FEMINISME DALAM NOVEL THE GREAT GATSBY KARYA F. SCOTT FITZGERALD DAN CINTA DI DALAM GELAS KARYA ANDREA HIRATA
LATAR BELAKANG MASALAH
Novel
sebagai salah satu produk karya sastra menguraikan berbagai permasalahan yang
terjadi dalam tatanan bermasyarakat. Masalah perempuan seringkali menjadi acuan
untuk mengkritisi kesenjangan yang terjadi selama ini. Dalam budaya manapun
laki-laki dianggap lebih superior daripada perempuan, baik dari segi fisik
maupun psikis. Fisik dan psikis antara laki-laki dengan perempuan jelas
berbeda. Masyarakat memandang perbedaan ini merupakan status yang tidak setara.
Masyarakat meletakkan perempuan pada posisi lemah (inferior), karena tidak memiliki tenaga yang kuat serta tidak
memiliki psikis yang mumpuni untuk menghadapi persoalan-persoalan berat dalam
kehidupan. Pandangan seperti ini menjadi dasar terciptanya konsep patriarki.
Konsep patriarki meletakkan laki-laki pada posisi yang dominan dibandingkan
perempuan.
Fenomena
kekerasan yang dialami perempuan dalam kehidupan bermasyarakat menjadi bukti
bahwa hegemoni laki-laki terhadap perempuan begitu kuat. Sehingga, paham
perempuan sebagai manusia nomor dua semakin mendarah daging dalam masyarakat.
Di sisi lain, konsep tradisional selalu memuliakan domestik perempuan dan
menjadikan perempuan selalu dirumahkan maupun dikucilkan. Seperti yang sudah
kita ketahui secara umum bahwa peradapan zaman memaksa wanita sebagai kanca wingking (teman di belakang) laki-laki. Wanita hanya berperan dan
berfungsi sebagai 3-M, yaitu “macak, masak, manak” (bersolek, memasak, dan melahirkan anak). Apalagi ditunjang
dengan berbagai mitos tentang Adam dan Hawa (Santosa dan Suroso dan Suratno,
2009: 189). Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Mitos tersebut membuat
kedudukan, peran, dan fungsi perempuan tersudutkan dan berada di belakang
laki-laki.
Ketimpangan
gender merupakan persoalan lama dalam kehidupan masyarakat. Kajian ini begitu
aktual dan menarik, karena pembatasan-pembatasan perempuan oleh budaya yang ada
di masyarakat membuat perempuan terbelenggu dan tidak bisa berkembang.
Kajian-kajian disiplin ilmu (sosial, hukum, dan keagamaan) banyak mengangkat
persoalan ini. Bahkan, berbagai genre sastra terutama novel banyak mengangkat
persoalan-persoalan ini.
Novel The
Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald yang ditulis pada tahun 1925 di
Amerika Serikat. Novel ini ditulis setelah berakhirnya perang dunia pertama.
Novel yang kompleks dengan permasalahan hidup ini berlatar di New York dan Long
Island, dengan tokoh utama Gatsby, Tom Buchanan, dan Daisy Buchanan. Di novel ini, Fitzgerald mendeskripsikan berbagai
hal yang terjadi di era tahun-20an dengan detail, banyak beberapa peristiwa,
benda, sastra, teater, dan sebagainya yang disinggung di novel ini sehingga
bagi pembaca akan menjadi sebuah hal yang asing. Lebih dalam The Great Gatsby banyak menguraikan
tentang tingkah laku wanita-wanita modern. Diceritakan, bahwa wanita-wanita
tersebut gemar pergi ke pesta, merokok, dan mabuk-mabukan. Hal ini
menggambarkan begitu negatifnya peran-peran perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat. Novel kedua “Cinta di Dalam Gelas” karya Andrea Hirata (2011). Novel
ini menceritakan ketidakadilan yang dialami perempuan serta bentuk perlawanan
perempuan untuk kesetaraan di mata masyarakat.
FEMINISME DAN BUDAYA PATRIARKI
Dalam budaya manapun
laki-laki dianggap lebih superior daripada perempuan, baik dari segi fisik
maupun psikis. Fisik dan psikis antara laki-laki dengan perempuan jelas
berbeda. Masyarakat memandang perbedaan ini merupakan status yang tidak setara.
Masyarakat meletakkan perempuan pada posisi lemah (inferior), karena tidak memiliki tenaga yang kuat serta tidak
memiliki psikis yang mumpuni untuk menghadapi persoalan-persoalan berat dalam
kehidupan. Pandangan seperti ini menjadi dasar terciptanya konsep patriarki.
Konsep patriarki meletakkan laki-laki pada posisi yang dominan dibandingkan
perempuan.
Fenomena kekerasan yang
dialami perempuan dalam kehidupan bermasyarakat menjadi bukti bahwa hegemoni
laki-laki terhadap perempuan begitu kuat. Sehingga, paham perempuan sebagai
manusia nomor dua semakin mendarah daging dalam masyarakat. Di sisi lain,
konsep tradisional selalu memuliakan domestik perempuan dan menjadikan
perempuan selalu dirumahkan maupun dikucilkan.
Kiranya kajian
feminisme akan menjadi dasar analisis pembahasan ini. Feminisme adalah gerakan
wanita yang menuntut persamaan hak sederajat dengan pria (Novia, 2008: 115).
Kajian feminisme berfungsi mengungkap aspek-aspek ketimpangan dan ketertindasan
yang dialami perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Secara sederhana,
feminisme dapat dipahami sebagai suatu aliran pemikiran yang menghendaki
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (Zulfanhur dkk: 8.40).
Selain itu, teori
feminisme berusaha mengembangkan pemahaman kritis masyarakat untuk mengubah
kehidupan yang adil dan berprikemanusian.
Dari kebanyakan
teori sosiologi, teori feminisme
sangatlah berbeda dalam menyikapi berbagai hal. Pertama, teori ini adalah
pemikiran sebuah komunitas interdisipliner,
yang tidak hanya mencakup para sosiolog saja, tetapi juga sarjana dari disiplin
lain seperti penulis kreatif dan aktivis politik. Kedua, sosiolog feminis bekerja dengan agenda ganda,
memperluas dan memperdalam ilmu asli mereka (Ritzer, Goodman, 2010: 404). Dari sini, pengkajian sastra feminis dapat ke arah dua sasaran, yaitu: (1)
bagaimana pandangan laki-laki terhadap wanita, (2) bagaimana sikap wanita dalam
membatasi dirinya. Keduanya akan berpusar lebar ke dalam teks sastra yang
jalin-menjalin dengan budaya masing-masing wilayah (Endraswara, 2008: 147).
Menurut Rosemarie Putnam Tong (1998) pemikiran feminisme dibagi menjadi (1)
feminisme liberal, (2) feminisme radikal, (3) feminisme marxis sosialis, (4) feminisme
psikoanalisis, (5) feminisme ekstitensialis, (6) feminisme postmodernis
(Kasnadi dan Sutejo, 2010: 86). Bem, 1993; Friedan, 1963; Lorber, 1994;
Pateman, 1999; Rhode, 1997; Schaeffer, 2001 dalam Ritzer dan Goodman (2010:
420) menjelaskan,
Feminisme liberal adalah bahwa perempuan bisa mengklaim
kesamaan dengan lelaki atas dasar kapasitas esensial manusia sebagai agen moral
yang bernalar, bahwa ketimpangan jender adalah akibat dari pola seksis dan
patriarkis dari divisi kerja, dan bahwa kesetaraan jender dapat dicapai dengan
mengubah divisi kerja melalui pemolaan ulang institusi-institusi kunci – hukum,
pekerjaan, keluarga, pendidikan, dan media.
Lebih lanjut George Ritzer dan Goodman (2010: 432) menguraikan bahwa
feminisme radikal melihat bahwa di dalam setiap institusi dan di dalam struktur
masyarakat yang paling mendasar terdapat sistem penindasan di mana orang
tertentu mendominasi orang lain – penindasan itu terjadi antarseks (jenis
kelamin), kelas, kasta, etnis, umur, dan warna kulit.
Feminisme marxis sosialis mengembangkan potret organisasi sosial yang di
dalamnya struktur ekonomi publik, pemerintahan dan ideologi berinteraksi dengan
proses reproduksi manusia, kehidupan rumah tangga, seksualitas dan
subjektivitas untuk melestarikan sistem dominasi beraneka segi (George Ritzer
dan Goodman, 2010: 441). Sedangkan, feminisme psikoanalisis berupaya menerangkan
sistem patriarki dengan menggunakan teori Freud dan pewaris intelektualnya
(George Ritzer dan Goodman, 2010: 427).
Teori-teori tersebut memetakan dan menekankan dinamika emosional
kepribadian, emosi, yang sering terpendam di bawah sadar atau ketidaksadaran
kejiwaan; teori-teori ini juga menyoroti pentingnya peran masa kanak-kanak
dalam memolakan emosi ini (George Ritzer dan Goodman, 2010: 427 – 428).
Terakhir, George Ritzer dan Goodman (2010: 448) menguraikan bahwa
post-modernisme adalah penting untuk teori feminis terutama sebagai
”epistemologi oposisional,” sebuah strategi untuk menanyakan klaim kebenaran
atau pengetahuan yang didahului oleh satu teori tertentu (dalam P. Collins,
1998).
Tong (1998: 15)
dalam Kasnadi dan Sutejo (2010: 86) menguraikan,
Feminisme
liberal merupakan variasi dari pemikiran John Stuart Mill dalam buku Subjection
of Women. Alison Jaggar menyatakan bahwa pemikiran politis liberal mempunyai
konsepsi atas sifat manusia yang menempatkan keunikan kita sebagai manusia
dalam kapasitas kita untuk bernalar.
Nalar merupakan dasar pemikiran yang dikembangkan oleh para feminisme liberal.
Oleh karena itu, bagi kaum liberal hak harus diberikan sebagai prioritas di
atas kebaikan. Setiap individu
kapasitasnya sebagai manusia memiliki hak masing masing selama hak itu
dapat dipertanggungjawabkannya baik secara sosial maupun secara hukum.
Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan
perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini
menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan
antara dunia privat dan publik. Setiap manusia demikian menurut mereka punya
kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada
perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan ialah karena
disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan
diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan
bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki. Dalam pemikirannya
perempuan menuntut hak atas kesetaraan gender dengan laki-laki, tetapi dalam
beberapa hal tetap masih ada pembedaan. Bagaimanapun juga fungsi organ
reproduksi perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat.
FEMINISME
DALAM NOVEL THE GREAT GATSBY
Budaya
patriarki terjadi dimanapun. Dalam novel The
Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald. Tom Buchanan yang menjadi tokoh
sentral selain Gatsby diceritakan
sebagai kasar, rasis dan suka selingkuh. Kasar dalam hal ini tentu terhadap
istrinya, yaitu Daisy Buchanan. Selain itu Tom juga kejam dan suka pamer. Selain
mengulas tentang gaya hidup hedonis setelah perang, Fitzgerald dalam gaya
penulisan yang atraktif, juga mengarahkan perhatian kita pada degradasi moral
yang hanya fokus pada kesejahteraan mereka sendiri dan mengabaikan orang lain.
Hal ini tercermin dalam karakter tokoh perempuan. Tokoh-tokoh perempuan
diceritakan sebagai seorang yang berperilaku negatif. Seperti yang sekelumit
diceritakan pada pendahuluan, Tokoh perempuan dalam novel ini cenderung
berperangai buruk, kata-katanya kasar, suka mabuk-mabukan, pesta, bahkan
perokok.
Daisy
Buchanan yang menjadi istri Tom, seringkali mendapatkan perlakuan buruk dan
kasar dari suaminya, sehingga ia melampiaskan kekesalannya untuk mengunjungi
pesta atau berfoya-foya. Sedangkan tokoh perempuan lain (figuran) seperti Jordan Baker dan Myrtle Wilson dicitrakan sebagai wanita modern. Kedua
tokoh tersebut digambarkan sebagai duplikat seorang bujangan, tipe tokoh
negatif : dangkal, suka pamer, pemberontak, curang. Di sisi lain, tokoh Mrs. Mc Kee diceritakan sebagai tokoh yang menarik,
lemah, tetapi mengerikan.
Secara tidak langsung Fitzgerald
melalui novel The Great Gatsby tidak
menyukai karakter wanita modern, sehingga tokoh-tokoh wanita dalam novel
tersebut tampak dihakimi dengan berperilaku negatif. Apa yang dilakukan Tom
terhadap beberapa perempuan tidak seberapa dibandingkan dengan karakter dan
perilaku tokoh wanita yang diceritakan dalam The Great Gatsby.
Bahkan, perlawanan tokoh-tokoh
perempuan dalam novel ini tidak mencerminkan sikap positif. Dimana
tokoh perempuan diceritakan melakukan hal-hal yang negatif, seperti mabuk,
perokok dan suka pergi ke pesta.
FEMINISME
DALAM NOVEL CINTA DI DALAM GELAS
Novel pertama (Padang
Bulan) menceritakan kepedihan Syalimah saat suaminya (Zamzami) mengalami
kecelakaan dalam bekerja di pertambangan, dan Enong yang pada saat itu berusia
12 tahun harus menggantikan ayahnya sebagai tulang punggung keluarga. Novel
kedua (Cinta di Dalam Gelas) menceritakan berlanjutnya perjuangan Enong dalam
bekerja menghidupi serta berusaha sekuat mungkin untuk membahagiakan ibu dan
adik-adiknya keluarga dan perjuangan melawan ketidakadilan terhadap kaum
perempuan.
Bentuk perlawanan ini
bukan dari segi kekuatan otot atau fisik, tetapi jenis perlawanan dengan
menggunakan akal atau pikiran. Bentuk perlawanan ini bertujuan agar para
perempuan sejajar kedudukannya dengan kaum lelaki dalam hal kesempatan.
Seperti yang diuraikan
sebelumnya, bentuk perlawanan awal terletak pada prestasi Enong dalam meraih
peringkat lima besar pada kursus Bahasa Inggris. Hal ini menyebabkan,
orang-orang disekitarnya tidak memicingkan sebelah mata pada orang miskin,
khusunya perempuan. Selanjutnya, keberanian Enong mengikuti pertandingan catur
17 Agustus patut diapresiasi. Sikap Enong terebut walaupun banyak pihak yang
menolak, tetapi ada satu lelaki yang mendukung, yaitu Selamot. Bentuk
perlawanan halus tersebut berhasil mengubah paradigma berpikir masyarakat,
walaupun pada awalnya hanya satu orang.
Perlawanan dimulai dari
sebuah perjuangan. Perjuangan Enong atau Maryamah untuk berlatih catur tidak
mengenal lelah. Maryamah belajar dan gagal, tetapi dia tadak putus asa untuk meraih
keinginannya yang besar. Di bawah ini kutipan Enong sedang belajar catur tanpa
kenal lelah, walaupun hasil yang dicapai belum memenuhi standar pemain catur
profesional.
Sebulan berlalu
sejak pertama kali Maryamah bisa menggerakkan buah catur, kami telah berlatih
untuk game ke-658. Artinya, Maryamah telah berlatih sebanyak 658 papan, alias
658 pertandingan. Hanya itu yang bisa kukatakan untuk menggambarkan kekuatan
mental perempuan itu dalam belajar. Filosofi belajarnya, “menantang semua
ketidakmungkinan”, termanifestasi menjadi ideologi yang sangat jelas baginya
dalam menguasai sesuatu. Ia tak pernah gamang, tak pernah tanggung-tanggung.
Keadaan ini membuatku berpikir bahwa ideologi adalah sesuatu yang diperlukan
dalam belajar, lebih dari sebuah otoritas. Sementara itu, aku, yang selalu
merasa lelah setelah belajar satu jam, patut merasa malu (Hirata, 2011: 77).
Kutipan di atas
menggambarkan sikap awal perlawanan Enong untuk mencapai kesetaraan. Bahkan,
pelatihnya yang juga lelaki sudah merasa bahwa dirinya telah dikalahkan, karena
keteguhan Enong dalam berlatih.
Pada mozaik 21, Enong
menunjukkan sikap dewasa setelah ibunya meninggal. Ia tidak berlarut-larut
meratapi kesedihannya. Ungkapan Enong mencerminkan sikap perempuan dewasa yang
mawas diri terhadap kehidupan. berikut kutipannya.
“Habis air
mataku, lunas sudah kesedihan itu. Hidup harus berlanjut. Tantangan ada di
muka. Masih banyak yang masih disyukuri,” ujarnya ringan (Hirata, 2011: 113).
Kutipan di atas
menggambarkan perlawanan Enong terhadap kerasnya keadaan, biarpun dalam
keseluruhan hidupnya berisi kepedihan. Di sisi lain, penulis novel menceritakan
secara simbolik seorang calon Presiden perempuan yang berpidato untuk
menggambarkan, bahwa perempuan bisa memimpin bahkan lebih memahami keadaan
negaranya. Berikut kutipannya.
Melalui televisi hitam
putih, kami menyaksikan perempuan itu berpidato untuk merebut kursi presiden.
Selamot ternganga mulutnya. Ia begitu kagum pada calon presiden perempuan itu.
“Tidak adilnya
porsi pembagian hasil kekayaan alam antara pusat dan daerah adalah masalah yang
harus dilihat sebagai titik rawan yang serius….”
Begitu pidato
perempuan itu. Kemudian sang calon presiden bicara tentang Aceh. Wajahnya
sembab, suaranya terbata-bata.
“Oleh karenanya,
lewat mimbar ini saya serukan, hentikan segala bentuk kekerasan. Beri mereka
keadilan. Beri mereka kelayakan untuk hidup di alam Indonesia merdeka. Beri
mereka rasa hormat dan kembalikan hak asasi mereka sebagai manusia.” (Hirata,
2011: 115-116).
Kutipan di atas
menunjukkan pengertian dan pemahaman seorang perempuan tentang keadaan bumi
pertiwi. Hal ini bisa memotivasi perempuan lain untuk berjuang dalam
kehidupannya. Di sini juga bisa dipahami, perlawanan bukan hanya dalam bentuk
fisik semata, tetapi juga melalui pemikiran dan kasih sayang terhadap sesame.
Jika demikian, kesetaraan dan keseimbangan hidup bisa berjalan tanpa melihat
perbedaan gender.
Setelah Maryamah atau
Enong diterima sebagai peserta pertandingan catur, masih ada masyarakat yang
mencemooh, tetapi sebagian sudah bisa menerima. Perlawanan Maryamah untuk
menjadi sejajar dengan lelaki dalam hal kesempatan mendapatkan hasil, walaupun
belum hasil yang sesungguhnya. Berikut kutipannya.
Itulah perempuan
pertama yang bertanding melawan lelaki dalam pertandingan catur peringatan hari
kemerdekaan di kampung kami. Sebagian orang bertepuk tangan dengan meriah
menyambutnya. Sebagian meremehkan dengan mengatakan perempuan itu akan tumbang
pada papan pertama di pertandingan yang paling mula (Hirata, 2011: 119).
Kutipan di atas
menunjukkan pertandingan belum di mulai, dan belum ada hasil dari permainan
Maryamah, tetapi paling tidak kutipan tersebut menyiratkan keberhasilan
perlawanan Maryamah untuk mengikuti pertandingan itu karena sudah diizinkan,
walupun ada pro dan kontra dalam masyarakat.
Perjuangan biarpun
lambat pasti akan mendapatkan dukungan, tanpa terkecuali perjuangan Maryamah.
Para perempuan begitu antusias melihat Maryamah bertanding catur melawan
lelaki. Berikut kutipannya.
Pertandingan
masih dua jam lagi, namun penonton telah berbondong-bondong ke warung kopi
paman. Penonton menjadi banyak karena ada penonton perempuan yang ingin menjadi
supporter Maryamah. Sebelumnya perempuan tak pernah menyaksikan pertandingan
catur (Hirata, 2011: 138).
Kutipan
di atas menggambarkan perlawanan perempuan tidak hanya dari Maryamah, tetapi
juga dari masyarakat perempuan lain yang memberi dukungan kepada Maryamah.
Dukungan kepada teman senasib sepenanggungan, atau bahkan sama jenis kelaminnya
bisa dikategorikan sebagai perlawanan. Perlawanan yang dimaksud di sini adalah
perlawanan kaum perempuan kepada kaum lelaki untuk mencapai kesetaran dalam
kesempatan hidup di masyarakat.
Perlawanan bisa
ditunjukkan dimana saja. Seperti Maryamah yang ia tunjukkan melalui papan
catur. Ia tidak pernah menyerah, waluapun keadaan pion-pion catur miliknya
hampir habis dimakan lawan. Berikut kutipannya.
Para
penonton mencibir Maryamah agar mengalah saja. Buat apa menghabiskan waktu, toh
tak ada lagi kekuatan untuk menghadapi perwira-perwira Syamsuri Abidin.
Maryamah tak menanggapinya. Ia tak punya mentalitas menyerah. Ia memutuskan
untuk terus melawan. Apapun yang akan terjadi (Hirata, 2011: 157).
Sikap dan mental dari
Maryamah di atas bisa diaplikasikan dalam berbagai hal. Hanya saja penulis
novel mengilustrasikan dalam sebuah adegan bidak catur. Sikap melawan tanpa
menyerah dalam keadaan bagaimanapun akan mencapai hasil yang diinginkan. Biarpun hasil tidak sesuai
yang diinginkan, tetapi ada nilai lain atau hikmah yang didapat. Hal ini
seperti yang dialami Maryamah saat kalah bertanding dengan Syamsuri Abidin.
Berikut kutipannya.
Pendukung
Syamsuri Abidin bertepuk tangan untuk jagoannya. Pendukung Maryamah yang tadi
diam bertepuk tangan untuk Maryamah, demi menghormati jiwa tempurnya yang tak
kenal takut. Setelah beberapa lama, sungguh aneh, dimulai oleh Paman, para
pendukung Syamsuri Abidin berdiri dari tempat duduk dan bertepuk tangan untuk
Maryamah (Hirata, 2011: 160).
Bisa dilihat dari
kutipan di atas, biarpun Maryamah kalah bertanding ternyata banyak orang yang
simpatik memberi dukungan. Hal ini disebabkan perjuangan dan perlawanan
Maryamah tanpa mengenal menyerah sampai titik darah penghabisan.
Perlawanan-perlawanan
Maryamah ada yang berdasarkan ketidakadilan gender, tetapi di sisi lain perlawanan
tersebut ada yang bermotivasi dendam masa lalu. Selain dendam kepada mantan
suaminya, Maryamah mempunyai dendam kepada salah seorang pegawai tambang timah
yang bernama Overste Djemalam. Berikut beberapa kutipannya.
Ia hampir celaka
karena diburu di hutan oleh sejumlah laki-laki karena mendulang timah. Kami
miris mendengarnya ketakutan diperkosa dan dibunuh, lalu terjun ke hulu Sungai
Linggang. Ia selamat karena tersangkut di akar bakau nun di muara. Maryamah
mengatakan, sejak itu ia ketakutan setiap kali mendengar salak anjing. Sekarang
kami paham mengapa ia meminta wasit agar mengusir anjing-anjing yang menyalak
di dekat warung kopi, waktu ia bertanding melawan Syamsuri Abidin dulu. Setelah
beberapa hari setelah kejadian ia di buru itu, Maryamah melihat orang-orang
yang memburunya sedang minum kopi di Warung Kopi Bunga Serodja bersama seorang
pria yang menyuruh mereka. Pria itu adalah Overste Djemalam (Hirata, 2011:
252).
Kami melihat
keputusan Maryamah untuk menghadang Overste adalah sebuah keputusan yang benar.
Ini tak lagi soal catur, tapi martabat (Hirata, 2011: 254).
Kutipan pertama di atas
menggambarkan kejadian di masa lalu yang dialami Maryamah saat bekerja di
tambang timah. Trauma tersebut mengantarkanya pada sebuah dendam dan
berkeinginan untuk membalasnya. Walaupun pembalasannya dengan cara
menghadapinya di papan catur. Hal ini seperti yang tertuang dalam kutipan
kedua. Selanjutnya, tidak seperti sebelumnya, sikap Maryamah setelah
mengalahkan Overste berbeda dengan ketika ia mengalahkan musuh-musuhnya yang
lain. Maryamah mampu menunaikan dendam masa lalunya melalui papan catur.
Berikut kutipannya.
Sekondan Maryamah bersorak girang.
Maryamah bangkit dan berlalu meninggalkan Overste yang terpaku dengan wajah
kaku. Lunas sudah kesumat itu (Hirata, 2011: 261).
Sikap Maryamah di atas
menampakkan kepuasan setelah mampu membalas dendam, walaupun hanya melalui
papan catur. Dari kejadian atau setelah Maryamah mengalahkan Overste,
masyarakat tidak lagi meremehkan perempuan. Perjuangan perlawanan Maryamah
mencapai kesetaraan menuai hasil. Berikut kutipannya.
UMBUL-UMBUL
telah dipasang di kiri-kanan jalan menuju Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi.
Masyarakat berduyun-duyun ingin menyaksikan pertandingan final catur yang
istimewa, bukan hanya karena perempuan melawan lelaki, dan lelaki itu adalah
kampiun catur tiada tara sekaligus mantan suaminya, tapi juga sejak memakzulkan
Overste Djemalam, reputasi Maryamah meroket. Sekarang ia dianggap pecatur kelas
atas yang karismatik (Hirata, 2011; 288).
Pencapaian Maryamah
pada uraian di atas menggambarkan, mulai diakuinya peran perempuan dalam
masyarakat. Sampai pada akhir cerita Maryamah mampu mengalahkan mantan suaminya
yaitu Matarom pada pertandingan final.
Dari beberapa kutipan
di atas, fokus perlawanan perempuan terjadi hanya pada Enong atau Maryamah.
Perlawanan tersebut tidak dengan menggunakan kekuatan fisik, melainkan dengan
mental, akal, dan keberanian, biarpun ada sedikit motivasi dendam masa lalu.
Perlawanan untuk mencapai kesetaraan gender tersebut kiranya mampu mendapat
sambutan dan dukungan dari masyarakat luas. Dari sini, pelajaran yang bisa
diambil adalah belajar dan berjuang tanpa mengenal lelah, demi mencapai tujuan
yang diinginkan.
SIMPULAN
Dalam budaya manapun
laki-laki dianggap lebih superior daripada perempuan, baik dari segi fisik
maupun psikis. Fisik dan psikis antara laki-laki dengan perempuan jelas
berbeda. Masyarakat memandang perbedaan ini merupakan status yang tidak setara.
Masyarakat meletakkan perempuan pada posisi lemah (inferior), karena tidak memiliki tenaga yang kuat serta tidak
memiliki psikis yang mumpuni untuk menghadapi persoalan-persoalan berat dalam
kehidupan. Pandangan seperti ini menjadi dasar terciptanya konsep patriarki.
Konsep patriarki meletakkan laki-laki pada posisi yang dominan dibandingkan
perempuan.
Novel The Great Gatsby karya F. Scott
Fitzgerald menguraikan berbagai hal ketidakadilan yang dialami tokoh perempuan.
Bahkan, dalam novel ini pengarang secara tidak langsung menghakimi peran tokoh
perempuan. Dimana tokoh perempuan diceritakan melakukan hal-hal yang negatif,
seperti mabuk, perokok dan suka pergi ke pesta. Bentuk perlawanannya pun tidak
menunjukkan perilaku positif. Maka, dalam hal ini pembaca dapat menyimpulkan
adanya ideology patriarki dalam sastra. Karya sastra semacam ini dapat mempersiapkan pembaca untuk menggunakan pandangan feminis dimana kita
harus mengenalnya dengan jelas yaitu : pada diri kita sendiri.
Berbeda dengan novel The Great Gatsby, Novel Cinta di Dalam
Gelas karya Andrea Hirta menguraikan perlawanan perempuan untuk mencapai
kesetaraan dalam hal kesempatan bekerja. Fokus perlawanan diceritakan pada
sosok Maryamah atau Enong ketika mengikuti pertandingan catur. Perlawanan
tersebut tidak dengan menggunakan kekuatan fisik, melainkan dengan mental,
akal, dan keberanian, biarpun ada sedikit motivasi dendam masa lalu. Perlawanan
untuk mencapai kesetaraan gender tersebut kiranya mampu mendapat sambutan dan
dukungan dari masyarakat luas, khususnya kaum perempuan.
DATFAR PUSTAKA
Endraswara,
Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. FBS Universitas Negeri
Yogyakarta. Yogyakarta: Buku kita.
Fitzgerald,
F. Scott. 2010. The Great Gatsby. Jakarta: Serambi
Hirata,
Andrea. 2011. Cinta di Dalam Gelas. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Luxemburg,
Jan van dan Mieke Bal dan Willem G. Weststeijn. 1992. Pengantar Ilmu Sastra.
Terjemahan oleh Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Novia,
Windy. 2008. Kamus Lengkap Bahasa Indoneia. Surabaya: Khasiko.
Nurgiyantoro,
Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan kesepuluh, cetakan pertama
tahun 1995. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo,
Rachmat Djoko. 2010. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
cetakan ke tujuh, cetakan pertama tahun 1995. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer,
George dan Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
Santosa,
Puji dan Suroso dan Pardi Suratno. 2009. Kritik Sastra. Yogyakarta:
Elmatera Publishing.
Zulfanhur,
dkk. -. Teori Sastra. Jakarta: Universitas Terbuka.
Komentar