LATAR BELAKANG MASALAH
Sebelum agama-agama
dari luar peradaban Jawa hadir, masyarakat Jawa sudah berperilaku religius yang
mempercayai segala sesuatu memunyai kekuatan (dinamisme). Kekuatan itu diyakini
masyarakat Jawa bisa memengaruhi kegagalan dan keberhasilan dalam melakukan
sebuah usaha. Di samping itu, masyarakat Jawa juga mempercayai bahwa benda-benda
yang ada di alam semesta ini mempunyai roh (animisme). Dua kepercayaan kuno ini
membentuk sebuah tradisi yang merupakan wujud dari peradaban manusia Jawa itu
sendiri. Hasil dari tradisi tersebut membentuk akal-budi untuk memenuhi kebutuhan
kerohanian. Kemudian, pada periode awal,
masuknya agama Hindu dan agama Budha sangat memengaruhi kedua kepercayaan kuno
tersebut, tetapi tidak serta merta dinamisme dan animisme ditinggalkan oleh
masyarakat Jawa. Bahkan, dalam upacara ritual tertentu masyarakat Jawa
menggambungkan agama Hindu dan agama Budha ini dengan kepercayaan dinamisme dan
animismenya. Sehingga, percampuran tersebut menghasilkan sebuah keyakinan yang
bernama agama Jawa.
Periode selanjutnya,
agama Islam datang untuk menggenapi tradisi-tradisi yang sudah tertanam begitu
lama. Kedatangan Islam di Jawa berada dalam masyarakat yang penuh tradisi. Islam
dan Jawa merupakan entitas yang berbeda, dan sulit untuk dipadukan. Islam
memiliki jati diri sendiri, budaya Jawa juga demikian. Realitas tersebut
memaksa Islam untuk menyesuaikan diri dengan kepercayaan dan tradisi yang telah
membumi. Sehingga, Islam dan Jawa bercampur baur menjadi satu kesatuan. “Setidaknya,
dalam paham tersebut telah terjadi sinkretisme antara Islam dan agama Jawa
(tradisi leluhur) (Endraswara, 2003: 77).” Hasilnya, Islam di Jawa dan
Indonesia tumbuh besar, tetapi masyarakat Islam Jawa banyak berkeyakinan Islam
sinkretis (Islam abangan) yang menyatukan ajaran Islam dengan budaya Jawa serta
konsep peninggalan Hindu-Budha. Koentjaraningrat (1994: 310) membagi orang
Islam Jawa menjadi dua macam, yaitu:
(1) sinkretis, yang menyatukan
unsur-unsur pra-Hindu, Hindu dan Islam.
(2) agama Islam yang puritan, atau yang
mengikuti ajaran agama lebih taat.
Dalam
era informasi yang sudah pekat saat ini bisa dicermati bahwa dinamisme dan
animisme masih dipertahankan, bahkan dilestarikan oleh sebagian masyarakat Jawa
pada umumnya, dan masyarakat Jawa pedesaan khususnya, walaupun sudah
bercampurbaur dengan ritual-ritual keagamaan lainnya, terutama Islam. Hal ini
tercermin dalam perilaku masyarakat Jawa untuk menghormati nenek moyang,
seperti slametan, sesaji, ritual
dalam pernikahan, ruwatan, sedekah
bumi, bersih desa, dan masih banyak lagi. Perilaku masyarakat Jawa yang sinkretis
ini diuraikan dalam berbagai karya sastra Jawa, salah satunya adalah Serat
Centhini.
Suluk tambangraras atau
lebih populer dengan nama Serat Centhini adalah sebuah kitab ensiklopedia Jawa
yang merupakan proyek besar arahan Sri Susuhan Pakubuwana V. Kitab ini
menguraikan proses-proses sinkretisasi antara tradisi Jawa dengan ajaran agama
Islam. Serat Centhini dianggap sebagai karya fenomenal kesusastraan Jawa. Karya
besar ini ditulis dengan bahasa dan
tulisan Jawa dalam bentuk tembang macapat.
Sampai sekarang belum ada data yang valid tentang perubahan nama dari “Serat
Suluk Tambangraras” menjadi “Serat Centhini”. Yang pasti, “Centhini” adalah batur (emban) dari Nyi Tambangraras.
Serat Centhini
terdiri dari dua belas jilid yang secara keseluruhan memaparkan keaneka-ragaman
budaya Jawa. Meliputi pendidikan, sejarah, geografi, arsitektur rumah adat
Jawa, pengetahuan alam, agama, falsafah, tasawuf, mistik, ramalan, perlambang,
adat-istiadat, obat-obatan tradisional Jawa, tata cara dalam budaya Jawa
(perkawinan, pindah atau membangun rumah, menerima tamu, selamatan, meruwat,
berganti nama, dan lain-lain), etika, ilmu pengetahuan (sifat manusia,
psikologi), dunia flora fauna, obat-obatan tradisional, dan makanan
(tradisional), seni (seni tari, musik/suara, wayang, pedalangan, karawitan,
topeng) (Wirodono, 2011: xiii dalam Serat Centhini Dwi Lingua). Selain itu buku
ini juga menjelaskan tentang ilmu mistik dan ilmu gaib.
Di
sisi lain, tembang macapat dalam
Serat Centhini banyak disampaikan dalam bentuk pasemon. Namun demikian, di balik pasemon tersebut mengandung nilai adiluhung sebagai santapan rohani
secara tersirat. Selain itu dalam kebudayaan Jawa. simbol menjadi sesuatu yang
penting. Peranan simbol dalam bentuk pasemon
merupakan unsur dominan dalam kesusastraan Jawa, akan tetapi bila ditelusuri
secara mendalam dapat ditemukan nilai-nilai edukatif yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. “Sastra Jawa klasik pada umumnya mengandung nilai-nilai
kearifan lokal sebagai tuntunan kebajikan, kebenaran, dan keindahan tentang
ajaran budi luhur yang mengusung semangat Bhineka Tunggal Ika (Santosa dan Suroso,
2009: 3).”
Penulis hanya mengkaji
Serat Centhini jilid I, karena sumber tulisan ini adalah Serat Centhini jilid I
yang sudah ditranskripsi dari tulisan Jawa menjadi tulisan Latin dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sunardian Wirodono. Kisah Serat
Centhini jilid I menguraikan awal terjadinya proses Islamisasi di tanah Jawa
yang diusung oleh Sunan Giri. Proses Islamisasi yang dilakukan Giri mendapatkan
perlawanan sengit dari keraton Majapahit, karena dogma yang diusung Giri
(Islam) berseberangan dengan tradisi dan keyakinan masyarakat Jawa. Selain itu,
buku ini juga menceritakan seorang Raja Jawa yang berhak mengatur tata
kehidupan duniawi serta hal-hal yang berhubungan dengan masalah surgawi. Hal
tersebut dalam bahasa Jawa biasa disebut ‘sabda
pandita ratu’. Selanjutnya, Serat Centhini Jilid I memaparkan negosiasi
tokoh-tokoh Muslim untuk mengkontekstualisasikan Islam dengan budaya Jawa.
Sinkretisme Islam ini menjadi persoalan sentral dalam Serat Centhini jilid I.
Serat Centhini jilid I menguraikan ajaran Islam mampu berdampingan dengan
kebudayaan Jawa, sehingga pertukaran kebudayaan antara keduanya bisa terjadi.
Dari pemaparan di atas penelitian ini
berjudul ‘Sinkretisme Dalam Serat Centhini Jilid I.
AGAMA
JAWA
Agama
adalah prinsip kepercayaan kepada Tuhan yang di dalamnya terdapat
kewajiban-kewajiban (Novia, 2008: 17). Prof. Dr. M. Quraish Shihab memaparkan berbagai
pengertian agama dalam bukunya Membumikan Al-Quran Jilid 2 sebagai berikut:
“Apakah agama?”
jangankan definisinya, makna kata ini pun diperselisihkan para pakar. Ada yang
berkata kata tersebut terambil dari bahasa Sansekerta, yang terdiri dari kata
“a” yang berarti “tidak” dan “gama” yang berarti “kacau”. Agama adalah
peraturan yang menghindarkan manusia dari kekacauan serta mengantar mereka
hidup dalam ketertiban dan keteraturan. Ada lagi yang berkata ia berasal dari
bahasa Indo – Germania, yang darinya lahir kata “go” dalam bahasa Inggris, atau
“gaan” dalam bahasa Belanda, dan “gein” dalam bahasa Jerman, yang kesemuanya
mengacu ke makna “jalan”. Penambahan huruf “a” pada awal kata itu menjadikannya
sebagai kata benda sehingga “agama” adalah “jalan” yang mengantar pemeluknya
menuju kebahagian duniawi dan ukhrawi (2011: 56).
Inti dari uraian di
atas adalah sebagai peraturan untuk manusia dalam menjalani kehidupan secara teratur atau tidak
semburat, agar menuai keselamatan. Mitologi Jawa memaknai agama sebagai agemaning ati, yaitu pakaian hati. Hal ini mengisyaratkan untuk mencapai
sebuah eksistensi di hadapan Sang Pencipta, manusia harus senantiasa memiliki
tingkat kebatinan (rasa) yang tinggi.
Sedangkan agama Jawa
diyakini sebagai sebuah sistem dimana berbagai agama dari luar peradaban Jawa
melebur menjadi sebuah kesatuan. “Koentjaraningrat
(1994: 319) memaparkan, sistem budaya agami Jawi setaraf dengan sistem budaya
dari agama yang dianut orang Jawa, terdapat berbagai keyakinan, konsep,
pandangan dan nilai.” Sampai saat ini, agama Islam mendominasi. Agama Islam
paling banyak dianut oleh masyarakat Jawa. Hal ini merupakan sesuatu yang luar
biasa mengingat tradisi dan keyakinan Jawa kuno begitu kuat, apalagi setelah
masuknya Hindu – Budha. Seperti yang dipaparkan pada latar belakang, pemeluk
Islam di jawa terbagi menjadi dua, yaitu Islam Santri dan Islam Abangan. “Maka,
sukarlah dijelaskan menerangkan bahwa
mereka memeluk agama Islam, namun sekurang-kurangnya 80% dari antara mereka
termasuk golongan Islam statistik (Mulder, 1996: 31).” Maksudnya, golongan
Islam statistik termasuk golongan orang yang beragama Islam dengan
mencampurbaurkan ajaran Islam dengan tradisi Jawa.
Di sisi lain, peran
Wali dalam menyebarkan agama Islam di Jawa sangat krusial. Di mana para Wali
tersebut menggunakan tradisi-tradisi Jawa untuk syiar agama Islam. Padahal,
secara konsep tradisi-tradisi Jawa sarat akan mistik dan takhayul. “Danandjaja
(1982: 154) mengartikan takhyul menyangkut kepercayaan dan praktek (kebiasaan).”
Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Jawa memaparkan,
Agama Islam yang
diajarkan oleh para Wali dalam pondhok-pondhok pesantren mungkin pada waktu itu
juga mengandung banyak mistik, sehingga memudahkan hubungan dengan penduduk
yang sejak lama terbiasa akan konsep-konsep dan pikiran-pikiran mistik (1994:
316).
SINKRETISME
Sinkretisme
merupakan proses penyelarasan antara dua keyakinan atau kepercayaan yang
berbeda, misalnya Budaya Jawa – ajaran Islam. Dari uraian pengertian tersebut
kiranya agama masyarakat Jawa merupakan proses sinkretis antara tradisi lokal
yang bercampur dengan ajaran Hindu – Budha dan Islam. Dengan adanya proses
sinkretis ini, maka isi dari agama tersebut mengandung pengaruh-pengaruh dari
luar. Dengan demikian penganut agama yang sudah dipengaruhi sistem dari luar
secara tidak sadar memiliki sikap sinkretis dalam menjalani ritual keagamaan
yang diyakininya. Simuh (1988: 2) menjelaskan,
Sikap sinkretis adalah suatu sikap atau
pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya suatu agama. Yakni suatu
sikap yang tidak mempersoalkan murni dan tidak murninya suatu agama. Bagi orang
yang berpaham sinkretis, semua agama dipandang baik dan benar. Penganut paham
sinkretisme, suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama, yang pada dasarnya
berbeda bahkan berlawanan.
Intinya, dalam kebudayaan Jawa
pengaruh terbesar didapatkan dari agama Islam. Hal tersebut disebabkan, karena
ritual-ritual Islam mampu plastis masuk ke dalam ritus-ritus Jawa. Pengaruh
Islam tersebut tidak hanya sekadar pada ritual-ritual tradisinya saja, bahkan bentuk
dari bangunan Jawa juga sudah dipengaruhi struktur Islam. Bisa dilihat bangunan
pada keraton-keraton di Jawa, seperti Masjid Agung Demak, Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat, Keraton Surakarta, dan kasepuhan Cirebon. Perpaduan antara Jawa
dan Islam begitu khas.
TEORI HERMENEUTIK
Secara etimologis, kata hermeneutik
berasal dari bahasa Yunani hermeneuein
yang berarti ‘menafsirkan’. Maka, kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau
interpretasi (Sumaryono, 1999: 23). Mengacu pada istilah kata hermeneutik yang
berasal dari Yunani, tentu istilah kata ini ada hubungannya dengan cerita dan
legenda Yunani. Hermes adalah seorang utusan dari langit yang bertugas
menyampaikan dan menerjemahkan pesan
dari para dewa-dewa Yunani kepada manusia.
Ulama Muslim berpendapat bahkan menduga keras bahwa Hermes adalah Nabi
Idris as. Lebih lanjut Shihab (2011: 554 – 555) menjelaskan,
Dapat
ditambahkan bahwa penamaan beliau dengan Idris yang terambil dari rangkaian
huruf-huruf dal-ra-sin, yakni belajar mengajar, boleh jadi karena beliau
sebagai orang pertama yang mengenal tulisan atau orang yang banyak belajar dan
mengajar. Betapapun, Idris as., atau katakanlah Hermes, adalah orang yang
dipilih untuk menjelaskan pesan-pesan Tuhan kepada manusia. Dari sini kemudian
kata hermeneutika, dalam konteks kitab suci, mengandung arti penjelasan tentang
maksud-maksud firman Tuhan.
Dari pengertian tersebut hermeneutik pada
awalnya dapat dikatakan sebagai bidang ilmu yang kajiannya memusatkan pada
persoalan pemahaman teks kitab suci, tetapi
pada dasarnya semua karya tulis menggunakan media bahasa untuk
mengungkapkan segala hal. Kemudian, ilmu
ini dari masa ke masa mengalami perkembangan, sehingga penerapannya bisa
dijadikan rujukan untuk menafsirkan ilmu sejarah, ilmu hukum, seni, filsafat,
dan karya sastra. Hermeneutik berdasar pada bahasa, maka dari itu karya tulis
seperti karya sastra, sejarah, filsafat, hukum, kebahasaan bisa diinterpretasi
atau ditafsirkan.
TEORI
SEMIOTIK
Studi sastra bersifat
semiotik adalah usaha untuk menganalisis sastra sebagai suatu sistem
tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra
mempunyai arti (Pradopo, 2010:142). Foulkes (1975:31) disebutkan bahwa
pengkajian tentang sistem tanda sebenarnya berpangkal dari teori bahasa dan
makna Platonis dan Aristotelian, dan boleh jadi untuk pertama kalinya diberi
nama semiotic oleh aliran Stoik yang
berusaha menggantikan teori epistomologi Yunani (Sukada, 1987:35). Adapun semiotik itu (kadang-kadang juga dipakai
istilah semiologi) ialah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda
dan lambang-lambang (semion, bhs
Yunani = tanda), sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambangan
(Luxemburg, Bal dan Weststeijn, 1992:44).
Semiotika
atau
studi tentang sistem
tanda pada dasarnya
kelanjutan dari strukturalisme. Sebab itulah
semiotika sering
kali disebut strukturalisme semiotik (Aminudin, 2008:124). Teori semiotik
modern dipelopori oleh Charles Sanders Peirce. Penelitian dari ahli logika
Amerika ini berkutat pada nalar manusia. Menurut Peirce manusia adalah mahkluk
tanda. Ia berpikir tidak lepas dari tanda, ia bernalar melalui tanda (Sutejo
dan Kasnadi, 2010:88). Dalam kehidupan sehari-harinya manusia tidak bisa lepas
dari apa yang dinamakan tanda, lambang, dan simbol. Untuk mengungkap ketiga persoalan ini dibutuhkan teori
semiotik, karena teori semiotik adalah teori yang memperhatikan tanda, lambang,
dan simbol. Menurut A Teeuw (1983) agar dapat memahami teks sastra dengan baik
perlu memperhatikan kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya.
Teori Peirce
yang berkaitan dengan semiotika terkenal dengan istilah ”segitiga semiotik”.
Dalam segitiga semiotik tersebut, terdapat representamen,
objek, dan interpretan. Representamen
adalah unsur tanda yang mewakili sesuatu. Menurut Peirce representamen objek yang bias dirasakan yang berfungsi sebagai
tanda (Noth, 2006:42 dalam Sutejo dan Kasnadi, 2010:89). Objek merupakan sesuatu yang diwakili tanda, sedangkan interpretan adalah tanda yang tertera di
dalam pikiran si penerima setelah melihat
representamen (Sutejo dan Kasnadi, 2010:89).
Menurut Peirce proses pembentukan tanda terbagi menjadi
tiga tipologi, yaitu hubungan objek dengan tanda, hubungan representamen dengan tanda, dan hubungan interpretan dengan tanda. Dalam hubungan objek dengan tanda, proses
pembentukan tanda berawal dari yang paling sederhana hingga yang paling
canggih. Pembentukan tanda yang paling sederhana adalah ikon, kemudian indeks,
dan yang paling canggih adalah simbol
(Sutejo dan Kasnadi, 2010:89).
Dalam
Mitologi Jawa, simbol ini begitu penting. Misalnya, dari upacara adat, penamaan
suatu hal, karya dari hasil peradapan jawa dan sebagainya. Karena pada jaman
jawa kuno, orang jawa sulit menerima sesuatu hal yang diujarkan atau
diterangkan secara ilmiah. Akan tetapi untuk menangkap suatu simbol merupakan
hal yang sangat mudah dan biasa bagi masyarakat jawa kuno. Karena hal ini sudah
menjadi kebiasaan dan pengaruh dari peradapan Hindhu dan Budha. Dan sampai
sekarang pun masyarakat jawa masih mempertahankan lambang-lambang yang ada pada
budayanya. Biarpun banyak juga yang mulai terkikis oleh pengaruh budaya Islam
dan budaya modern.
SINKRETISME
DALAM SERAT CENTHINI JILID I
Menurut mitologi Jawa,
untuk mencapai eksistensi di hadapan Sang Pencipta, manusia harus memiliki
tingkat kebatinan (rasa) yang tinggi. Kebanyakan masyarakat Jawa seringkali
melakukan laku prihatin (olah batin) untuk mencapai kesempurnaan hidup. Laku
prihatin yang dilakukan masyarakat Jawa (nglakoni)
atau tirakat dalam bahasa Islam merupakan tolak ukur seseorang meraih kemuliaan
di sisi Tuhan serta meraih kehormatan dalam ruang lingkup masyarakat. Selain
itu, masyarakat Jawa dikenal sebagai pribadi yang religius, biarpun seorang
Jawa itu tidak melakukan laku prihatin. Hal ini bisa dilihat dari kebiasaan
masyarakat Jawa saat melakukan kegiatan-kegiatan pribadi maupun sosial.
Kegiatan-kegiatan itu dianggap sebagai ritual pedoman menjalankan kehidupan. Di
sisi lain, masyarakat Jawa sangat mengagungkan budayanya. Hal ini menyebabkan
penyebaran Islam di tanah Jawa banyak
menggunakan metode kultural. Dari sini, tokoh-tokoh Islam Jawa
menyandingkan ajaran Islam ortodoks dengan kebudayaan tanah Jawa.
Serat Centhini yang
dianggap ensiklopedia Jawa banyak memaparkan proses sinkretisasi Islam dengan
kebudayaan Jawa. Serat Centhini jilid I menguraikan proses sinkretisasi pada
ritual pernikahan. Masyarakat Jawa memahami bahwa bulan Muharram (Sura) tidak
baik untuk menggelar ritual pernikahan. Berikut kutipan Serat Centhini, pupuh
30. Sinom, gatra 27.
Lamun Mukaram
dohena,
Tyang akawin
laki-rabi,
Utangan
ngalamatira
(Pakubuwana V, 2011: 163 – 164).
Jika
bulan Muharram jauhilah,
Untuk
perkawinan,
Karena
akan banyak utang.
Tembang sinom di atas
membuktikan fenomena yang terjadi pada masyarakat Jawa hingga kini. Pada bulan
Muharram (Sura) tidak ada masyarakat Jawa yang berani menikah atau menikahkan
anaknya. Konon, apabila seorang Jawa berani hajatan atau duwe gawe, seperti menyunatkan anaknya, menikah, dan menikahkan
anaknya pada bulan sura akan mengalami berbagai musibah secara beruntun.
Padahal pemahaman ini berbeda dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Dalam
mitologi Islam, bulan Muharram adalah salah satu bulan di mana umat Islam di
haramkan untuk berperang. Dalam Al- Quran surat At- Taubah,
ayat 37 Allah berfirman yang artinya:
Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu
adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan
mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan
mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan
bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang
diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang
buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir (Ali,
2005: 193).
Bulan “haram” pada ayat
di atas adalah Muharram, Rajab, Zulqaedah, Zulhijjah. Maksud dari ayat di atas
yaitu, pada keempat bulan tersebut umat Islam diharamkan untuk melakukan
peperangan. Jadi, masyarakat Jawa memahami kata peperangan ini sebagai perang
melawan hawa nafsu. Dari keempat bulan tersebut hanya Muharram yang disakralkan
oleh orang Jawa, karena konon pada saat bulan Muharram, cucu Rasulullah
(Husain) terbunuh di medan perang (lihat buku 101 soal perempuan karya Prof.
Dr. M. Quraish Shihab, hal. 109). Dari kejadian tersebut sebagian umat Islam
pada bulan Muharram menggelar ritual berkabung. Maka dari itu, pada bulan
Muharram atau Sura dalam bahasa Jawa, masyarakat Jawa banyak menggelar ritual-ritual
pribadi maupun sosial. Selain itu bulan Muharram merupakan awal tahun Islam dan
Jawa. Dimana dalam tataran Islam dianjurkan puasa sunnat Muharram dan pada
tataran kebudayaan Jawa, masyarakat Jawa berlaku prihatin (nglakoni), seperti pasa mutih, ngebleng, ngrawat, pasa pati geni, dsb. Hal ini bertujuan untuk
mendekatkan diri pada Yang Mahakuasa atau untuk mencapai kesempurnaan
spiritual. Dari sini, terjadi sinkretisasi antara ajaran Islam dengan
kebudayaan Jawa.
Selain itu, Serat
Centhini Jilid I memaparkan proses sinkretisasi Islam dalam hal hubungan suami
- istri (senggama). Pada jilid I hanya sedikit pemaparan, tetapi pada jilid IV
a suami – isteri dipaparkan lebih mendalam. Berikut Serat Centhini Jilid I Pupuh 30. Sinom, gatra 41, menjelaskan
tentang hari baik untuk bersenggama. Kutipannya sebagai berikut:
Lawan sira
sanggama,
Ing malam
jumungah becik,
Lamun dadi
sutanipun,
Apan sugih
kabisan,
Lan sanggamaa
sireki,
Sadurunge
lingsire dina jumungah (Pakubuwana V, 2011: 167).
Juga
jika kamu senggama
Pada
malam Jum’at, itu baik,
Siangnya
pun juga baik,
Karena
kalau jadi anakmu
akan
mempunyai banyak kebisaan,
dan
senggamalah kamu, sebelum lingsirnya matahari pada hari itu.
Selain
bulan Muharram, masyarakat Jawa juga menganggap bahwa hari atau malam jumat
adalah sakral. Tembang sinom di atas menjelaskan tentang hari baik untuk
berhubungan suami – isteri. Konon istilah ini mengacu kepada sabda Rasulullah
saw. Seperti yang diketahui, hingga kini masyarakat Jawa seringkali mengujarkan
bahkan menjalankan ritual hubungan suami - istri pada malam Jum’at. Biasa
didengar “Sunnat Rasul”. Dalam Al-Quran hari jumat memang istimewa, bahkan hari
jumat dijadikan nama salah satu surat, yaitu surat Al – Jumu’ah, dimana surat
tersebut menceritakan tentang hari pengutusan Muhammad sebagai Rasul.
Selain itu, Serat
Centhini juga memaparkan etika dalam berumah tangga. Dalam pupuh 34
Maskumambang, sebagai berikut:
Ngati-yati
nastiti gemi ing wadi,
Tan kirang
tuladha,
Utaminipun
pawestri,
Ngulad panengen
pangiwa.
Ingkang lebda
dudugi lawan prayogi,
Watara riringa,
Siang dalu kang
kaesthi,
Anut tuduhing
sudarma.
Bilih saged
kadya ingkang ulun angling,
Winiwitan
mangkya,
Sinau wisma
pribadi,
Piniha ngladosi
priya (Pakubuwana
V, 2011: 188 – 189).
Hati-hati,
teliti, dan pandai menyimpan rahasia,
Tidak
kekurangan teladan,
Pada
keutamaan perempuan,
Menoleh
ke kiri dan kanan,
Pandai-pandailah
mengira,
Bagaimana
baiknya,
Siang
dan malam yang kita turut,
Adalah
nasehat orang tua.
Bila
bisa sebagai yang aku katakan,
Dimulai
dari sejak dini,
Belajar
di rumah sendiri,
Bagaikan
kau melayani suamimu.
Hubungannya
isteri dengan suami, diajarkan oleh Jayengresmi kepada Niken Rohkanti, yaitu
jika kelak mempunyai suami hendaknya, rajin, menghindari perilaku cacat, jangan
menuruti keinginan pribadi, mendahulukan kebutuhan, dan segala sesuatu harus
dipertimbangkan dengan matang. Sehingga, tatanan hidup yang demikian akan
menciptakan kerukunan dalam berumah tangga. Dalam Al-Quran surat An-Nisaa’, ayat 34 Allah berfirman yang artinya:
Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka) (Ali, 2005: 84)
Sinkretisasi Islam
berlanjut pada pupuh 57. Asmaradana, gatra 4-5. Tembang asmaradana ini berpesan
tentang hari akhir (kiamat).Kutipannya sebagai berikut:
Yen prapta ing
jaman akir,
Sakehe umat
binagya,
Pan amung
saduman bae,
Kang pinasthi
aneng swarga,
Pinara
pitungdasa,
Pinasthi narakanipun,
tur padha sinungan lanat.
Kang ana sawarga
benjing,
Kang anut agama
Islam,
Pan lilima
pikukuhe,
Sadat salat
lawan siyam,
Jakat kalawan
pitrah,
Munggah kaji
limanipun,
Iku marga kang
sampurna (Pakubuwana
V, 2011: 349).
Jika
sampai pada jaman akhir,
semua
umat akan dibagi,
sebab
hanya akan sebagian saja,
yang
pasti berada di surga,
terbagi
menjadi tujuh puluh
pasti
menuju ke neraka,
dan
akan terkena laknat.
Yang
berada di surga kelak,
Yang
menganut agama Islam,
Dengan
lima aturannya,
Yakni
syahadat, shalat dan puasa,
Zakat
dan fitrah,
serta
naik haji yang kelima,
Itu
jalan kesempurnaan.
Doktrin
Islam melalui tembang asmaradana di atas menunjukan doktrin islam yang
dilakukan Raden Jayengresmi kepada para abdinya, yaitu Gathak dan Gathuk serta
Ki. Wargapati, hasilnya, mereka bertiga
semakin kukuh dalam ber-Islam. Gathak, Gathuk, dan Ki. Wargapati merupakan
tokoh yang sudah memeluk agama Islam, maka dari itu metode yang digunakan Raden
Jayengresmi untuk berdakwah menggunakan metode struktural, yaitu ajaran Islam
murni.
Pada
pupuh 64. Durma, gatra 9-10 (404) dan pupuh 66. Maskumambang, gatra 37-38 (422),
terjadi sinkretisasi antara ajaran Hindhu dengan ajaran Islam. Sinkretisasi ini
tentang tata cara mengurus orang yang meninggal. Di Jawa, orang yang meninggal
(Muslim atau non Muslim) dimandikan dengan air yang telah di isi tujuh pasang
bunga. Setelah dimandikan mayat tersebut dikubur membujur ke utara. Berikut
kutipan tembang durma dan maskumambang dalam Serat Centhini Jilid I.
Pupuh
64. Durma, gatra 9-10
Kalarung yen
ngemasi.
Mring bangawan
kali de
paliyasanya,
Layone densirami,
We sekar setaman (Pakubuwana V,
2011: 404).
Jika
meninggal jasadnya
dihanyutkan.
Di
sungai bengawan. Adapun penangkalnya
Jasad
disiram,
Dengan
air kembang setaman.
Pupuh
66. Maskumambang, gatra 37-38
Dene menawi
palastra.
Jisimmipun
kapetak wonten ing siti,
Yen madahab
Imam,
Sapingi
ujurireki,
Mangelar (Pakubuwana V,
2011: 422).
Adapun
jika meninggal,
Jenasahnya
dikubur di dalam tanah,
Jika
menurut Imam Syafei membujur
Ke
utara.
Dari
uraian kedua tembang di atas, masyarakat Jawa memadukan kedua ritual tersebut.
Seperti yang diketahui, sebelum dikubur seorang Jawa yang meninggal akan
disucikan (dimandikan) terlebih dahulu dengan air kembang setaman. Kembang
setaman tersebut antara lain bunga kanthil, bunga melati, bunga kenanga, bunga
mawar putih, dan bunga mawar merah. Setelah selesai dimandikan dan dikafani,
jenazah siap dimakamkan. Seperti kutipan pada tembang maskumambang di atas, dimakamkan
membujur ke utara, seperti yang dilakukan hingga kini.
Sinkretisasi juga
terjadi pada ritual selamatan (kenduri)
yang dilakukan masyarakat Jawa. Serat Centhini Jilid I memaparkan ritual
selamatan berdampingan dengan doa-doa yang dilantunkan umat Muslim. Pupuh 82.
Mijil, gatra 13-15 memaparkan hal tersebut. Kutipannya sebagai berikut:
Niken
Rancangkapti,
Tan na
kendellipun.
Denya mbujakrami
mring tatami,
Rahap ing
susugoh,
Lan kakungan ing
jawi tan pae,
Wusing katam
kendel sawatawis,
Tapuk shaman
dhikir,
Swaranya
gemuruh.
Nglebet njawi
sarampunging dhikir,
ambengan
lumados,
dinonganan
arempek amine,
pragad donga gya
bukti dumugi,
brekatan
rinakit,
piring cangkir
kriyuk.
(Pakubuwana V, 2011: 531).
Tak
ada hentinya.
Memberikan
hidangan para tamu,
Agar
nikmat merasakan jamuan.
Para
lelaki yang di luar demikian juga.
Selesai
pengajian, berhenti sejenak,
Kemudian
dzikir bersama,
Suaranya
bergemuruh.
Luar
dan dalam usai berdzikir,
Mendapatkan
ambengan kenduri,
Didoakan
dengan suara ‘amin’ serentak,
Usai
doa, kemudian mereka makan
berkatan
kenduri tertata rapi,
Piring,
cangkir, cerek tembikar.
Uraian
tembang mijil di atas membuktikan perpaduan antara kedua budaya (Hindhu-Islam).
Selamatan dari budaya Hindhu, sedangkan dzikir dari ajaran Islam. Hingga kini
kebanyakan masyarakat Jawa masih melestarikan sinkretisasi budaya tersebut.
Budaya selamatan, yasinan, tahlilan, atau dzikir bersama masih menghiasi
cakrawala kebudayaan Indonesia. Bahkan, sampai sekarang salah satu ormas Islam
di Indonesia masih menggunakan metode ini (kultural) untuk berdakwah. Ritual
selamatan merupakan peninggalan ajaran Hindhu yang telah menjamur pada
peradapan masyarakat Jawa. Misalnya, hari kelahiran, kematian, dan pernikahan. Suryadi
(1993: 14) menyatakan,
Seandainya
tradisi religi komunitas Jawa dikenal intensif dengan mengucapkan doa di dalam
kehidupan hariannya, maka pada hari-hari khusus dan vital mereka, yang meliputi
hari kelahiran, hari pernikahan, dan hari kematiannya, dengan sendirinya
intensitas doa akan meningkat pada waktu mereka menyelenggarakan kegiatan
ritus-ritus vital itu.
Metode dakwah tersebut
dianggap berhasil. Hal ini bisa dilihat dari jumlah penduduk Indonesia di
dominasi Muslim. Biarpun ada sebagian
masyarakat Muslim yang telah meninggalkan budaya-budaya tersebut dan mengubah
perilaku hidupnya sesuai ajaran Islam murni (Islam santri).
Selanjutnya, proses sinkretisasi terjadi pada ritual
nyekar. Nyekar berasal dari kata sekar
yaitu bunga. “Sekar” merupakan kata
benda, kemudian ditambah awalan “ny”
menjadi sebuah kata kerja. Ritual nyekar
adalah kegiatan untuk mengunjungi leluhur yang telah meninggal. Bunga yang
ditaburkan tidak seperti pada ritual pemandian jenazah. Tradisi nyekar merupakan peninggalan animisme
yang hingga kini masih dilakukan masyarakat Jawa untuk mendoakan arwah
leluhurnya. Pada Serat Centhini Julid I pupuh 20. Asmaradana, gatra 35-36, menjelaskan
tentang hal tersebut. Kutipannya sebagai berikut:
Sekar konyong amenuhi,
Dupanira dantan kendhat,
Tinengga
palawangane,
Gathak lan
Gathuk lon tatanya,
Kyai niku napa,
Jurukunci lon
sumaur,
Bagus niki
panyandranan.
Kang jaler nama
Kyai,
Estri nama Nyai
Gaprang,
Pan dadya
pakaulane,
Kang samya
aminta barkah,
Nyunyuwun ge
susuta,
Sarat lenggah
kalihipun,
Ngungkrake kyai
reca.
(Pakubuwana V, 2011: 96).
Bunga
boreh bertebar di sekitarnya.
Dupa
terus menyala,
Jurukunci
menunggui depan pintu.
Gathak
dan Gathuk bertanya pelan,
Kyai,
apakah itu?,
Jurukunci
menjawab,
Nak,
ini tempat peziarahan.
Yang
lelaki bernama Kyai Gaprang,
Yang
perempuan bernama Nyai Gaprang.
Tempat
berziarah ini,
Bagi
mereka yang meminta berkah,
Agar
mempunyai anak.
Syaratnya,
peziarah membelakangi
Patung
Kyai- Nyai Gaprang.
Bunga
boreh adalah bunga yang warnanya serba putih. Bunga tersebut antara lain mawar
putih, melati, kanthil dan juga ditambah dengan boreh, yakni parutan dlingo
dan
bengle yang kemudian
dicampur menjadi satu. Berdasarkan tembang
asmaradana di atas, kiranya pada zaman sekarang masih banyak umat Islam yang
melakukan ritual nyekar pada leluhur
maupun tokoh yang diagungkan. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dari
orang yang telah meninggal. Padahal dalam ajaran Islam, yang mencurahkan berkah
hanya Tuhan semata. Ritual-ritual nyekar
tersebut bisa dilihat di tempat-tempat walisanga dimakamkan.
Dari
pemaparan di atas dapat dilihat, bahwa kebanyakan masyarakat Muslim Jawa tidak
serta merta meninggalkan tradisi-tradisi dari nenek moyang mereka (animisme,
dinamisme, Budha, dan Hindu). Masyarakat Muslim Jawa yang masih mengagungkan
tradisi peninggalan nenek moyang disebut dengan Islam abangan. Sedangkan,
masyarakat Muslim yang telah meninggalkan tradisi peninggalan nenek moyang
disebut Islam santri. Lebih jelas Koentjaraningrat (1994: 312) memaparkan Islam
abangan atau Agama Jawi adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep
Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dan
diaku menjadi agama Islam. Sementara, Agama Islam santri lebih dekat pada
dogma-dogma Islam baku.
Demikian proses sinkretisme Islam
pada Serat Centhini Jilid I. Dapat dilihat pendekatan Islam menitik beratkan
pada tataran syariah sebagaimana yang dibawakan oleh walisanga maupun
pesantren. Unsur-unsur Islam ortodoks bercampur baur dengan tradisi dan mitos
tanah Jawa. Ajaran Islam tentang
berdzikir dapat diterima begitu saja tanpa membebani tradisi-tradisi dari
khazanah kebudayaan Jawa. Keduanya disandingkan begitu saja secara sinkretik
yang seolah antara faham monoteisme Islam dan faham paganisme Jawa tidak
terdapat pertentangan yang merisaukan.
SIMPULAN
Setelah diuraikan hasil
dari penelitian, maka dapat disimpulkan, bahwa Serat Centhini merupakan karya
sastra Jawa yang diciptakan setelah terjadinya kontak dari berbagai budaya.
Akibatnya, menghasilkan perpaduan antar budaya yang berbeda tersebut. Dalam Serat
Centhini Jilid I menceritakan tokoh-tokoh Islam menggunakan metode kultural
untuk berupaya mencari keselarasan (harmonisasi) dengan ajaran-ajaran
peninggalan dari khazanah Jawa, yaitu animisme, dinamisme, Budha, dan Hindu.
Dengan
demikian, Islam berusaha untuk menciptakan integrasi dengan ajaran-ajaran yang
telah lama membumi di tanah Jawa. Sinkretisme Islam yang terjadi dalam Serat
Centhini Jilid I antara lain, tentang tata cara pernikahan, senggama, hubungan
berumah tangga, selamatan, ziarah (nyekar),
dan tata cara mengurus orang yang telah meninggal. Pelaksanaan selamatan (pupuh
82. Mijil, gatra 13-15) merupakan
peninggalan tradisi Hindu-Jawa. Namun demikian di balik itu doa-doa (dzikir)
yang mengiringi menggunakan tata cara Islam.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat dilihat adanya propaganda dari tokoh-tokoh Islam dalam
penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa. Pola sinkretis yang di usung Islam ini
bertujuan untuk menarik simpati masyarakat untuk lebih memercayai Islam.
Terbukti Islam mendominasi masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia pada
umumnya. Di sisi lain, sinkretisme menjadikan tradisi masyarakat Jawa tetap
hidup dan berjalan dinamis dengan ajaran Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Al-Jumanatul. 2005. Al-Quran dan terjemahannya. Departemen Agama
RI. Bandung: J-Art.
Aminudin. 2008. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar baru Algesindo.
Danandjaja, James. 1997. Foklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan
lain-lain. Jakarta: Putaka Utama Grafiti.
Endraswara, Suwardi. 2003. Falsafah Hidup Jawa. Tangerang:
Cakrawala.
Kasnadi dan Sutejo. 2010. Kajian Prosa, kiat Menyisir Dunia Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Felicha dan Spectrum.
Koentjaraningrat.
1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Luxemburg,
Jan van dan Mieke Bal dan Willem G. Weststeijn. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan oleh Dick Hartoko. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Suryadi
AG, Linus. 1993. Regol Megal Megol,
Fenomena Kosmogoni Jawa. Yogyakarta: Andi Offset.
Mulder,
Neils. 1996. Kepribadian Jawa dan
Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Novia,
Windy. 2008. Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia. Surabaya: Kashiko.
Pakubuwana
V, Sri Susuhan. 2011. Serat Centhini
Jilid I. Dilatinkan dan
diterjemahkan oleh Sunardian Wirodono. Yogyakarta: Yayasan Wiwara.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. cetakan ke tujuh, cetakan pertama tahun 1995. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Shihab, M. Quraish. 2011. Membumikan Al-Quran Jilid 2. Jakarta: Lentera Hati.
Simuh.
1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi
Ranggawarsita. Jakarta: UI Press.
Sukada,
Made. 1987. Pembinaan Kritik Sastra
Indonesia. Bandung: Angkasa.
Sumaryono,
E. 1999. Hermeneutik. Yogyakarta:
Kanisius.
Suroso
dan Santosa. 2009. Estetika, Sastra,
Sastrawan, dan Negara. Yogyakarta: Pararaton.
Teeuw.
1988. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar
Teori Sastra, cetakan kedua. Jakarta: Pustaka Jaya dan Girimukti Pasaka.
Komentar