DI MALAM SABTU BERISIK DI WARUNG KOPI


hujan sudah reda. segerombolan orang
berhamburan menuju sebuah
warung kopi desa
saling berebut pesan. berebut kursi dan meja. lalu
berebut membaca Koran
yang sedari pagi belum mereka baca
Koran kumel yang sudah dijamah
banyak tangan seperti beritanya.

tuan
lima cangkir kopi untuk menghangatkan
sekadar menambah gairah menafsirkan
kekacauan di pemerintahan.
ada banyak hal yang butuh dibahas
bukan. bukan itu maksudnya
sekarang sudah tak zamannya
cicak versus buaya. tapi apa?
tikus melawan tikus
bertengkar merebutkan makanan
bukan. tapi merebutkan kebenaran.

saling sikut. tendang. tanpa ada
yang bertahan. semua menyerang
bahkan menyingkirkan berita
lain yang lebih krusial
seperti terbitnya buku pacaran
mobil nasional yang sudah
ada kesepakatan. pemilik stasiun televisi
yang mendirikan partai. atau
bahkan lowongan kerja yang
tetap berhamburan di segala ruang.

kopi tinggal lethek-nya saja
seperti negeri ini yang bila
dipaksa untuk diminum
pasti menempel di dinding tenggorokan. lalu
tuan siapa yang tega melancong ketika
negaranya saling meng-klaim tentang
kebenaran? : memberi perintah dan kirim salam
dari bilik telepon genggam. lalu disibukkan
dengan rencana penandatanganan masa depan.

ah. hari memang sudah malam
terpenting besok bisa makan
kepulan asap selanjutnya
mengakhiri perbincangan.

Sidoarjo. 6 Februari 2015


Komentar