RAMADHAN, PUASA, DAN AKHLAK LUHUR


Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah:183).
“Marhaban Ya Ramadhan”. Kalimat tersebut yang biasa diucapkan atau didengar dalam konteks menyambut bulan Ramadhan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata “Marhaban” adalah ucapan selamat datang kepada seorang tamu yang dihormati. Pada mulanya kata Marhaban berarti sesuatu yang luas dan lapang. Seakan-akan seseorang yang mengucapkan Marhaban kepada tamu atau kepada siapa dan kepada apa saja menggambarkan bahwa hatinya lapang penuh kegembiraan menyambut kedatangannya. Maka dari itu kata Marhaban digunakan untuk menyambut bulan suci Ramadhan, dimana pada bulan tersebut banyak sekali keistimewan-keistimewaannya. Salah satunya ada malam yang lebih mulia dari malam seribu bulan.
Dari istilah Marhaban juga lahir makna tempat persinggahan untuk mengambil bekal, sekaligus tempat persinggahan untuk memperbaiki sesuatu. Manusia berjalan jauh menuju Allah membutuhkan bekal. Sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia ada sesuatu yang perlu diperbaiki, misalnya berbuat kesalahan baik disengaja maupun tanpa kesengajaan. Maka, Marhaban Ya Ramadhan. “Wahai Ramadhan kami siap di bulan ini untuk mengambil sebanyak mungkin bekal untuk kami pergunakan dalam perjalanan menuju Allah, dan dalam waktu yang sama kami siap memperbaiki apa yang rusak, meluruskan apa yang bengkok, dan menjernihkan apa yang keruh”. Marhaban Ya Ramadhan.
Ramadhan adalah tempat persinggahan untuk menempa diri melanjutkan perjalanan menuju Allah. Dalam usaha menempa diri tersebut manusia hendaknya belajar berserah diri kepada Allah. “(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. Al-Baqarah:112). Keberserahan diri akan memperkuat iman manusia yang sekaligus memperteguh jalannya menuju Allah. Maka dari itu, Ramadhan merupakan tempat paling strategis untuk memperbaiki akhlak dan keimanan.
Rasulullah Muhammad saw bersabda “Ummu Junnah”(HR. Ahmad), yang artinya Puasa adalah perisai. Hal tersebut dapat dipertemukan makna perisai dengan akhlak yang luhur. Manusia dalam kehidupannya banyak mengalami aneka gangguan dan godaan. Ada godaan setan dan ada juga rayuan nafsu. Setan selalu berusaha untuk merugikan manusia atau paling tidak menjadikan manusia tidak beruntung. Setan yang menjadikan hal-hal buruk menjadi indah, sehingga manusia melihatnya menjadi indah. Adapun nafsu, yakni sesuatu yang tidak pernah puas, kecuali dengan memperoleh apa yang diharapkannya. Keburukan nafsu dan setan tersebut dapat ditampik dengan puasa. Dari sini bisa dikatakan, puasa merupakan perisai dan menjadi pertahanan dan ketahanan untuk manusia menghadapi aneka rayuan dan godaan itu. Puasa adalah ketahanan pribadi, ketahanan keluarga, ketahanan masyarakat, bahkan menjadi ketahanan bangsa dan Negara. Manusia yang mengendalikan nafsunya yang mengenyahkan rayuan setan akan selalu memiliki akhlak yang luhur.
Ciptakan suasana yang baik, maka kita akan mendapatkan hasil yang baik. Jauhkan diri dari suasana yang buruk, maka kita akan terhindar dari keburukan, karena akhlak merupakan hasil dari lingkungan seseorang, lingkungan suatu keluarga, dan lingkungan masyarakat. Ketika Nabi saw mengajarkan untuk ber-akhlak luhur dijadikannya antara lain, tuntunan-tuntunan agama terbaca dan terpraktikkan di dalam suatu lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, agar semua memiliki karakter dan kepribadian yang utuh. Ramadhan merupakan momentum yang tepat untuk menciptakan suasana kondusif dengan berbicara kepada keluarga, kepada anggota masyarakat tentang nilai-nilai agama dan upaya mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, Ramadhan juga sebagai tempat untuk mengembangkan akal, agama, rasa maulu, dan amal shalih. Pelihara dan kembangkan akal, karena dengan berkembangnya akal akan memberikan batasan-batasan pada kehidupan. Pelihara dan kembangkan agama, sehingga akan memberikan tuntunan menuju Allah. Pelihara dan kembangkan rasa malu, karena dengan hal tersebut akan memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam mengambil keputusan. Terakhir, pelihara dan kembangkan amal shalih, sehingga dengan demikian akan banyak memberikan solusi-solusi tentang permasalahan hidup. Dengan berakal kita memiliki batasan hidup, serta hadirnya ilmu akan menyempurnakan akal. “Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu,” (QS. Ath-Thalaaq:10). Marhaban Ya Ramadhan.

Sidoarjo. 14 Mei 2016.

Komentar