LATAR
BELAKANG MASALAH
Salah
satu kemajuan sebuah negara bergantung dari keadaan ekonomi masyarakatnya. Maka
dari itu, negara-negara ASEAN mencanangkan Masyarakat Ekonomi ASEAN untuk
meningkatkan perekonomian. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan pasar
bebas, dimana bukan hanya mengenai perdagangan barang, jasa, atau sejenisnya,
melainkan juga mengenai bebasnya masyarakat di kawasan ASEAN untuk menjadi
tenaga kerja di Negara-Negara ASEAN. Tujuan dari pergelaran MEA tersebut,
menengok bahwa Negara-Negara di ASEAN masih digolongkan sebagai negara
berkembang dan harus ikut bersaing dengan masyarakat ekonomi dunia, agar
sejajar dengan negara-negara maju. Hal ini menjadi tantangan bagi negara-negara
di ASEAN.
Di
Indonesia, hingar bingar MEA sudah terdengar kurang lebih satu dekade sebelum
MEA benar-benar diberlakukan. MEA memungkinkan kompetisi pedagangan semakin ketat, misalnya satu
negara bisa menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di
seluruh Asia Tenggara, bahkan juga memudahkan tenaga kerja bekerja di seluruh
kawasan negara-negara Asia Tenggara. Masyarakat Indonesia,
khususnya usaha kecil, usaha menengah, sampai usaha besar berbondong-bondong
mempersiapkan diri untuk menyambut hal tersebut. Berdasarkan hal itu, Indonesia
yang menjadi salah satu anggota ASEAN dan juga negara terbesar di ASEAN harus
bersiap menerima tantangan ini.
Di
sisi lain, tidak hanya dunia entrepreneur
yang sibuk mempersiapkan diri, tetapi juga dunia pendidikan yang banyak
menggunakan MEA sebagai bahan kajian maupun tema dalam seminar. Bahkan,
universitas-universitas dan sekolah-sekolah di seluruh Indonesia
berbondong-bondong mempersiapkan peserta didiknya agar kompeten dan terampil
menghadapi dunia kerja. Setelah memasuki dunia kerja, peserta didik diharapkan
mampu bersaing menghadapi pasar bebas tersebut. Begitu juga dengan masyarakat
umum secara luas, MEA sudah dikabarkan melalui media, seperti media massa dan
media sosial.
Jika
merujuk pada yang disebutkan di atas, maka sepintas lalu MEA hanya persoalan
perekonomian, perdagangan, dan ketenagakerjaan. Padahal di balik itu semua, MEA
merupakan permasalahan integritas suatu bangsa. Setiap Negara di ASEAN diminta
men-display integritasnya. Integritas
merupakan mutu dari sebuah potensi dan kemampuan. Ada dua hal yang harus
dipenuhi untuk sebuah integritas, yaitu moral dan pengetahuan. Moral tanpa
didukung pengetahuan akan menyebabkan kehilangan daya. Sebaliknya, pengetahuan
tanpa moral akan menyebabkan kerusakan.
Moral
berhubungan dengan hal positif, seperti akhlak, budi pekerti, perilaku baik,
sikap yang baik, berbuat adil, dan sebagainya. Maka dari itu, moral akan
menghasilkan kebijaksanaan. Moral berkaitan dengan permasalahan etika, dan kewajiban
yang diemban setiap manusia. Moral di dalam setiap kebudayaan selalu
digaungkan. Suseno (1987:14) menyatakan moral
merupakan ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan,
kumpulan peraturan dan ketetapan, baik lisan maupun tertulis, bagaimana manusia
bertindak menjadi baik. Maksudnya, moral merupakan isyarat perintah yang
mengharuskan manusia berusaha lebih baik dari waktu ke waktu. Selain itu, moral
juga dapat dimaknai sebagai kata sifat yang wajib dimiliki setiap manusia.
Moral
merupakan potensi yang dimiliki manusia sejak lahir, tetapi moral dapat
tergerus oleh pengaruh buruk atau kebiasaan-kebiasaan yang melanggar peraturan.
Ketika seseorang melanggar peraturan, maka potensi untuk mengulangi akan besar
sekali. Hal tersebut yang menyebabkan manusia jauh dari sumber moral. Moral
berkaitan erat dengan permasalahan etika dan nilai. Pramulia (2016:38)
menyatakan seseorang yang bermoral dan beretika akan menemukan nilai dalam kehidupan
bermasyarakat dan seseorang yang berorientasi terhadap nilai akan dijadikan
contoh masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan hal tersebut, kiranya moral
menjadi pondasi utama integritas seseorang atau integritas sebuah bangsa.
Pondasi
utama tersebut harus diimbangi dengan pengetahuan. Pengetahuan merupakan
kemampuan pemahaman informasi yang diperoleh, sehingga menjadi modal menghadapi
kehidupan. Foucault (2012:325) menyatakan pengetahuan merupakan satu ruang
dimana subjek bisa menempati satu posisi dan berbicara mengenai objek-objek yang
dikenalinya di dalam diskursus. Maksudnya, seseorang yang cakap menangkap
informasi akan terampil menggunakan informasi tersebut dalam sebuah kehidupan. Bangsa
yang berpengetahuan akan kuat menghadapi berbagai tantangan. Bangsa yang
berpengetahuan akan mampu meredam reaksi ketika ada aksi.
Orang yang
berpengetahuan mestinya juga orang yang bermoral, agar tidak menyebabkan
kerusakan. Akan tetapi, banyak orang berpengetahuan yang tidak mempunyai moral
yang kuat. Dampaknya bisa menimpa pribadi itu sendiri, yaitu ketidakpercayaan
pihak lain terhadap pribadi tersebut, dan kedua berdampak pada keselamatan
pihak lain. Maka dari itu, moral dan pengetahuan dibutuhkan oleh seseorang dan
bahkan sebuah bangsa agar memiliki integritas. Integritas akan menghasilkan azas
kepercayaan pihak lain. Bangsa yang memiliki integritas akan dipercaya bangsa
lain. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki integritas yaitu orang yang
terampil, cakap, dan dapat dipercaya.
Di zaman sekarang ini,
jika kita melihat berita-berita di media massa maupun media sosial, maka akan
banyak ditemukan penyimpangan moral. Sebagai contoh, maraknya kasus pencurian
motor, pemerkosaan, terorisme, dan kasus-kasus kriminal lainnya. Selain itu,
kehidupan bertetangga saat ini sudah mencapai puncak mengkhawatirkan. Misalnya,
pembakaran sampah sembarangan, parkir mobil sembarangan, persaingan yang tidak
sehat, dan sebagainya. Hal tersebut disebabkan, hilangnya moral dan kurangnya
pengetahuan terhadap kehidupan sosial. Maka dari itu, perlu adanya penanaman
kembali moral dan pengetahuan terhadap masyarakat, khususnya generasi muda saat
ini.
Salah
satu media untuk menanamkan dan memperkuat integritas, yaitu melalui macapat. Macapat merupakan tembang dalam khasanah kebudayaan Jawa yang
berisi pengetahuan dan pengajaran tentang moral, etika, dan tata nilai dalam
kehidupan. Penanaman dan penguatan moral pengetahuan melalui macapat, dapat diterapkan di sekolah
sampai perguruan tinggi. Siswa, dalam mata pelajaran Bahasa Daerah diajak
memahami macapat, agar memiliki pijakan
moral dan pengetahuan yang kuat. Pemahaman tersebut tentu bertahap, yaitu pertama menyanyikan macapat dengan tujuan agar siswa dapat merasakan keindahannya, kedua menerjemahkan macapat dengan
tujuan agar siswa dapat mengerti dan memahami maksudnya, dan ketiga menafsirkan macapat dengan tujuan agar siswa dapat memahami makna dan dapat
mengaplikasikannya dalam kehidupan.
Berdasarkan tahapan
tersebut, kiranya moral yang terdapat dalam tembang macapat dapat melesak ke dalam bawah sadar siswa dan sekaligus
mendapatkan pengetahuan tentang kehidupan. Dari sini, siswa yang sudah memahami
macapat akan memiliki integritas. Generasi
muda yang memiliki integritas yang kuat akan bertahan, bahkan akan mampu
berkutat melawan arus pasar bebas di Era MEA. Mengapa demikian? karena apabila
masyarakat tidak siap menghadapi arus pasar bebas, bisa berdampak pada tindak
kejahatan atau kriminal. Berdasarkan uraian tersebut, maka makalah ini berjudul
“Macapat Menjawab Tantangan MEA”.
MENGENALKAN
MACAPAT DI SEKOLAH
Indonesia
yang masyarakatnya beragam suku memiliki berbagai macam sastra daerah yang
agung. Akan tetapi, generasi muda sekarang sudah tidak banyak lagi yang
mengenal sastra daerah. Di sekolah, sastra daerah hanya bagian dari mata
pelajaran bahasa daerah. Bahkan, kebanyakan siswa tidak tertarik dengan sastra
daerah maupun bahasa daerah. Bahasa daerah dianggap ketinggalan zaman atau
tidak kekinian. Padahal, bahasa daerah dan sastra daerah banyak memuat berbagai
macam pengetahuan, pendidikan karakter, di samping memuat ajaran-ajaran tentang
budi pekerti dan moral.
Pada
makalah ini sastra daerah yang dijadikan objek, yaitu Sastra Jawa. Sastra Jawa
yang banyak memuat pengetahuan dan ajaran-ajaran tentang budi pekerti dan moral,
yaitu macapat. Macapat juga biasa dinamakan tembang
cilik. Wibisana dan Nanik Herawati
(2010:11) menyatakan tembang macapat diciptakan
mempunyai tujuan untuk mengajarkan kebaikan kepada rakyat kecil. Tembang macapat mempunyai sebelas pupuh (item), antara lain Mijil, Sinom,
Kinanthi, Dandhanggula, Asmaradana, Durma, Maskumambang, Gambuh, Pangkur,
Megatruh, dan Pocung. Sebelas jenis tembang tersebut memiliki karakteristik
berbeda-beda. Walaupun secara karakteristik berbeda, semua jenis macapat mempunyai pesan dan makna adi luhung atau mengagungkan nilai-nilai
kebaikan.
Berdasarkan
hal tersebut, kiranya tembang macapat
perlu diajarkan di sekolah dari tingkat SD sampai SMA, khususnya di Jawa. Tembang
macapat sudah jarang sekali
dinyanyikan oleh masyarakat Jawa, karena dianggap ketinggalan zaman dan
pengaruh budaya populer yang merebak di tanah air. Sekarang ini, tembang macapat hanya digunakan untuk mengiringi
pergelaran wayang kulit, ketoprak, dan kesenian langen beksan di Jawa. Selain itu, tembang macapat masih terdengar di radio-radio daerah di Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Yogyakarta. Akan tetapi, penikmat macapat kebanyakan orang tua atau sebagian anak muda yang bergiat
di dunia seni gamelan. Maka dari itu, di sekolah-sekolah, khususnya di Jawa
perlu adanya pembelajaran dengan media macapat.
Tujuannya untuk menumbuhkan moral dan pengetahuan siswa akan kehidupan.
Ada
yang harus diperhatikan dalam mengajarkan macapat
kepada siswa. Pertama, siswa dilatih untuk menyanyikan tembang macapat terlebih dahulu, agar siswa
dapat merasakan keindahannya. Setelah merasakan keindahan, kiranya siswa dapat
mencintai warisan leluhurnya tersebut. Kedua, siswa diajak menerjemahkan
tembang macapat, agar siswa dapat mengerti
maksudnya. Ketiga, siswa diajak menafsirkan tembang macapat yang sudah diterjemahkan, agar dapat memahami maknanya,
baik tersurat maupun tersirat. Paling tidak makna-makna yang sudah dipahami
akan melesak ke dalam bawah sadar siswa, sehingga dapat menjadi bekal
menghadapi tantangan hidup.
Pada
makalah ini, tidak semua tembang macapat
dijadikan contoh. Maksudnya, penulis hanya memberikan beberapa pupuh sebagai model pembelajaran di
kelas. Hal tersebut disebabkan keterbatasan halaman dalam makalah ini. Pupuh yang dijadikan model diambil dari
beberapa serat yang sudah populer di
masyarakat Jawa. Serat yang diambil,
di antaranya Wedatama, Kalatidha, dan Wulangreh. Sedangkan pupuh yang diambil, di antaranya Pangkur, Sinom, dan Dhandhanggula.
Berikut merupakan pupuh Pangkur yang
diambil dari Serat Wedatama.
Serat
Wedatama Pupuh Pangkur
Mingkar
mingkuring angkara,
Akarana
karenan mardi siwi,
Sinawung
resmining kidung,
Sinuba
sinukarta,
Mrih
kretarta pakartining,
Ngelmu
luhung,
Kang
tumrap ning tanah Jawa,
Agama
ageming aji.
(Wedhatama)
Terjemahan
Bebas
Menjauhkan diri
dari nafsu angkara,
karena berkenan
mendidik putra,
dalam bentuk
syair dan lagu,
dihias berwarna
warni,
agar menjiwai
ilmu luhur yang dituju,
Di tanah Jawa
(Indonesia),
yang hakiki itu
agama sebagai pegangan hidup.
Pangkur mempunyai
filosofi mundur. Maksudnya, mundur dari bebrayan
atau kehidupan. Selain itu, dapat diartikan sebagai nepi atau menyingkir. Pangkur juga menggambarkan perjalanan menuju
Tuhan. Bisa diartikan meninggalkan duniawi, dan juga bisa diartikan kematian. Makna
dari kata “Pangkur” serta terjemahan dari tembang Pangkur di atas, dapat
dijadikan model pembelajaran terhadap moral siswa. Di sisi lain, tembang
Pangkur tersebut memberikan pengetahuan bahwa ilmu yang harus dimiliki setiap
manusia, yaitu ilmu agama. Berkaitan dengan hal tersebut, Any (1983:67)
menyatakan bahwa Serat Wedatama ditulis sebagai alat pendidikan untuk anak
(siswa).
Tembang macapat juga banyak berisi mengenai pipeling atau nasihat. Nasihat yang
diberikan bersifat universal. Maksudnya, nasihat ditujukan kepada anak-anak
sampai orang dewasa. Selain itu, nasihat juga berlaku di setiap zaman dan
bahkan masih relevan di era MEA saat ini. Salah satu tembang macapat yang memuat nasihat terdapat
dalam Serat Kalatidha karya R. Ng.
Ranggawarsita. Serat Kalatidha yang
akan dijadikan model pembelajaran diambil dari pupuh sinom. Berikut kutipan pupuh
sinom Serat Kalatidha beserta
terjemahan bebasnya.
Serat
Kalatidha Pupuh Sinom
Amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya kéduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan
waspada.
Terjemahan
Bebas
Menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
bagaimana akan mendapatkan bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak
Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang
lalai,
akan lebih bahagia orang yang
tetap ingat dan waspada.
|
Sinom
merupakan jarwadhasak dari isih nom atau masih muda. Pemuda yang
mempunyai watak bergas, tangkas, dan penuh semangat. Sinom juga berarti daun asam yang masih muda. Berdasarkan hal
tersebut, pemuda dalam masyarakat Jawa disebut dengan sinoman. Sinoman dalam
kebudayaan Jawa begitu penting kedudukannya untuk membantu hajatan. Wirodono
(2011:xxvi) menyatakan dalam Serat
Purwaukara sinom berarti sekaring rambut
atau anak rambut pada kening perempuan. Hal tersebut menandakan bahwa perempuan
telah beranjak dewasa atau akil baliq.
Secara filosofis sinom menggambarkan
kedewasaan manusia, yang telah siap untuk menerima segala macam resiko
kehidupan. Kedewasaan secara lahir maupun batin dan semangat berjuang dalam
menjalani hidup.
Sedangkan
tembang sinom di atas memberikan
gambaran (pengetahuan) bahwa zaman akhir banyak orang menjadi gila. Gila di
sini dalam arti bukan sebenarnya, tetapi gila hal-hal yang bersifat duniawi. Misalnya,
gila harta, gila jabatan, gila pangkat, gila wanita, dan sebagainya. Akhir dari
tembang sinom tersebut ditutup dengan “luwih begja kang éling klawan waspada,” yang
maksudnya bahwa kegilaan yang dilakukan kebanyakan manusia sekarang ini dapat
dihindari melalui selalu ingat kepada Tuhan dan waspada terhadap segala ancaman
hidup. Pembelajaran melalui tembang sinom tersebut, kiranya dapat dijadikan
penanaman moral sekaligus pengetahuan terhadap keadaan zaman.
Beberapa
macapat juga berisi mengenai petunjuk dan pengharapan. Salah satunya, yaitu Serat
Wulangreh karya Pakubuwana II. Serat Wulangreh yang dijadikan contoh
ber-pupuh dhandhanggula, yang mempunyai watak indah
dan berwibawa. Gula menggambarkan
perilaku yang
manis ketika menghadapi segala sesuatu. Konon, dhandhanggula diambil dari nama raja Kediri, Prabu Dhandhanggendis
(Wirodono, 2011:xxv). Secara harafiah, dhandhanggula berasal dari kata dhandhang dan manis yang berarti pengharapan akan kebahagiaan. Pengharapan
tersebut identik dengan keinginan atau cita-cita dari anak muda. Dhandhanggula juga mempunyai filosofi
segala hal yang manis. Manis dapat dilihat dari kata-katanya, perilakunya, dan
sikapnya. Perilaku dan sikap manis tersebut diberikan kepada Tuhan, kekasih,
atau sesama manusia. Berikut petikan Serat Wulangreh pada
loro.
Serat Wulangreh
Dhandhanggula
Nanging yen sira
ngguguru kaki,
amiliha manungsa
kang nyata,
ingkang becik
martabate,
sarta kang wruh
ing kukum,
kang ngibadah
lan kang wirangi,
sokur oleh wong
tapa,
ingkang wus
amungkul,
tan mikir
pawewehing liyan,
iku pantes sira
guronana,
sartane
kawruhana.
Terjemahan Bebas
Namun jika kamu berguru
wahai anakku,
pilihlah manusia yang baik
akhlaknya,
serta yang memahami hukum,
ahli ibadah dan ahli
mengendalikan diri,
untung jika mendapatkan
ahli tirakat,
yang telah meninggalkan
urusan dunia,
tidak memikirkan pemberian
orang lain,
itulah yang pantas engkau
kamu jadikan guru,
serta syarat berguru pun
harus kau pahami.
Wirodono
(2011:xxv) menyatakan dhandhanggula
dipersonifikasikan sebagai remaja beranjak menjadi dewasa. Dapat dikatakan
bahwa dhandhanggula merupakan tembang
dengan menceritakan proses menuju kedewasaan. Proses menuju kedewasaan tersebut
bisa mencakup kedewasaan fisik, mental, emosional, dan bahkan spiritual.
Berdasarkan hal tersebut, kiranya makna dari dhandhanggula berkorelasi dengan
makna Serat Wulangreh di atas, dimana
secara filosofis tembang tersebut menggambarkan petunjuk untuk belajar ke siapa
saja, asal sesuai dengan yang dituliskan pada tembang tersebut. Di sisi lain,
dhandhanggula di atas juga gambaran nasihat orang tua kepada anaknya. Nasihat
tersebut mempunyai pengharapan hari depan harus ditempuh dengan kehati-hatian
dalam memilih segala sesuatu.
MACAPAT
MENJAWAB TANTANGAN MEA
Pada subbab berikut diuraikan
bagaimana macapat dapat membentengi generasi muda menghadapi tantangan
MEA. Seperti yang diketahui, ketidakmampuan menghadapi persaingan dapat
menggerus moral bangsa. Kalah bersaing akan mengakibatkan banyaknya tindak kriminal,
misalnya berbohong, melakukan ketidakadilan, mencuri, bahkan korupsi. Maka dari
itu, sejak dini hendaknya generasi muda (siswa) dibekali pengetahuan tentang
kehidupan dan penanaman moral. Salah satu media yang tepat digunakan untuk hal
tersebut, yaitu membelajarkan macapat di sekolah.
Subbab berikut menguraikan
manfaat tembang-tembang yang dijadikan contoh pada subbab sebelumnya, yaitu Serat
Wedatama Pupuh Pangkur, Serat Kalatidha Pupuh Sinom, dan Serat
Wulangreh Pupuh Dhandhanggula. Ketiga tembang tersebut tepat dijadikan
media pendidikan moral kepada generasi muda, khususnya siswa-siswa di sekolah. Dari
pemaknaan nama tembangnya saja sudah memberikan manfaat yang besar untuk
pembelajaran. Pangkur menggambarkan perjalanan menuju
Tuhan. Bisa diartikan meninggalkan duniawi, dan juga bisa diartikan kematian.
Berdasarkan hal tersebut, kiranya pembaca atau yang mendendangkan tembang akan
selalu ingat tentang pesan tersirat dari tembang Pangkur.
Di sisi lain, Any
(1983:67) menyatakan Serat Wedatama oleh pengarangnya ditulis sebagai
pendidikan anak. Uraian tembang tersebut memerintahkan agar manusia senantiasa
menjauhi angkara murka. Sejak dini, anak-anak dilatih untuk menjauhi hal-hal
buruk dan dituntut untuk berpegang teguh kepada agama. Jika hal ini meresap ke
dalam hati generasi muda, maka sebesar apapun tantangan hidup, seperti
tantangan MEA akan dapat dihadapi dengan kebijaksanaan. Intinya, walaupun
bangsa Indonesia turut serta bersaing dalam pasar bebas, asalkan memiliki modal
pengetahuan dan moral yang kuat, maka MEA akan mudah dihadapi.
Tembang macapat kedua, yaitu Serat Kalatidha Pupuh Sinom. Sinom berkaitan langsung dengan generasi muda. Sinom atau
isih nom yang diterjemahkan masih
muda. Pemuda yang mempunyai watak bergas, tangkas, dan penuh semangat. Sinom juga berarti daun asam yang masih
muda. Dalam Serat Kalatidha
dijelaskan bahwa zaman sekarang ini merupakan zaman edan, dimana banyak manusia yang memperebutkan segala sesuatu yang
bersifat nisbi. Akibatnya, banyak orang lupa dengan Tuhannya, keluarganya, dan
temannya, karena hanya mengejar urusan dunia. Akan tetapi, penutup tembang
tersebut mengingatkan “begja-begjaning
kang lali// luwih begja kang éling klawan waspada//” artinya, sebahagia-bahagianya orang yang
lalai// akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Tembang Sinom dari Serat Kalatidha tersebut, apabila
diajarkan kepada generasi muda, khususnya siswa akan bermanfaat besar untuk
memberikan pengetahuan tentang kehidupan sekarang. Di era MEA saat ini, bisa
jadi antar saudara atau teman saling bermusuhan karena persaingan. Padahal,
persaingan dalam hal apapun seharusnya menguatkan. Maka dari itu, agar hal yang
dikhawatirkan itu tidak terjadi generasi muda perlu mendapatkan suntikan moral,
seperti macapat.
Tembang terakhir yang dijadikan media pembelajaran moral,
yaitu tembang dhandhanggula dari Serat
Wulangreh. Seperti sinom, makna dhandhanggula juga identik dengan generasi
muda. Secara
harafiah, dhandhanggula berasal dari kata dhandhang
dan manis yang berarti pengharapan
akan kebahagiaan. Pengharapan tersebut identik dengan keinginan atau cita-cita
dari anak muda. Di balik pengharapan terdapat petunjuk-petunjuk untuk
melangkah. Hal tersebut tampak pada tembang dhandhanggula Serat Wulangreh yang dijadikan contoh.
Pada tembang tersebut dijelaskan
cara mencari guru yang tepat. Secara filosofis, yang dimaksud guru dalam
tembang dhandhanggula
Serat Wulangreh bukan
hanya guru di sekolah, melainkan guru yang tersebar di seluruh jagat raya ini.
Tentu dengan persyaratan yang sudah ditentukan, antara lain baik akhlaknya,
yang tidak mudah tergoda urusan duniawi, yang senantiasa bertirakat, dan yang
tidak mengharapkan pemberian orang lain. Artinya, generasi muda diajurkan
mencari suri teladan dalam kehidupan, dan suri teladan tersebut bisa siapapun.
Tembang dhandhanggula Serat
Wulangreh meneguhkan tembang sebelumnya, bahwa untuk menghadapi tantangan hidup hendaknya
manusia memiliki akhlak yang baik dan tidak mudah tergoda. Pertengkaran dan
pertikaian yang terjadi di dunia ini banyak disebabkan seseorang tidak memiliki
akhlak yang baik dan mudah tergoda. Sedangkan yang dimaksud dengan tirakat,
yaitu ketika seseorang kalah bersaing hendaknya selalu bersabar dan belajar
memperbaiki diri. Terakhir, bahwa sejak dini seharusnya generasi muda berlatih
tidak berharap terhadap pemberian orang lain. Hal tersebut berkaitan dengan
kemandirian. Maka, untuk menghadapi MEA generasi muda harus dilatih untuk
mandiri, agar persoalan-persoalan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik.
SIMPULAN
MEA bukan hanya
persoalan perekonomian, perdagangan, dan ketenagakerjaan, melainkan juga
permasalahan integritas suatu bangsa. Integritas merupakan mutu dari sebuah
potensi dan kemampuan. Ada dua hal yang harus dipenuhi untuk sebuah integritas,
yaitu moral dan pengetahuan. Moral tanpa didukung pengetahuan akan menyebabkan
kehilangan daya. Sebaliknya, pengetahuan tanpa moral akan menyebabkan kerusakan.
Salah satu cara untuk menumbuhkan kedua hal tersebut, yaitu dengan mengenalkan macapat pada generasi muda, khususnya
siswa sekolah. tembang macapat perlu
diajarkan di sekolah dari tingkat SD sampai SMA, khususnya di Jawa. Ada yang
harus diperhatikan dalam mengajarkan macapat
kepada siswa. Pertama, siswa dilatih untuk menyanyikan tembang macapat terlebih dahulu, agar siswa
dapat merasakan keindahannya. Kedua, siswa diajak menerjemahkan tembang macapat tersebut, agar dapat mengerti
maksudnya. Ketiga, siswa diajak menafsirkan tembang macapat yang sudah diterjemahkan, agar dapat memahami maknanya,
baik tersurat maupun tersirat. Macapat
yang dijadikan media pembelajaran, antara lain Serat Wedatama, Serat
Kalatidha, dan Serat Wulangreh.
Ketiga serat tersebut menguraikan
pesan moral sekaligus petunjuk menghadapi kehidupan. Generasi muda juga
dituntut untuk mandiri, agar persoalan-persoalan yang dihadapi dapat
diselesaikan dengan baik. Maka dari itu, macapat merupakan media yang
tepat untuk menghadapi MEA.
DAFTAR
PUSTAKA
Any, Anjar. 1983. Menyingkap Serat Wedotomo. Semarang: Aneka
Ilmu.
Foucault, Michel. 2012. Arkeologi Pengetahuan. Jogjakarta:
IRCiSoD.
Pramulia,
Pana. 2016. “Sanggit: Filosofi Pergelaran Wayang Kulit Jawa Timuran”. Tidak
Diterbitkan.
Suseno,
Franz Magnis. 1987. Etika Dasar:
Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Wibisana, Bayu dan Herawati. 2010. Pesona Tembang Jawa. Klaten: Intan
Pariwara.
Wirodono,
Sunardian. 2011. Serat Centhini Dwi
Lingua Jilid 1: Sri Susuhan Pakubuwana V. Yogyakarta: Wiwara.
Dipresentasikan
di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
Komentar