MEMBACA DUNIA SIMBOL MELALUI SEMAR
Filosofi
atau pandangan hidup manusia merupakan refleksi yang dihasilkan melalui krida,
cipta, rasa, dan karsa yang bersumber dari realitas kehidupan – orang Jawa
menyebutnya ilmu kasunyatan. Langer berpendapat dunia simbol menjadi
inti pemikiran filosofi karena mendasari pengetahuan dan pemahaman semua
manusia.
Berdasarkan pendapat tersebut, menjadi
sebuah kelogisan bahwa perasaan yang dimiliki manusia dimediasikan melalui
konsepsi, simbol, dan bahasa. Simbol merupakan instrumen pemikiran manusia yang
menjadi konsep dasar tentang suatu hal.
Simbol
juga digunakan masyarakat Jawa sebagai pedoman sosial. Filososfi Jawa erat
kaitannya dengan simbol. Hal tersebut tercermin dalam perilaku masyarakat Jawa
melakukan ritual. Ritual dalam mitologi Jawa digunakan untuk pengajaran moral
dan budi pekerti. Slametan, larung
sesaji, sedekah bumi, nyekar, dan
sebagainya merupakan bentuk sinkretis multibudaya. Umumnya, ajaran moral
masyarakat Jawa yang dilakukan melalui ritual tidak disampaikan secara terbuka.
Maksudnya, ajaran moral disampaikan melalui simbol-simbol.
Hal
tersebut berdasarkan idiom orang Jawa “wong
Jawa nggone semu, sinamun ing samudana, sasadone ingadu manis”. Artinya,
orang Jawa cenderung bersikap semu, penuh simbol, dan kata-kata yang
disampaikan samar. Di sisi lain, orang Jawa mempunyai ciri khas untuk
menciptakan simbol. Cara paling populer melalui pemadatan kalimat atau jarwadhosok. Misalnya, kata sukun mempunyai arti supaya rukun, kata cengkir
berarti kencenging pikir, kata tebu mempunyai arti antebing
kalbu, dan sebagainya.
Berdasarkan
contoh-contoh tersebut, simbol merupakan pengejawantahan
expresi dan persepsi yang merujuk pada konsepsi spiritual. Selain itu, dunia
simbol bagi orang Jawa tidak lain adalah bukti kuat bahwa sejak jaman
prasejarah orang Jawa telah berkeyakinan ada kekuasaan besar di luar kekuatan
manusia. Bahkan dapat diartikan, bahwa sejak dulu orang Jawa sudah religius
atau meyakini adanya Tuhan. Salah satu wujud kepercayaan orang Jawa terhadap
Tuhan, yaitu terciptanya tokoh Semar.
Semar
merupakan tokoh rekaan asli dari Jawa. Epos Ramayana gubahan Walmiki dan Epos Mahabarata
gubahan Wyasa, tokoh Semar tidak ditemukan. Semar juga populer disebut
Badranaya. Nama Badranaya berakar dari kata “Bebadra” yang berarti “Membangun
dari dasar”, dan “Naya” yang berarti “utusan”. Makna dari Badranaya adalah
mengemban sifat untuk membangun. Semar ditugaskan untuk membenahi dan
meluruskan kesalahan. Menurut arti harafiahnya, Badranaya merupakan penuntun
makna kehidupan.
Lakon-lakon
wayang kulit Jawa, tokoh Semar bertugas sebagai pamong. Berdasarkan terminologi Jawa istilah pamong adalah pamomong
atau abdi. Kata pamong seakar dengan
kata “emong” atau ngemong”, yaitu orang yang bekerja untuk
mengasuh atau merawat. Semar diutus mengabdi pada tokoh protagonis. Tugasnya,
mengasuh, merawat, mengingatkan, dan meluruskan kesalahan tokoh yang di-emong-nya. Tokoh-tokoh pewayangan yang
pernah di-emong Semar diantaranya,
Begawan Wisrawa, Harjuna Sasrabahu, Rama Wijaya, Lesmana Mandrakumara,
Palasara, Abiyasa, Pandu Dewanata, dan Pandawa.
Semar
sendiri berarti “haseming samar-samar” atau tertawanya tidak jelas. Ketidakjelasan
tersebut bisa dilihat dari wujud Semar. Secara keseluruhan, fisik Semar begitu
kontradiktif. Matanya menangis, tetapi mulutnya tertawa. Berdiri, tetapi tampak
jongkok. Tertawanya diakhiri dengan tangisan. Mempunyai kuncung seperti
anak-anak, tetapi wajahnya tampak tua. Sosoknya seperti laki-laki. tetapi
pantatnya mirip perempuan. Hal tersebut menggambarkan kehidupan di dunia serba
tidak jelas, karena hanya Tuhan yang tahu.
Begitu
dekatnya masyarakat Jawa dengan Semar, sehingga di Jawa ada aliran kebatinan
bernama Sapta Darma yang menjadikan Semar sebagai simbol. Bahkan Franz Magnis
Suseno menyebutkan bahwa kemunculan Semar dalam lakon-lakon wayang kulit Jawa
akan disambut oleh gelombang simpati penonton. Barangkali simpati penonton
tersebut berkorelasi dengan geneologi
tokoh Semar yang diciptakan orang Jawa.
Pemerhati Budaya. Tinggal di Sidoarjo
Komentar