Religiusitas
Religiusitas
merupakan ekspresi spiritual manusia. Ekspresi spiritual dapat ditemukan pada
perilaku. Semakin matang kerohanian seseorang, maka perilakunya semakin lembut.
Berdasarkan hal tersebut, maka religiusitas dan spiritual berbeda. Religiusitas
merupakan praktik – orang Jawa menyebutnya laku.
Sedangkan, spiritual merupakan sifat. Sifat tersebut berimplikasi dengan
kejiwaan – kerohanian/batin. Dapat dikatakan bahwa spiritual berhubungan dengan
dimensi supranatural.
Religiusitas
berakar dari kata religius yang bermakna manusia yang patuh dan taat terhadap
perintah agama. Itas merupakan – sufiks pembentuk nomina – yang berarti
keadaan, tingkat, kualitas, intensitas. Berdasarkan hal tersebut, religiusitas
bermakna kualitas kerohanian untuk melaksanakan perintah agama, sekaligus
dengan penghayatannya. Menurut
Hakim (2004:4) religiusitas merupakan sikap hidup seseorang berdasarkan pada
nilai-nilai yang diyakininya. Orientasi dari religiusitas yaitu
kebahagiaan pihak lain. Paling tidak, seseorang yang religius tidak mengganggu
orang lain.
Agama
adalah prinsip kepercayaan kepada Tuhan yang di dalamnya terdapat
kewajiban-kewajiban (Novia, 2008:17). Maksudnya, kewajiban tersebut merupakan perintah
dan larangan yang berasal dari zat Yang Maha Tinggi yang tercantum dalam kitab
suci. Perintah dan larangan berfungsi untuk mengatur sistem yang ada di dunia.
Shihab (2011:56)
menyatakan “Apakah agama?” jangankan definisinya, makna kata ini pun diperselisihkan
para pakar. Ada yang berkata kata tersebut terambil dari bahasa Sansekerta,
yang terdiri dari kata “a” yang berarti “tidak” dan “gama” yang berarti
“kacau”. Agama adalah peraturan yang menghindarkan manusia dari kekacauan serta
mengantar mereka hidup dalam ketertiban dan keteraturan. Ada lagi yang berkata
ia berasal dari bahasa Indo – Germania, yang darinya lahir kata “go” dalam
bahasa Inggris, atau “gaan” dalam bahasa Belanda, dan “gein” dalam bahasa
Jerman, yang kesemuanya mengacu ke makna “jalan”. Penambahan huruf “a” pada
awal kata itu menjadikannya sebagai kata benda sehingga “agama” adalah “jalan”
yang mengantar pemeluknya menuju kebahagian duniawi dan ukhrawi.
Inti dari uraian
tersebut agama sebagai peraturan untuk manusia dalam menjalani kehidupan secara
teratur atau tidak semburat, agar menuai keselamatan. Di sisi lain, menurut
terminologi Jawa – agama berarti ageming
ati atau pakaian hati. Hal ini mengisyaratkan untuk mencapai sebuah
eksistensi di hadapan Sang Pencipta, manusia harus senantiasa memiliki tingkat
kebatinan (rasa) yang tinggi. Tingkat rasa manusia tersebut merupakan aplikasi
dari religiusitas.
Konsep
Religiusitas
Konsep
religiusitas meliputi, (a) Dimensi keyakinan; (b) Dimensi
praktik;
(c) Dimensi penghayatan;
(d) Dimensi pengetahuan;
dan (e) Dimensi pengalaman (Ancok dan Suroso, 2001: 77).
Dimensi keyakinan berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius
berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin
yang diyakini. Dimensi praktik mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal
yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen pada agama yang dianut. Dimensi
penghayatan berisi dan memperhatikan fakta bahwa semua
agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu. Dimensi pengetahuan
mengacu kepada harapan bahwa orang yang beragama
paling tidak memiliki pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, kitab suci
dan tradisi. Dimensi pengalaman mengacu identifikasi akibat-akibat keyakinan
keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari kehari.
Berdasarkan
hal tersebut, dapat diuraikan bahwa dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan akidah, dimensi praktik
agama disejajarkan dengan syariah dan dimensi pengalaman disejajarkan
dengan akhlak. Akidah secara etimologi yaitu
kepercayaan. Sedangkan secara terminologi disamakan dengan keimanan, yang
menunjukkan pada seberapa tingkat keyakinan seseorang terhadap kebenaran
ajaran-ajaran agamanya yang bersifat fundamentalis dan dogmatis.
Syariah merupakan peraturan-peraturan
yang mengatur hubungan langsung seorang dengan Tuhan dan sesama manusia, yang
menunjukkan seberapa patuh tingkat ketaatan seorang muslim dalam mengerjakan
kegiatan-kegiatan ritual keagamaan yang dianjurkan dan diperintahkan oleh
agamanya. Sedangkan akhlak,
menunjukkan pada seberapa
tingkatan manusia berperilaku yang dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi
dengan dunianya, terutama dengan sesama manusia.
Religiusitas
dalam Karya Sastra
Karya
sastra yang cenderung mengangkat religiusitas disebut juga dengan sastra
sufistik. Karya sastra yang digolongkan sebagai sastra sufistik merupakan ragam karya sastra yang mendapat pengaruh kuat dari
sastra sufi atau sastra tasawuf, termasuk sistem
pencitraan, penggunaan lambang, dan metafora (Hadi W.M., 1999). Sastra sufistik
mengandung nilai-nilai tasawuf dan pengalaman tasawuf serta mengungkapkan
kerinduan sastrawan terhadap Tuhan, hakikat hubungan makhluk dengan khalik, dan
perilaku yang tergolong dalam pengalaman religius. Jadi, sastra sufistik
mempunyai pertalian yang kuat dengan tasawuf dan sastra sufi. Keduanya itu
merupakan sumber ilham sastrawan dalam menciptakan karyanya.
Sastra sufistik dapat juga disebut
sastra transendental karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah
pengalaman transendental, seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal
dengan yang transenden. Pengalaman itu berada di atas pengalaman keseharian dan
bersifat supralogis (transenden,
sekaligus imanen). Transenden merupakan zat yang tidak
terbatas yang tidak dapat diselami dengan akal, melainkan hati. Sedangkan, imanen merupakan zat yang
bisa diselami oleh pikiran manusia. Keduanya merujuk pada Tuhan.
Contoh
Tuhan yang imanen ketika manusia
memberikan pernyataan yang God of the
Gaps, artinya Tuhan yang bergerak. Dari mana mereka tahu? Bukankah Tuhan
itu adalah sosok yang transenden.
Mengapa dengan sesukanya mereka mengatakan kalau Tuhan yang melakukan semua
itu? Bukankah itu sama saja membuat posisi Tuhan menjadi posisi imanen. Menurut beberapa pakar, agar
Tuhan dapat diselami dan dipikirkan – imanen
– maka diturunkan utusan (Nabi), Kitab,
dan mengirimkan sebagainya. Hal ini menunjukkan kalau Tuhan condong kepada
sosok yang Imanen.
Utusan
dan Kitab yang diturunkan memuat perintah-perintah yang tidak hanya perintah
untuk menyembah Tuhan, tetapi juga memberi tahu bahwa manusia merupakan makhluk
sosial. Intinya, manusia dianjurkan, bahkan diwajibkan untuk bekerjasama antara
satu dengan lainnya tanpa memandang perbedaan. Hal tersebut dalam religiusitas
disebut dengan profetik. Aplikasi
sastra profetik menekankan pada
kebaikan-kebaikan yang dilakukan manusia terhadap manusia lain atas dasar
perintah Tuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ancok
dan
Suroso. 2001. Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadi W.M., Abdul. 1999.
"Tuhan, Kita Begitu Dekat". Dalam Tergantung Pada Angin. Jakarta: Budaya Jaya.
Hakim, Atang A dan Mubarok. 2004. Metodologi Studi Islam.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Novia, Windy. 2008. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kashiko.
Shihab, M. Quraish. 2011. Membumikan Al-Quran Jilid 2. Jakarta: Lentera Hati.
Komentar