A.
Strukturalisme
Teori
strukturalisme dalam karya sastra lahir dan berkembang melalui tradisi
formalisme. Maksudnya, tokoh-tokoh Formalis – seperti Mukarosvky – mempunyai andil besar
dalam mendirikan konsep dan teori strukturalisme. Strukturalisme sering kali
dianggap sebagai teori formalisme modern. Teori strukturalisme berhubungan
dengan deskripsi struktur-struktur. Objek kajian sastra struktural adalah sistem sastra, yaitu konvensi yang abstrak
dan umum yang mengatur hubungan karya sastra secara utuh dan otonom (biasa
disebut unsur intrinsik).
Teori
strukturalisme dibutuhkan untuk memahami teks sastra. Hal tersebut berdasarkan
pendapat Teew (1984:31) bahwa strukturalisme adalah bentuk, demikian juga
dengan karya sastra. Korelasi dari pemahaman ‘bentuk’ tersebut yang
melatarbelakangi karya sastra bersifat otonom. Berdasarkan uraian tersebut,
teori strukturalisme digunakan untuk menganalisis arti dari teks sastra itu
sendiri – maksudnya tanpa melibatkan dunia luar dari karya sastra. Dengan kata
lain, teori strukturalisme menelaah karya sastra dari segi intrinsik yang
membangun terciptanya karya sastra.
Wellek dan Warren (1989:39)
berpendapat bahwa strukturalisme merupakan konsep penting dalam dunia
kesastraan. Pendapat tersebut mempunyai argumentasi bahwa teori sastra tidak
mungkin disusun tanpa adanya kritik sastra, dan kritik sastra tidak akan
dilakukan tanpa adanya teori sastra dan sejarah sastra. Maka dari itu, untuk
menarik benang merah tersebut dibutuhkan analisis karya sastra dari segi isi.
Sehingga, dari isi tersebut akan memunculkan estetika berupa makna dan pesan.
Berdasarkan hal tersebut, kritikus sastra dapat mengetahui karya sastra yang
dibacanya bermutu atau tidak.
Teew (1984:36) menyatakan strukturalisme
merupakan pendekatan yang menitik beratkan karya sastra sebagai struktur yang
otonom, yang tidak berhubungan dengan dunia luar karya sastra. Teori struktural
bertujuan untuk memaparkan dengan cermat makna karya sastra secara menyeluruh. Pemahaman
tentang dunia luar karya sastra, berangkat dari karya itu sendiri. Teori
struktural ini dibutuhkan untuk mengetahui unsur-unsur berdasarkan paradigma
pembangun struktur kebahasaannya dan mengetahui pola strukturnya.
Berdasarkan uraian tersebut, banyak
pihak menilai strukturalisme mempunyai kelemahan. Kelemahan tersebut terletak
pada penekanan berlebihan terhadap otonomi karya sastra. Sehingga,
strukturalisme cenderung mengabaikan dua hal pokok yang penting, yaitu kerangka
sejarah sastra dan kerangka sosial budaya yang mengitari karya sastra
diciptakan. Maka dari itu – Lucien Goldmann – mendobrak tatanan strukturalisme
yang dianggap sudah mapan oleh beberapa kalangan. Goldmann mencetuskan teori
struktur baru yang dinamakan strukturalisme
genetik.
B.
Strukturalisme Genetik
Strukturalisme genetik hadir untuk
mengatasi kelemahan dari teori strukturalisme yang menganggap karya sastra bersifat
otonom. Strukturalisme genetik memerlakukan karya sastra sebagai dokumen
sejarah dan kerangka sosial budaya penulis sastra yang lahir di masyarakat. Manuaba
(2009:21) menyatakan teori strukturalisme genetik menganggap bahwa karya sastra
merupakan sebuah struktur yang bermakna (significant
structure). Maksudnya, ciri-ciri karya
sastra bukan hanya terdapat pada koherensi internal (internal koherence),
tetapi setiap elemen karya sastra juga memiliki hubungan dengan makna struktur
global, dunia, atau lingkungan sosial dan alam dimana karya sastra tersebut
ditulis.
Genetik berarti bahwa karya satra mempunyai
asal-usulnya – geneologi – di dalam
proses sejarah atau masyarakat. Strukturalisme genetik mengakui adanya
homologi antara struktur karya sastra dengan kesadaran kolektif dan struktur
dalam karya sastra merupakan ekspresi integral dan koheren dari semesta. Teori
tersebut juga menganggap bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang
terdiri dari perangkat kategori yang saling berkaitan satu sama lainnya
sehingga membentuk bangunan. Bangunan yang dimaksud antara lain, (1) fakta
kemanusiaan; (2) subjek kolektif; (3) strukturasi; (4) pandangan dunia; (5)
pemahaman; dan (6) penjelasan.
Sebagai sebuah pendekatan,
strukturalisme genetik mempercayai bahwa keterkaitan antara satu kategori
dengan kategori lainnya merupakan fakta
kemanusiaan. Hal tersebut berarti
struktur yang bermakna dari segala aktivitas atau perilaku manusia, baik verbal
maupun maupun fisik berusaha dipahami oleh pengetahuaan. Segala aktivitas
tersebut hasil dari respon subjek
kolektif. Dunia sastra mengartikan subjek
kolektif sebagai transindividual
subjek. Artinya, terjadi kesamaan rasa dan pikiran antara penulis – karya
sastra – dengan pembaca dalam memahami karya sastra yang memuat fakta kemanusiaan.
Dari fakta kemanusian dan subjek
kolektif tersebut menghasilkan sebuah pandangan. Pandangan ini, dalam
strukturalisme genetik disebut dengan pandangan
dunia. Pandangan dunia terhadap subjek kolektif, fakta
kemanusiaan, dan struktur karya sastra disebut dengan produk strukturasi.
Maksudnya, fakta kemanusian menuju subjek kolektif merupakan struktur
koheren yang menciptakan ekspresi pandangan
dunia. Ekspresi pandangan dunia dari
penulis karya sastra menghasilkan karakter atau watak tokoh-tokoh, objek, dan
relasi secara imajiner. Uraian tersebut mempunyai konsep struktur yang bersifat
tematik.
Intinya, teori strukturalisme
genetik menjelaskan struktur asal usulnya dengan memperhatikan relevansi konsep
sosial budaya. Berdasarkan pendapat tersebut, maka teori ini menggunakan metode
dialektika yang menekankan koherensi fakta
kemanusian dan subjek kolektif
dengan pandangan dunia. Sehingga,
penulis karya sastra harus bisa menyampaikan perasaan dan pikirannya kepada
pembaca agar pembaca mampu mengerti, memahami (pemahaman), dan menjelaskan (penjelasan)
perasaan dan pikiran penulis karya sastra. Kesimpulannya, pandangan dunia (penulis) terhadap fakta kemanusiaan dan subjek
kolektif dapat dipahami pembaca,
sehingga pembaca mampu menjelaskan
pandangan dunia dari penulis karya sastra.
C.
Strukturalisme Genetik sebagai Pisau
Bedah Karya Sastra
Kajian strukturalisme genetik
terdapat pada unsur intrinsik karya
sastra, baik secara parsial maupun keseluruhan. Di sisi lain, teori tersebut
mengungkap latar belakang kehidupan
sosial kelompok penulis karya sastra dan ruang lingkup sejarah yang mengondisikan terciptanya karya sastra. Berdasarkan
tiga pengkajian tersebut akan diperoleh gambaran – abstraksi – pandangan dunia
penulis karya sastra melalui tokoh-tokoh yang diceritakan.
Berdasarkan ruang lingkup pengkajian
tersebut, maka strukturalisme genetik mengacu kepada dua hal, yaitu unsur
intrinsik dan unsur ekstrinsik. Pengkajian unsur intrinsik merupakan kesatuan
sekaligus koherensi sebagai data dasar. Pengkajian unsur ekstrinsik merupakan
penyatuan berbagai unsur – termasuk intrinsik karya sastra – dengan realitas
masyarakat (sosial dan budaya) penulis karya sastra.
Pengkajian ekstrinsik memandang
karya sastra sebagai refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial,
budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Suwardi Endraswara (2003:56) menyatakan peristiwa-peristiwa
penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik
karya sastra. Setelah unsur intrinik ditemukan, maka sekaligus dikorelasikan
dengan keadaan sosial, budaya, dan politik yang didokumentasikan penulis dalam
karyanya.
Goldmann (Suwardi Endraswara,
2003:57) memberikan rumusan penelitian strukturalisme genetik dalam tiga hal,
antara lain.
1. Penelitian terhadap karya sastra
dilihat sebagai satu kesatuan – unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
2. Karya sastra yang diteliti hendaknya
bernilai sastra, yaitu karya yang mengandung tegangan (tension) antara
keragaman dan kesatuan dalam suatu keseluruhan (a coherent whole).
3. Jika kesatuan telah ditemukan,
kemudian dianalisis dalam hubungannya
dengan latar belakang sosial.
Sifat hubungan tersebut merujuk dalam dua hal, yaitu (a) unsur kesatuan yang
berhubungan dengan latar belakang sosial; (b) latar belakang yang dimaksud merupakan
pandangan dunia suatu kelompok
sosial yang dilahirkan penulis karya sastra, sehingga hal tersebut dapat dikongkritkan.
Maksudnya, unsur kesatuan terdapat pada unsur
intrinsik karya sastra. Kemudian,
kesatuan unsur intrinsik tersebut
dihubungkan dengan latar belakang sosial penulis karya sastra. Selanjutnya,
latar belakang sosial penulis karya sastra memuat pandangan dunia penulis
karya sastra terhadap suatu kelompok sosial tertentu. Lebih jelasnya, menurut Suwardi
Endraswara (2003:62) kinerja strukturalisme genetik dapat diformulasikan dalam
tiga langkah, antara lain.
1. Peneliti bermula dari kajian unsur
intrinsik, baik secara parsial maupun dalam jalinan keseluruhannya. – Struktur teks
2. Mengkaji kehidupan sosial budaya penulis
karya sastra, karena merupakan bagian dari komunitas tertentu. – Struktur sosial
3. Mengkaji latar belakang sosial dan
sejarah yang turut mengondisikan karya sastra saat ditulis, sehingga pembaca
dapat menemukan ideology penulis karya sastra. – Pandangan dunia
Kesimpulannya – menurut prinsip
teori strukturalisme genetik – dalam menciptakan karya sastra, penulis karya
sastra tidak hanya dipandang dari segi individu. Maksudnya, penulis karya
sastra diposisikan sebagai wakil untuk menyuarakan suara sosial dari kelompok tertentu.
Penulis karya sastra merupakan anggota masyarakat, yang dipandang sebagai
subjek kolektif. Karya sastra diciptakan dari peran, keadaan, dan lingkungan. Jadi,
subjek kolektif berperan dalam terciptanya karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Manuaba, Putera. 2009. Durga
Umayi: Pergulatan Diri Manusia. Yogyakarta: Jenggala Pustaka.
Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi,
Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu
Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (penerjemah
Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia.
Komentar