PESONA DIKSI DAN POLA PERSAJAKAN KESIUR DARI TIMUR KARYA TIMUR SINAR SUPRABANA


A.    Latar Belakang
            Karya sastra diciptakan untuk dinikmati, diapresiasi, dan bahkan dikritik. Penulis karya sastra memiliki cara dalam mengemukakan gagasan dan gambarannya untuk menghasilkan efek-efek tertentu bagi pembacanya, Secara manyeluruh, peneliti karya sastra dapat menggunakan berbagai pendekatan maupun teori yang sudah disediakan oleh para pakar. Pendekatan dan teori tersebut berperan untuk membantu menganalisis dan memberikan gambaran secara lengkap bagaimana nilai sebuah karya sastra diungkapkan.
            Nurgiyantoro (2010:272) mengatakan bahwa sastra, khususnya fiksi, selain disebut sebagai dunia dalam kemungkinan, juga dikatakan dunia dalam kata. Hal itu disebabkan dunia yang diciptakan, dibangun, ditawarkan, dan sekaligus ditafsirkan dengan kata-kata atau bahasa. Apapun yang akan dikatakan penulis karya atau sebaliknya ditafsirkan oleh pembaca, mau tak mau harus bersangkut-paut dengan bahasa.
Dari uraian tersebut jelas, bahwa bahan karya sastra adalah bahasa yang sudah berisi nilai. Berbeda dengan karya seni lain seperti seni musik dan seni lukis yang mempunyai medium netral dalam arti belum mempunyai arti atau konvensi. Bahasa sudah mempunyai sistem dan konvensi sendiri sehingga disebut semiotik tingkat pertama.
Wellek dan Warren (dalam Sutejo dan Kasnadi, 2009:165) menyatakan bahwa fenomena bahasa sastra merupakan bahasa yang mengandung unsur emotif yang bersifat konotatif. Sebagai kebalikan dari bahasa nonsastra khususnya bahasa ilmiah yang rasional dan denotatif. Walaupun demikian, pada dasarnya bahasa sastra tidak secara mutlak menyaran pada makna konotatif tanpa melibatkan sama sekali makna denotatif. Penuturan demikian akan tidak memberi peluang kepada pembaca untuk memahaminya. Pemahaman pembaca, bagaimanapun akan mengacu dan berangkat dari makna denotatif sebagai dasar pijakan.
Formalis Rusia merumuskan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang mempunyai ciri deotomatisasi yakni penyimpangan dari cara penuturan yang bersifat otomatis, rutin, biasa, dan wajar. Penuturan dalam sastra selalu diusahakan dengan cara lain, cara baru atau cara yang belum pernah dipergunakan orang. Penggunaan bahasa kias merupakan salah satu bentuk penyimpangan. Namun hal ini bukan merupakan ciri khas bahasa sastra sebab dalam penuturan nonsastrapun banyak dipergunakan.
Menurut Luxemburg (dalam Nurgiantoro, 2010:274), penggunaan bahasa kiasan sehari-hari bertujuan mempercepat pengertian, misalnya penggunaan ungkapan-ungkapan yang telah lazim. Sebaliknya, pemakaian konotatif dalam sastra bertujuan memperlambat pemahaman karena bentuk yang dipergunakan baru dan lain dari biasanya.
Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian atau konvensi dari masyarakat. Bahasa sastra menjadi media utama untuk mengekspresikan berbagai gagasan sastrawan. Untuk menyampaikan berbagai gagasan kepada pembaca, bahasa sastra diperdayakan dan dieksploitasi oleh sastrawan sedemikian rupa. Bahasa yang digunakan dalam puisi cenderung menyimpang dari kaidah kebahasaan, bahkan menggunakan bahasa yang dianggap aneh dan khas tetapi unik.
Dalam konteks itulah style ‘gaya bahasa’ memegang peran penting dalam karya sastra guna menciptakan efek makna tertentu dalam rangka mencapai efek estetik. Karya sastra merupakan karya imajinatif bermediumkan bahasa yang fungsi estetiknya dominan. Untuk memperoleh keefektivan pengungkapan, bahasa dalam sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan didayagunakan secermat mungkin sehingga tampil dengan bentuk yang plastis yang berbeda dengan bahasa nonsastra.
Tulisan ini akan menelaah salah satu kumpulan puisi karya Timur Sinar Suprabana yang berjudul Kesiur Dari Timur. Kesiur Dari Timur merupakan kumpulan puisi yang  ditulis dengan struktur kebahasaan yang tidak sederhana atau tidak mudah dipahami seperti bahasa sehari-hari, karena Kesiur sendiri bermakna desing atau lintasan angin. Kata tersebut terasa asing di telinga orang awam.
Kesiur Dari Timur merupakan salah satu kumpulan puisi yang sarat unsur stilistika. Di dalamnya ditemukan berbagai gaya bahasa yang memiliki  makna yang tersirat. Salah satu contoh gaya bahasa yang terdapat dalam Kesiur Dari Timur adaalah gaya bahasa personifikasi. Gaya bahasa personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.
Selain gaya bahasa, kumpulan puisi Kesiur Dari Timur juga menggunaan pilihan kata yang sangat menarik perhatian pembaca. Pilihan kata yang digunakan antara lain kosakata bahasa indonesia yang jarang digunakan, kosakata bahasa jawa, dan ungkapan.

B.     Analisis
1.      Gaya Bahasa
a)      Asidenton
Gaya bahasa banyak digunakan dalam teks sastra karena akan menghidupkan makna, memberi citraan yang khas, membuat gambaran yang lebih jelas, serta membuat kalimat-kalimat lebih dinamis dan hidup.
Gaya bahasa berkaitan dengan uraian kalimat puisi. Kepadatan kalimat dan bentuk yang ekspresif sangat diperlukan dalam karya sastra khususnya puisi. Hal itu mengingat bahwa dalam puisi hanya inti gagasan atau pengalaman batin yang dikemukakan. Gaya kalimat yang terdapat dalam puisi menggunakan gaya kalimat implisit.
sedih
matamu, wahai
betapa merindu lambai
betapa mendamba gapai

sampai hati memburai
hingga angin henti menderai

lunglai (Suprabana, 2012:54).
Kepadatan kalimat dengan gaya implisit terdapat pada bait 1 baris kedua /betapa merindu lambai/. Pada baris kedua bait 1 terdapat kata yang diimplisitkan yakni kata (engkau) betapa merindu lambai/. Pada bait 2 baris pertama / sampai hati memburai/, terdapat kata yang diimplisitkan yakni kata /sampai hati (ikut) memburai/.
kata
kata Datang kepadaku. bertanya
:tahukah kau. o. Siapa menghuni tanda baca
justru ketika kau mengembarai huruf-huruf
yang kekal
yang selalu gagal melupa Cinta

tahukah kau
o, Siapa? (Suprabana, 2012:33).
Kepadatan kalimat dengan gaya implisit terdapat pada bait 1 baris pertama /kata Datang kepadaku. bertanya/. Kata yang diimplisitkan yaitu “dan”. /kata Datang kepadaku (dan) bertanya/. Pada baris kedua bait kedua terdapat kata yang diimplisitkan yakni kata o, (engkau) Siapa/.
Berdasarkan uraian tersebut, gaya bahasa yang digunakan penyair adalah asindeton. Asindeton adalah gaya yang berupa acuan yang bersifat padat dan mampat yaitu beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung.

b)     Personifikasi
Personifikasi atau Prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.
patah hati ini terasa Kekal, ma
di sini, ma
di jiwa sungguh
semata sepi kosong hampa
kuhela badan, tubuh, dan
diri masih selalu kecinta
yang bukankah tapi mengapa
senantiasa kau pedaya.

kerna cinta senara kau pedaya
bahkan luka ikut pula kembali terluka
sampai jam penanggalan,
masa hilang warna
tanpa rona.

kutulis sajak tanda aku masih di sini
kutulis puisi tanda aku masih kegerak
di sini, ku pinang hati
kegerak kujahit koyak.

tak ada sungguh
benar-benar bisa bikin aku lumpuh
tak juga lepuh yang
memperlambat tumbuh.

bulan pecah badan
teka-teki pengharapan
terpeta di garis tangan
engkau risau menafsir galau
tak titis kerna silau.

aku di sini beku
mengayu kaku
di kanji waktu
itulah sebab
mengapa kini kita percuma.

seperti purnama
mengapung, lembayung
dengan sinar murung
itulah sebab
kenapa kita berprasangka
kenapa kita sewajah bola lampu sebul
dari Persia
dengan liuk saling belit
membikin sisa udara
di selanya tak henti
menjerit!

Ma, di mana kini engkau, o mata
di mana kini engkau, o paras jelita
di mana kini engkau, o yang tiada
bisa ku lupa.

patah hati ini terasa kekal, Ma

sedih meredup liyup
pedih melurup sayup
tiap pengin ku tahu
bahkan kertap lindap
niarap penyap di sebalik
helai senyap.

benarkah engkau hilang
karena sesaat sesat di bimbang
atau akukah yang centang perentang
sebab di rentang ke titik tiap bintang.

sungguh jauh kini
jarak hati dan janji
sungguh pasi kini
tanpa kibar panji-panji.

maka, berulang kuhitung iga
berharap masih bakal engkau penggenapnya
tetapi jemariku lumpuh di hitungan ketiga
dan malam masih saja selalu menelikung senja.

aku tergulung, mimpes
sisa rona penghabisannya
sampai bahkan
bunga-bunga ikut merana (Suprabana, 2012: 100-102)
Kalimat yang dicetak tersebut merupakan kalimat yang mengandung gaya bahasa personifikasi. Misalnya, luka ikut pula kembali terluka, sampai jam penanggalan, masa hilang warna tanpa rona. Kata luka merupakan kata sifat yang pada puisi tersebut dihidupkan sebagai yang merasakan  terluka. Kemudian, kalimat seperti purnama, mengapung, lembayung dengan sinar murung. Purnama atau bulan sebagai benda mati diibaratkan seperti mahkluk hidup yang bisa murung.
Kalimat sisa udara di selanya tak henti menjerit, juga mengibaratkan udara sebagai mahkluk hidup yang bisa menjerit. Kalimat malam masih saja menelikung senja, mengibaratkan malam bertindak seperti manusia yang bisa berbuat sesuatu terhadap suatu hal. Terakhir, bunga-bunga ikut merana juga mengibaratkan bunga seperti manusia yang bisa merasakan kesedihan.

2.      Pilihan Kata
Diksi atau pilihan kata adalah kata-kata yang dipakai untuk menyampaikan gagasan secara tepat, sesuai, dan mewakili perasaan yang ingin disampaikan kepada orang lain serta memperoleh nilai rasa dan efek makna tertentu dari kelompok masyarakat pembaca atau pendengar. Diksi yang baik berhubungan dengan pemilihan kata yang bermakna tepat dan selaras, yang penggunaannya cocok dengan pokok pembicaraan, peristiwa, dan khalayak pembaca atau pendengar.
Pemakaian kosakata yang dipergunakan dalam kumpulan puisi Kesiur Dari Timur karya Timur Sinar Suprabana banyak jenisnya. Penggunaan diksi atau pilihan kata yang banyak terdapat dalam kumpulan puisi tersebut  antara lain: (1) Kosakata bahasa Indonesia (kata-kata yang jarang terdengar dalam pembicaraan umum di masyarakat), (2) Kosakata bahasa Jawa, (3) Ungkapan.
a)      Kosakata Bahasa Indonesia (kata-kata yang jarang terdengar dalam pembicaara umum di masyarakat)
sendiri
sendiri, diam-diam, pelan-pelan
dia punguti jejak-jejak perasaan cinta
yang tak kunjung menemu saat kapan
bisa terutara dengan mesra

: apa lagikah yang masih hendak kau kata
jika bahkan dedaun di beranda
dan bunga-bunga yang mekar di mata
tak lagi asing bersenda

lalu angin lekap di jendela kaca
hingga cuaca tak terbaca
dan segala yang terperam
pelahan mulai lebam

sungguh sunyi, bisikmu,
ketika Rindu tersedu
air matanya leleh Ungu
: di kalbu

menyembilu! (Suprabana, 2012:17).
Puisi tersebut ada beberapa kata yang menggunakan bahasa Indonesia jarang terdengar di masyarakat secara umum. Kata yang dicetak tebal, antara lain terutara bermakna menyampaikan sesuatu hal. Kata yang lazim didengar masyarakat adalah menyampaikan. Kalimat pada bait 1 baris keempat bisa digantikan /bisa menyampaikan dengan mesra/. Apabila kalimat tersebut demikian, maka masyarakat awam dapat memahami.
Kata beranda jarang terdengar di masyarakat, padahal kata tersebut merupakan bahasa Indonesia. Beranda adalah ruang beratap dan terbuka di depan rumah, atau biasa di sebut teras. Teras diganti kata beranda bertujuan untuk memperindah kalimat.
Bersenda mempunyai kata dasar senda yang mendapatkan imbuhan be-. Senda mempunyai arti canda, kelakar, seloroh, olok-olok, dan sebagainya. Kata senda biasanya diikuti oleh kata gurau, tetapi dalam puisi tersebut kata senda berdiri sendiri. Hal tersebut yang menyebabkan kata senda asing dibaca dan didengar.
Kata terperam jarang didengar oleh masyarakat awam. Kata tersebut berasal dari kata peram yang mempunyai arti simpan atau sembunyi. /dan segala yang terperam/ dapat diganti dengan /dan segala yang tersimpan atau tersembunyi/. Kata tersimpan dan tersembunyi lebih populer ditelinga masyarakat daripada kata terperam.
Kata menyembilu mempunyai kata dasar sembilu yang bermakna tajam. Kata sembilu biasanya menggambarkan sesuatu yang tergores atau tersayat. Kata tersebut jarang terdengar di masyarakat. Walaupun demikian, kata-kata yang sulit dimengerti oleh masyarakat awam tersebut memberikan efek magis yang pada akhirnya memunculkan keindahan. Mengerti atau tidak pembaca awam akan bergembira membaca pilihan kata tersebut.

b)     Kosakata Bahasa Jawa
Timur Sinar Suprabana seringkali menggunakan bahasa Jawa untuk puisi-puisinya. Tujuannya adalah alasan keindahan. Kata yang diambil dari bahasa Jawa terkesan menggelitik, klasik, dan indah. Berikut datanya.
di angin
-------------------
-------------------
kekasih
kekasih
jangan kita Pernah saling Sapih
karena Pisah pasti Sedih

kekasih
kekasih
kekasih
kekasih

langit, laut udara pun nggetih (Suprabana, 2012: 26).
Puisi tersebut ada dua penggunaan bahasa Jawa, yaitu Sapih dan Nggetih. Sapih mempunyai arti menyarak atau menghentikan anak menyusu ibunya. Inti dari kata sapih adalah menghentikan. Sedangkan kata nggetih dapat bermakna berdarah-darah. Dua kata tersebut berasal dari bahasa Jawa yang kemudian dikombinasikan dengan bahasa Indonesia melalui puisi tersebut.
tentang jejak
-------------------
-------------------
di rumah Singgah
di mana lelah dan gundah
akhirnya memilih lenggah,
tersenyum, dan pelahan musnah,
bila kulihat angin saat mendesah
: belukar dan semak sumringah (Suprabana, 2012: 15)
Kata lenggah dan sumringah berasal dari bahasa Jawa. Lenggah mempunyai arti duduk, dan sumringah mempunyai arti berbunga-bunga atau bahagia. Dua kata tersebut dimasukkan untuk memperindah kalimat dan kebutuhan bunyi. Dua kata tersebut diakhiri dengan konsonan “h”, untuk melengkapi kata akhir tiap baris dalam puisi tersebut.
c)      Ungkapan
Ungkapan merupakan bagian dari peribahasa selain bidal dan perumpamaan. Peribahasa itu sendiri merupakan kelompok kata atau kalimat yang  tetap susunannya dan biasanya mengiaskan maksud tertentu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1246), ungkapan adalah apa-apa yang diungkapkan;  kelompok kata atau  gabungan dua kata atau lebih yang menyatakan makna khusus (makna unsur-unsurnya seringkali menjadi kabur, maknanya  tidak dapat diturunkan dari makna kata-kata yang membentuknya).
Ungkapan dalam puisi kumpulan Kesiur Dari Timur karya Timur Sinar Suprabana sebagai berikut.
keheningan
aku sudah berulang coba tidak saja mengisyaratkannya
terhadapmu melainkan bukankah bahkan
menjelaskannya
sembari menyorotkan lampu senter itu ke tiap huruf
dan tanda baca dengan sabar serta bahkan kerap kali
sambil
menahan napas – tapi engkau tak mengerti juga
dan ketika akhirnya kau pun tahu tetap saja
menyangkalnya
serta selalu pura-pura tak paham (Suprabana, 2012:115).
Puisi tersebut merupakan ungkapan kekesalan penyair terhadap seseorang atau bahkan golongan. Kekesalan tersebut disebabkan, tidak mengertinya seseorang walaupun sudah dijelaskan dengan gamblang. Di samping itu, penyair juga menjelaskan bahwa walaupun seseorang tersebut sudah mengerti tetapi tetap pura-pura tidak paham.
akhirnya
------------
------------
pandang matamu
hembus nafasmu
pergi
meragi

apakah aku akan masih merindukanmu?
apakah aku akan tetap mencintaimu?
kemesraan jadi semak belukar bagi ingatan
ciuman-ciuman jadi rasa kebas di perasaan (Suprabana, 2012:141).
Melalui puisi tersebut, penyair mengungkapkan kerinduan kepada seseorang. Kerinduan tersebut bisa untuk kekasih, teman, keluarga, atau bahkan kerinduan akan Tuhan. Representasi kerinduan di tangan penyair diolah menjadi sebuah puisi yang indah.

3.      Persajakan
Ada lima pola persajakan, antara lain (a) Rima silang yaitu persamaan bunyi akhir dengan pola [ab ab]; (b) Rima sama yaitu persamaan bunyi akhir dengan pola [aa aa]; (c) Rima berpasangan yaitu persamaan bunyi akhir dengan pola [aa bb]; (d) Rima berpeluk yaitu persamaan bunyi akhir dengan pola [ba ba]; dan (e) Rima patah atau rusak yaitu rima yang polanya selain pola di atas dengan jumlah yang berbeda.
a)      Pola ab ab
empat puluh menit selepas pukul 12 siang
masih Juga kau Ternyata
di Taman
seperti memasrahkan pandang mata
pada tebaran gugus mega di kejauhan
: jelita
dipenuhi Harapan (Suprabana, 2012:29).
patah hati ini terasa Kekal, ma
kutulis sajak tanda aku masih di sini
kutulis puisi tanda aku masih kegerak
di sini, ku pinang hati
kegerak kujahit koyak (Suprabana, 2012:101).

Dua puisi di atas memiliki pola persajakan ab ab. Pada puisi pertama kalimat pertama, ketiga, dan kelima diakhiri vokal “a” dan kalimat kedua, keempat, dan keenam diakhiri konsonan “n”. Pada puisi kedua kalimat pertama dan ketiga diakhiri vokal “i” dan kalimat kedua dan keempat diakhiri konsonan “k”.

b)     Pola Persajakan aa aa
tentang jejak
sedih gembira
pernah bicara
duka lara
tiada yang tak terkira
tiap perkara
jadi Kejora (Suprabana, 2012:15).

sedih
matamu, wahai
betapa merindu lambai
betapa mendamba gapai

sampai hati memburai
hingga angin henti menderai

lunglai (Suprabana, 2012:54).
Dua puisi di atas memiliki pola persajakan aa aa. Pada puisi pertama semua huruf akhir pada kalimat adalah “a”. Pada puisi kedua semua huruf akhir kalimat adalah “i”.
c)      Pola Persajakan aa bb
baca
bahkan hingga yang Bukan kata
o, semua kau Ternyata
: kekasih
: Kekasih

bahkan beta Juga
o, dikau pula
: kekasih
: Kekasih (Suprabana, 2012:121).
Kumpulan puisi dengan jumlah 126 puisi hanya ditemukan satu puisi yang memiliki pola aa bb, yaitu puisi dengan judul “baca”. Puisi tersebut pada bait pertama dan kedua memiliki pola yang sama. Baris pertama dan kedua diakhiri huruf “a”, sedangkan baris ketiga dan keempat diakhiri huruf “h”.
d)     Pola Persajakan ba ba
sendiri
sendiri, diam-diam, pelan-pelan
dia punguti jejak-jejak perasaan cinta
yang tak kunjung menemu saat kapan
bisa terutara dengan mesra (Suprabana, 2012:17).
Pola persajakan ba ba dalam kumpulan puisi Kesiur Dari Timur ditemukan puisi dengan judul “sendiri”. Pada puisi tersebut baris pertama dan ketiga diakhiri konsonan “n” dan baris kedua dan keempat diakhiri vokal “a”.
e)      Pola Persajakan Patah/Rusak
Kumpulan puisi Kesiur Dari Timur karya Timur Sinar Suprabana banyak memiliki pola persajakan patah atau rusak. Persajakan tersebut merupakan pola rima yang tidak beraturan atau tidak sama dengan kaidah puisi model lama, seperti Balai Pustaka, Pujangga Baru, maupun angkatan 45. Berikut penulis akan memaparkan satu puisi dari sekian banyak puisi yang memiliki pola persajakan patah atau rusak. Hal tersebut disebabkan, puisi dengan judul “tanpa rasa Pedih” dapat mewakili.
tanpa rasa Pedih
telah kuhapus kau dari mengapa aku mencintaimu
barangkali dengan perasaan seperti bagaimana guru
membusak soal-soal uraian di papan tulis dalam kelas
menjelang berganti jam pelajaran dari sastra ke matematika

telah kuseka dengan telapak tangan gemetar
menggenggam penghapus dengan sisa tenaga penghabisan
yang memuncat lunglai di lengan yang tiba-tiba tak bertulang
kerna betapapun jauh kutempuh tiada yang bakal tergayuh

telah kuhapus
telah kuhapus
sebelum benar-benar pupus
kerna terhadapmu aku ini Cinta yang tak sanggup jika mesti layu

seperti selada di piring gado-gadomu yang Dulu (Suprabana, 2012:52).
Pola persajakan puisi di atas termasuk dalam pola persajakan patah, karena huruf terakhir dari tiap bait dan baris tidak beraturan. Pada puisi tersebut tidak menampilakan pola persajakan ab ab, aa aa, aa bb, dan ba ba.
C.    Simpulan
Berdasarkan analisis, hanya dua gaya bahasa yang diungkapkan, yaitu asidenton, dan personifikasi.  Gaya bahasa asidenton ditemukan dalam puisi “sedih” dan “kata”. Gaya bahasa personifikasi ditemukan dalam puisi berjudul “patah hati ini terasa Kekal, ma”.
Pilihan kata dari penyair yang diungkap pada analisis ini, antara lain bahasa Indonesia yang jarang didengar oleh masyarakat awam, bahasa Jawa, dan bahasa ungkapan. Pilihan kata bahasa Indonesia yang jarang didengar oleh masyarakat awam ditemukan dalam puisi berjudul “sendiri”, sedangkan puisi yang menggunakan bahasa Jawa berjudul “tentang jejak”. Pilihan kata sebagai bahasa ungkapan ditemukan dalam puisi berjudul “keinginan”.
Pola persajakan, antara lain ab ab, aa aa, aa bb, ba ba, dan pola persajakan patah. Pola persajakan ab ab ditemukan pada puisi berjudul “empat puluh menit selepas pukul 12 siang” dan “patah hati ini terasa Kekal, ma”. Pola persajakan aa aa ditemukan dalam puisi berjudul “tentang jejak, dan “sedih”. Pola persajakan aa bb ditemukan dalam puisi berjudul “baca”. Pola persajakan ba ba ditemukan dalam puisi berjudul “sendiri”, dan pola persajakan patah ditemukan dalam puisi berjudul “tanpa rasa Pedih”.

Daftar Pustaka
Depdiknas. 2005. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Kasnadi dan Sutejo. 2010. Kajian Prosa: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Felicha.
Suprabana, Timur Sinar. 2012. Kesiur Dari Timur. Yogyakarta: Katakita.

Komentar