A.
Konsep
Patriarki
Fisik
dan psikis antara laki-laki dan perempuan berbeda. Sebagian besar masyarakat memandang
perbedaan ini sebagai status yang tidak setara. Masyarakat meletakkan perempuan
pada posisi lemah (inferior), karena
tidak memiliki tenaga yang kuat serta tidak memiliki psikis yang mumpuni untuk
menghadapi persoalan-persoalan berat dalam kehidupan. Pandangan tersebut
menjadi dasar terciptanya konsep patriarki. Konsep patriarki meletakkan
laki-laki pada posisi yang dominan (superior)
dibandingkan perempuan.
Fenomena
kekerasan yang dialami perempuan, baik fisik maupun psikis dalam kehidupan
bermasyarakat menjadi bukti bahwa hegemoni laki-laki terhadap perempuan begitu
kuat. Sehingga, paham perempuan sebagai manusia nomor dua semakin mendarah
daging. Di sisi lain, konsep tradisional selalu memuliakan domestik perempuan
dan menjadikan perempuan selalu dirumahkan. Peradaban memaksa perempuan sebagai
kanca wingking (teman di belakang)
laki-laki.
Santosa,
Suroso, dan Suratno (2009:189) menyatakan perempuan hanya berperan dan
berfungsi sebagai 3-M, yaitu “macak, masak, manak” (bersolek, memasak, dan melahirkan anak). Apalagi ditunjang dengan
berbagai mitos tentang Adam dan Hawa. Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam.
Mitos tersebut membuat kedudukan, peran, dan fungsi perempuan tersudutkan dan
berada di belakang laki-laki.
Fakta
dalam dunia kerja masih menempatan laki-laki pada pilihan utama. Pekerja
laki-laki banyak dicari daripada perempuan. Atlet laki-laki lebih
digembargemborkan beritanya daripada atlet perempuan. Pemimpin-pemimpin di
sebuah Negara, dari tingkat tertinggi sampai tingkat terendah, bahkan
pemimpin-pemimpin di sebuah perusahaan masih di dominasi laki-laki. Hal
tersebut disebabkan, mindset sebagian
besar masyarakat masih menganggap laki-laki lebih kuat, lebih cerdas, lebih
cekatan, lebih simple, dan
sebagainya.
Berdasarkan
mindset tersebut, secara radikal
laki-laki menganggap dirinya lebih dominan daripada perempuan. Sehingga, sering
kali persoalan-persoalan besar bahkan persoalan dalam rumah tangga tidak akan
selesai apabila tidak ada campur tangan laki-laki. Di sisi lain, ketimpangan
tersebut membuat laki-laki sering kali berbuat semena-mena terhadap perempuan.
Maksudnya laki-laki melakukan kekerasan, baik fisik maupun psikis terhadap
perempuan.
Berdasarkan
uraian tersebut jelas bahwa terjadi ketimpangan kedudukan, peran, dan fungsi
perempuan terhadap laki-laki. Ilmu sosial menyebutnya “Ketimpangan Gender”. Ketimpangan
gender merupakan persoalan lama dalam kehidupan masyarakat. Kajian ini begitu
aktual dan menarik, karena pembatasan-pembatasan perempuan oleh budaya yang ada
di masyarakat membuat perempuan terbelenggu dan tidak bisa berkembang. Kajian-kajian
disiplin ilmu (sosial, hukum, dan keagamaan) banyak mengangkat persoalan ini.
B.
Teori
Feminisme dalam Kajian Karya Sastra
Feminisme
hadir betujuan mengembangkan pemahaman kritis masyarakat untuk mengubah
kehidupan yang adil dan berprikemanusian. Feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sederajat dengan pria
(Novia, 2008:115). Gerakan tersebut
bertujuan mengungkap aspek-aspek ketimpangan dan ketertindasan yang dialami
perempuan, serta berupaya mencapai kesetaraan kedudukan, peran, dan fungsi
dalam kehidupan bermasyarakat. Gerakan
tersebut bisa dilakukan oleh kelompok maupun individu.
Tokoh
feminis berkeyakinan bahwa masyarakat dan tatanan hukum bersifat patriaki.
Aturan hukum yang dikatakan netral dan objektif sering kali hanya merupakan
kedok terhadap pertimbangan politis dan sosial yang dikendalikan oleh ideologi
pembuat keputusan, dan ideologi tersebut tidak untuk kepentingan perempuan. Hal
tersebut bisa dilihat pada hukum-hukum adat dan masyarakat di Indonesia.
Bagaimana penilaian masyarakat terhadap perempuan (baca: gadis), terutama di
Jawa apabila sering keluar malam. Bagaimana citra perempuan merokok di mata
masyarakat. Bagaimana masyarakat menilai perempuan yang mempunyai suami lebih
dari satu. Dan masih banyak lagi contohnya.
Berdasarkan
fakta-fakta tersebut, tokoh-tokoh feminis menjadikan feminisme sebagai sebuah
teori untuk melakukan gerakan
kesetaraan dengan laki-laki. Teori feminisme berbeda dengan teori-teori
sosiologi yang lain dalam menyikapi berbagai hal. Pertama, teori feminisme merupakan pemikiran sebuah komunitas interdisipliner, yang tidak hanya
mencakup para sosiolog saja, tetapi juga sarjana dari disiplin lain seperti
penulis kreatif dan aktivis politik. Kedua,
sosiolog feminis bekerja dengan
agenda ganda, memperluas dan memperdalam ilmu asli mereka (Ritzer, Goodman, 2010:404).
Menurut Farha (2000:69) istilah feminisme merujuk pada
sebuah kesadaran adanya ketertindasan perempuan, baik di lingkup rumah tangga,
tempat kerja, atau di tengah masyarakat dan berdasarkan kesadaran tersebut ada
upaya (gerakan) berbagai cara untuk
mengatasinya. Inti dari feminisme adalah gerakan.
Gerakan yang dimaksud yaitu menuntut
kesetaraan gender.
Menurut Rosemarie Putnam Tong (1998) pemikiran feminisme
dibagi menjadi (1) feminisme liberal, (2) feminisme radikal, (3) feminisme
marxis sosialis, (4) feminisme psikoanalisis dan gender, (5) feminisme
ekstitensialis, (6) feminisme postmodernis (Kasnadi dan Sutejo, 2010:86). Dalam
penulisan ini hanya akan menguraikan feminisme liberal, feminisme radikal,
feminisme marxis sosialis, dan feminisme psikoanalisis.
Bem, 1993; Friedan, 1963; Lorber, 1994; Pateman, 1999;
Rhode, 1997; Schaeffer, 2001 dalam Ritzer dan Goodman (2010:420) menyatakan
dalam feminisme liberal perempuan bisa mengklaim kesamaan dengan lelaki atas
dasar kapasitas esensial manusia sebagai agen moral yang bernalar, bahwa
ketimpangan gender adalah akibat dari pola seksis1 dan patriarkis
dari divisi kerja, dan bahwa kesetaraan gender dapat dicapai dengan mengubah
divisi kerja melalui pemolaan ulang institusi-institusi kunci – hukum,
pekerjaan, keluarga, pendidikan, dan media.
Alison
Jaggar dalam Kasnadi dan Sutejo
(2010:86) menyatakan pemikiran politis liberal mempunyai
konsepsi atas sifat manusia yang menempatkan keunikan kita sebagai manusia
dalam kapasitas kita untuk bernalar. Nalar merupakan dasar pemikiran yang
dikembangkan oleh para feminisme liberal. Oleh karena itu, bagi kaum
liberal hak harus diberikan sebagai prioritas di atas kebaikan. Setiap individu kapasitasnya sebagai manusia memiliki hak
masing masing selama hak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara sosial
maupun secara hukum.
Feminisme Liberal ialah
pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan
individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada
rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia mempunyai
kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula dengan
perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan salah satunya disebabkan
oleh kesalahan perempuan sendiri, dimana banyak perempuan terpaku pada mindset yang sudah disebutkan
sebelumnya.
Perempuan harus mempersiapkan
diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan
bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki. Dalam pemikirannya
perempuan menuntut hak atas kesetaraan gender dengan laki-laki, tetapi dalam
beberapa hal tetap masih ada pembedaan. Bagaimanapun juga fungsi organ
reproduksi perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat
George Ritzer dan Goodman (2010:432) menguraikan bahwa
feminisme radikal melihat bahwa di dalam setiap institusi dan di dalam struktur
masyarakat yang paling mendasar terdapat sistem penindasan di mana orang
tertentu mendominasi orang lain – penindasan itu terjadi antarseks (jenis
kelamin), kelas, kasta, etnis, umur, dan warna kulit.
Feminisme marxis sosialis mengembangkan potret organisasi
sosial yang di dalamnya terdapat struktur ekonomi publik, pemerintahan dan
ideologi berinteraksi dengan proses reproduksi manusia, kehidupan rumah tangga,
seksualitas dan subjektivitas untuk melestarikan sistem dominasi beraneka segi
(George Ritzer dan Goodman, 2010:441).
Sedangkan, feminisme psikoanalisis berupaya menerangkan
sistem patriarki dengan menggunakan teori Freud dan pewaris intelektualnya (George
Ritzer dan Goodman, 2010:427). Teori tersebut memetakan dan menekankan dinamika
emosional kepribadian, emosi, yang sering terpendam di bawah sadar atau
ketidaksadaran kejiwaan.
Berdasarkan empat teori tersebut, pengkajian feminisme
dalam ranah sastra dapat dibagi ke arah dua sasaran, yaitu: (1) bagaimana pandangan
laki-laki terhadap wanita, (2) bagaimana sikap wanita dalam membatasi dirinya.
Keduanya akan berpusar lebar ke dalam teks sastra yang jalin-menjalin dengan
budaya masing-masing wilayah (Endraswara, 2008:147). Pembatasan yang dimaksud
merupakan usaha kritis tokoh (baca: perempuan) rekaan dalam karya sastra
(novel) dalam menyikapi ketimpangan. Pengertian dalam arti lebih luas,
feminisme mengharuskan perempuan mendobrak reproduksi wacana yang dihasilkan
oleh kenyataan sosial.
C. Novel
Feminis
Gerakan perempuan untuk menuntut kesetaraan gender berkembang
sampai ranah karya sastra. Penulis-penulis perempuan gencar menonjolkan
tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastranya (baca: novel) berjuang menuntut
kesetaraan dalam segala aspek kehidupan. Kebanyakan dari penulis karya sastra
perempuan (NH. Dini, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, Okky Madasari, dan
sebagainya) memasukkan pandangan feminis dalam karya novel mereka.
Bahkan dari novel yang ditulis tersebut mempunyai peran melanjutkan kritik
terhadap hegemoni patriarki yang berlaku dalam masyarakat sejak masa Keraton-Keraton
tempo dulu, masa kolonial, dan sampai saat ini.
Salah satu contoh gerakan
melakukan kesetaraan terdapat pada seorang tokoh bernama Marni dalam novel
”Entrok” karya Okky Madasari yang berjuang menjadi kuli (tukang panggul barang)
di pasar. Umumnya, pekerjaan kuli hanya didominasi laki-laki. Hal tersebut
disebabkan, kuli merupakan pekerjaan otot yang membutuhkan kekuatan. Mindset masyarakat menyatakan perempuan
tidak bisa, bahkan tidak sanggup menjadi kuli. Alasannya, Pertama: perempuan memiliki fisik lemah, tidak seperti laki-laki
yang kuat; Kedua: secara psikis
perempuan tidak sanggup bekerja kasar (gengsi) karena pekerjaan kuli dekat
dengan keringat.
Mindset tersebut tidak hanya dimiliki laki-laki, tetapi
kebanyakan perempuan juga memiliki mindset
yang sama. Hal tersebut terbukti pada sentimen-sentimen tokoh-tokoh perempuan
lain terhadap Marni – tentang pekerjaannya sebagai kuli - dalam novel Entrok.
Bahkan, bisa jadi pembaca (perempuan) novel ini akan berpendapat atau mempunyai
mindset yang sama terhadap pekerjaan
yang bernama: Kuli.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa novel
feminis bertujuan untuk memengaruhi, bahkan membangun paradigma berpikir
perempuan (pembaca) untuk melakukan gerakan kesetaraan terhadap dominasi
laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan. Selain itu, juga mengingatkan atau
bahkan meneror laki-laki (pembaca) agar tidak meremehkan atau memandang sebelah
mata mahkluk bernama perempuan. Secara ideologis, penulis berpendapat bahwa
aplikasi teori feminisme dalam pengkajian karya sastra, yaitu novel sebagai objek
kajian merupakan karya penulis perempuan dan diteliti oleh seorang peneliti perempuan. Penulis berpikir hal tersebut akan lebih afdol. Bagaimana
pendapat anda?
DAFTAR
PUSTAKA
Endraswara,
Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. FBS Universitas Negeri
Yogyakarta. Yogyakarta: Buku kita.
Farha, Ciciek.
2000. Feminisme: Gerakan Protes terhadap
Ketidakadilan dalam Perempuan dan Kekuasaan. Jakarta: Korps PMII Putri.
Kasnadi dan
Sutejo. 2010. Kajian Prosa: Kiat Menyisir
Dunia Prosa. Ponorogo: P2MP SPECTRUM. Yogayakarta: Pustaka Felicha.
Novia, Windy.
2008. Kamus Lengkap Bahasa Indoneia. Surabaya: Khasiko.
Ritzer, George
dan Douglas J. Goodman. 2010. Teori
Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
Komentar