purwadi. 2009. Pengkajian
Sastra Jawa. Yogyakarta: Pura Pustaka.
Soedarsono. R.M. 1999. Metodologi
Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia dan Ford Foundation.
Soetarno. 2002. Pakeliran
Pujosumarto, Nartosabdo, dan Pakeliran Dekade 1996 - 2001. Surakarta: STSI
Press.
Sujamto. 1995. Wayang
dan Budaya Jawa. Cetakan Ketiga.
Cetakan Pertama Tahun 1992. Semarang: Dahara Prize.
Supriyanto, Henricus. 2001. Pandawa Bermain Dadu: Analisis Naratif, Makna Simbol, dan Fungsi Cerita
Wayang Malangan. Tesis. Denpasar: Universitas Udayana.
Komentar