A.
Latar
Belakang
Karya sastra diciptakan untuk dinikmati,
diapresiasi, dan bahkan dikritik. Penulis karya sastra memiliki cara dalam
mengemukakan gagasan dan gambarannya untuk menghasilkan efek-efek tertentu bagi
pembacanya, Secara manyeluruh, peneliti karya sastra dapat menggunakan berbagai
pendekatan maupun teori yang sudah disediakan oleh para pakar. Pendekatan dan
teori tersebut berperan untuk membantu menganalisis dan memberikan gambaran
secara lengkap bagaimana nilai sebuah karya sastra diungkapkan.
Nurgiyantoro (2010:272)
mengatakan bahwa sastra, khususnya fiksi, selain disebut sebagai dunia dalam
kemungkinan, juga dikatakan dunia dalam kata. Hal itu disebabkan dunia yang
diciptakan, dibangun, ditawarkan, dan sekaligus ditafsirkan dengan kata-kata
atau bahasa. Apapun yang akan dikatakan penulis karya atau sebaliknya
ditafsirkan oleh pembaca, mau tak mau harus bersangkut-paut dengan bahasa.
Dari uraian tersebut jelas, bahwa bahan karya sastra
adalah bahasa yang sudah berisi nilai. Berbeda dengan karya seni lain seperti
seni musik dan seni lukis yang mempunyai medium netral dalam arti belum
mempunyai arti atau konvensi. Bahasa sudah mempunyai sistem dan konvensi
sendiri sehingga disebut semiotik tingkat pertama.
Wellek
dan Warren (dalam Sutejo dan Kasnadi, 2009:165) menyatakan bahwa fenomena
bahasa sastra merupakan bahasa yang mengandung unsur emotif yang bersifat
konotatif. Sebagai kebalikan dari bahasa nonsastra khususnya bahasa ilmiah yang
rasional dan denotatif. Walaupun demikian, pada
dasarnya bahasa sastra tidak secara mutlak menyaran pada makna konotatif tanpa
melibatkan sama sekali makna denotatif. Penuturan demikian akan tidak memberi
peluang kepada pembaca untuk memahaminya. Pemahaman pembaca, bagaimanapun akan
mengacu dan berangkat dari makna denotatif sebagai dasar pijakan.
Formalis Rusia merumuskan bahwa bahasa sastra adalah
bahasa yang mempunyai ciri deotomatisasi
yakni penyimpangan dari cara penuturan yang bersifat otomatis, rutin, biasa,
dan wajar. Penuturan dalam sastra selalu diusahakan dengan cara lain, cara baru
atau cara yang belum pernah dipergunakan orang. Penggunaan bahasa kias
merupakan salah satu bentuk penyimpangan. Namun hal ini bukan merupakan ciri
khas bahasa sastra sebab dalam penuturan nonsastrapun banyak dipergunakan.
Menurut Luxemburg (dalam Nurgiantoro, 2010:274), penggunaan
bahasa kiasan sehari-hari bertujuan mempercepat pengertian, misalnya penggunaan
ungkapan-ungkapan yang telah lazim. Sebaliknya, pemakaian konotatif dalam
sastra bertujuan memperlambat pemahaman karena bentuk yang dipergunakan baru
dan lain dari biasanya.
Bahasa dalam karya
sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian
atau konvensi dari masyarakat. Bahasa
sastra menjadi media utama untuk mengekspresikan berbagai gagasan sastrawan.
Untuk menyampaikan berbagai gagasan kepada pembaca, bahasa sastra diperdayakan
dan dieksploitasi oleh sastrawan sedemikian rupa. Bahasa
yang digunakan dalam puisi cenderung menyimpang dari kaidah kebahasaan, bahkan
menggunakan bahasa yang dianggap aneh dan khas tetapi unik.
Dalam konteks itulah style ‘gaya bahasa’ memegang peran
penting dalam karya sastra guna menciptakan efek makna tertentu dalam rangka
mencapai efek estetik. Karya sastra merupakan karya imajinatif bermediumkan
bahasa yang fungsi estetiknya dominan. Untuk memperoleh keefektivan
pengungkapan, bahasa dalam sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan
didayagunakan secermat mungkin sehingga tampil dengan bentuk yang plastis yang
berbeda dengan bahasa nonsastra.
Tulisan ini akan menelaah salah satu kumpulan puisi
karya Timur Sinar Suprabana yang berjudul Kesiur
Dari Timur. Kesiur Dari Timur merupakan kumpulan puisi yang ditulis dengan struktur kebahasaan yang tidak
sederhana atau tidak mudah dipahami seperti bahasa sehari-hari, karena Kesiur sendiri bermakna desing atau lintasan angin. Kata
tersebut terasa asing di telinga orang awam.
Kesiur Dari Timur merupakan salah satu kumpulan
puisi yang sarat unsur stilistika. Di dalamnya ditemukan berbagai gaya bahasa
yang memiliki makna yang tersirat. Salah
satu contoh gaya bahasa yang terdapat dalam Kesiur Dari Timur adaalah gaya bahasa
personifikasi. Gaya bahasa personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan
benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki
sifat kemanusiaan.
Selain gaya
bahasa, kumpulan puisi Kesiur Dari Timur
juga menggunaan pilihan kata yang sangat menarik perhatian pembaca. Pilihan
kata yang digunakan antara lain kosakata bahasa indonesia yang jarang
digunakan, kosakata bahasa jawa, dan ungkapan.
B.
Analisis
1.
Gaya
Bahasa
a)
Asidenton
Gaya bahasa
banyak digunakan dalam teks sastra karena akan menghidupkan makna, memberi
citraan yang khas, membuat gambaran yang lebih jelas, serta membuat kalimat-kalimat lebih
dinamis dan hidup.
Gaya bahasa berkaitan dengan
uraian kalimat puisi. Kepadatan kalimat dan bentuk yang
ekspresif sangat diperlukan dalam karya sastra khususnya puisi. Hal itu
mengingat bahwa dalam puisi hanya inti gagasan atau pengalaman batin yang
dikemukakan. Gaya kalimat yang terdapat dalam puisi menggunakan gaya kalimat implisit.
sedih
matamu,
wahai
betapa
merindu lambai
betapa
mendamba gapai
sampai
hati memburai
hingga
angin henti menderai
lunglai
(Suprabana, 2012:54).
Kepadatan kalimat
dengan gaya implisit terdapat pada bait 1 baris kedua /betapa merindu lambai/.
Pada baris kedua bait 1 terdapat kata yang diimplisitkan yakni kata (engkau) betapa merindu lambai/. Pada
bait 2 baris pertama / sampai hati memburai/, terdapat kata yang diimplisitkan
yakni kata /sampai hati (ikut) memburai/.
kata
kata
Datang kepadaku. bertanya
:tahukah
kau. o. Siapa menghuni tanda baca
justru
ketika kau mengembarai huruf-huruf
yang
kekal
yang
selalu gagal melupa Cinta
tahukah
kau
o,
Siapa? (Suprabana,
2012:33).
Kepadatan kalimat
dengan gaya implisit terdapat pada bait 1 baris pertama /kata Datang kepadaku.
bertanya/. Kata yang diimplisitkan yaitu “dan”. /kata Datang kepadaku (dan) bertanya/. Pada baris kedua bait
kedua terdapat kata yang diimplisitkan yakni kata o, (engkau) Siapa/.
Berdasarkan uraian tersebut,
gaya bahasa yang digunakan penyair adalah asindeton.
Asindeton adalah gaya yang berupa acuan yang bersifat padat dan mampat yaitu
beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata
sambung.
b)
Personifikasi
Personifikasi
atau Prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan
benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki
sifat kemanusiaan.
patah
hati ini terasa Kekal, ma
di sini, ma
di jiwa sungguh
semata sepi
kosong hampa
kuhela badan,
tubuh, dan
diri masih
selalu kecinta
yang bukankah
tapi mengapa
senantiasa kau
pedaya.
kerna cinta
senara kau pedaya
bahkan luka ikut pula kembali terluka
sampai jam penanggalan,
masa hilang warna
tanpa rona.
kutulis sajak
tanda aku masih di sini
kutulis puisi
tanda aku masih kegerak
di sini, ku
pinang hati
kegerak kujahit
koyak.
tak ada sungguh
benar-benar bisa
bikin aku lumpuh
tak juga lepuh
yang
memperlambat
tumbuh.
bulan pecah
badan
teka-teki
pengharapan
terpeta di garis
tangan
engkau risau
menafsir galau
tak titis kerna
silau.
aku di sini beku
mengayu kaku
di kanji waktu
itulah sebab
mengapa kini
kita percuma.
seperti purnama
mengapung, lembayung
dengan sinar murung
itulah sebab
kenapa kita
berprasangka
kenapa kita
sewajah bola lampu sebul
dari Persia
dengan liuk
saling belit
membikin sisa udara
di selanya tak henti
menjerit!
Ma, di mana kini
engkau, o mata
di mana kini
engkau, o paras jelita
di mana kini
engkau, o yang tiada
bisa ku lupa.
patah hati ini
terasa kekal, Ma
sedih meredup
liyup
pedih melurup
sayup
tiap pengin ku
tahu
bahkan kertap
lindap
niarap penyap di
sebalik
helai senyap.
benarkah engkau
hilang
karena sesaat
sesat di bimbang
atau akukah yang
centang perentang
sebab di rentang
ke titik tiap bintang.
sungguh jauh
kini
jarak hati dan
janji
sungguh pasi
kini
tanpa kibar
panji-panji.
maka, berulang
kuhitung iga
berharap masih
bakal engkau penggenapnya
tetapi jemariku
lumpuh di hitungan ketiga
dan malam masih saja selalu menelikung senja.
aku tergulung,
mimpes
sisa rona
penghabisannya
sampai bahkan
bunga-bunga
ikut merana (Suprabana, 2012: 100-102)
Kalimat
yang dicetak tersebut merupakan kalimat yang mengandung gaya bahasa
personifikasi. Misalnya, luka
ikut pula kembali terluka, sampai jam penanggalan, masa
hilang warna tanpa rona. Kata luka merupakan kata sifat yang pada puisi
tersebut dihidupkan sebagai yang merasakan
terluka. Kemudian, kalimat seperti
purnama, mengapung, lembayung dengan sinar murung. Purnama atau bulan
sebagai benda mati diibaratkan seperti mahkluk hidup yang bisa murung.
Kalimat
sisa udara di selanya tak henti menjerit,
juga mengibaratkan udara sebagai
mahkluk hidup yang bisa menjerit.
Kalimat malam masih saja menelikung
senja, mengibaratkan malam bertindak seperti manusia yang bisa berbuat
sesuatu terhadap suatu hal. Terakhir, bunga-bunga
ikut merana juga mengibaratkan bunga seperti manusia yang bisa merasakan
kesedihan.
2.
Pilihan
Kata
Diksi
atau pilihan kata adalah kata-kata yang dipakai untuk menyampaikan gagasan
secara tepat, sesuai, dan mewakili perasaan yang
ingin disampaikan kepada orang
lain serta
memperoleh nilai rasa dan efek makna tertentu dari kelompok masyarakat pembaca
atau pendengar. Diksi yang baik
berhubungan dengan pemilihan kata yang bermakna tepat dan selaras, yang penggunaannya
cocok dengan pokok pembicaraan,
peristiwa, dan khalayak pembaca atau pendengar.
Pemakaian kosakata yang
dipergunakan dalam kumpulan puisi Kesiur
Dari Timur karya Timur Sinar Suprabana banyak jenisnya. Penggunaan diksi
atau pilihan kata yang banyak terdapat dalam kumpulan puisi tersebut antara lain: (1) Kosakata bahasa Indonesia
(kata-kata yang jarang terdengar dalam pembicaraan umum di masyarakat), (2)
Kosakata bahasa Jawa, (3) Ungkapan.
a)
Kosakata
Bahasa Indonesia (kata-kata yang jarang terdengar dalam pembicaara umum di
masyarakat)
sendiri
sendiri,
diam-diam, pelan-pelan
dia
punguti jejak-jejak perasaan cinta
yang
tak kunjung menemu saat kapan
bisa
terutara dengan mesra
:
apa lagikah yang masih hendak kau kata
jika
bahkan dedaun di beranda
dan
bunga-bunga yang mekar di mata
tak
lagi asing bersenda
lalu
angin lekap di jendela kaca
hingga
cuaca tak terbaca
dan
segala yang terperam
pelahan
mulai lebam
sungguh
sunyi, bisikmu,
ketika
Rindu tersedu
air
matanya leleh Ungu
:
di kalbu
menyembilu!
(Suprabana, 2012:17).
Puisi
tersebut ada beberapa kata yang menggunakan bahasa Indonesia jarang terdengar
di masyarakat secara umum. Kata yang dicetak tebal, antara lain terutara bermakna menyampaikan sesuatu
hal. Kata yang lazim didengar masyarakat adalah menyampaikan. Kalimat pada bait 1 baris keempat bisa digantikan
/bisa menyampaikan dengan mesra/.
Apabila kalimat tersebut demikian, maka masyarakat awam dapat memahami.
Kata
beranda jarang terdengar di
masyarakat, padahal kata tersebut merupakan bahasa Indonesia. Beranda adalah
ruang beratap dan terbuka di depan rumah, atau biasa di sebut teras. Teras diganti kata beranda
bertujuan untuk memperindah kalimat.
Bersenda
mempunyai kata dasar senda yang
mendapatkan imbuhan be-. Senda mempunyai arti canda, kelakar, seloroh,
olok-olok, dan sebagainya. Kata senda biasanya diikuti oleh kata gurau, tetapi dalam puisi tersebut kata
senda berdiri sendiri. Hal tersebut yang menyebabkan kata senda asing dibaca
dan didengar.
Kata
terperam jarang didengar oleh
masyarakat awam. Kata tersebut berasal dari kata peram yang mempunyai arti simpan atau sembunyi. /dan segala yang terperam/ dapat diganti
dengan /dan segala yang tersimpan atau
tersembunyi/. Kata tersimpan dan tersembunyi lebih populer ditelinga
masyarakat daripada kata terperam.
Kata
menyembilu mempunyai kata dasar sembilu yang bermakna tajam. Kata
sembilu biasanya menggambarkan sesuatu yang tergores atau tersayat. Kata
tersebut jarang terdengar di masyarakat. Walaupun demikian, kata-kata yang
sulit dimengerti oleh masyarakat awam tersebut memberikan efek magis yang pada
akhirnya memunculkan keindahan. Mengerti atau tidak pembaca awam akan
bergembira membaca pilihan kata tersebut.
b)
Kosakata
Bahasa Jawa
Timur
Sinar Suprabana seringkali menggunakan bahasa Jawa untuk puisi-puisinya.
Tujuannya adalah alasan keindahan. Kata yang diambil dari bahasa Jawa terkesan
menggelitik, klasik, dan indah. Berikut datanya.
di angin
-------------------
-------------------
kekasih
kekasih
jangan
kita Pernah saling Sapih
karena
Pisah pasti Sedih
kekasih
kekasih
kekasih
kekasih
langit,
laut udara pun nggetih (Suprabana,
2012: 26).
Puisi
tersebut ada dua penggunaan bahasa Jawa, yaitu Sapih dan Nggetih. Sapih
mempunyai arti menyarak atau menghentikan anak menyusu ibunya. Inti dari kata
sapih adalah menghentikan. Sedangkan
kata nggetih dapat bermakna
berdarah-darah. Dua kata tersebut berasal dari bahasa Jawa yang kemudian
dikombinasikan dengan bahasa Indonesia melalui puisi tersebut.
tentang jejak
-------------------
-------------------
di
rumah Singgah
di
mana lelah dan gundah
akhirnya
memilih lenggah,
tersenyum,
dan pelahan musnah,
bila
kulihat angin saat mendesah
:
belukar dan semak sumringah
(Suprabana, 2012: 15)
Kata lenggah dan sumringah
berasal dari bahasa Jawa. Lenggah
mempunyai arti duduk, dan sumringah
mempunyai arti berbunga-bunga atau bahagia. Dua kata tersebut dimasukkan untuk
memperindah kalimat dan kebutuhan bunyi. Dua kata tersebut diakhiri dengan
konsonan “h”, untuk melengkapi kata akhir tiap baris dalam puisi tersebut.
c)
Ungkapan
Ungkapan
merupakan bagian dari peribahasa selain bidal dan perumpamaan. Peribahasa itu
sendiri merupakan kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya dan biasanya mengiaskan
maksud tertentu.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1246), ungkapan adalah apa-apa yang
diungkapkan; kelompok kata atau gabungan dua kata atau lebih yang menyatakan
makna khusus (makna unsur-unsurnya seringkali menjadi kabur, maknanya tidak dapat diturunkan dari makna kata-kata
yang membentuknya).
Ungkapan
dalam puisi kumpulan Kesiur Dari Timur
karya Timur Sinar Suprabana sebagai berikut.
keheningan
aku
sudah berulang coba tidak saja mengisyaratkannya
terhadapmu
melainkan bukankah bahkan
menjelaskannya
sembari
menyorotkan lampu senter itu ke tiap huruf
dan
tanda baca dengan sabar serta bahkan kerap kali
sambil
menahan
napas – tapi engkau tak mengerti juga
dan
ketika akhirnya kau pun tahu tetap saja
menyangkalnya
serta
selalu pura-pura tak paham (Suprabana, 2012:115).
Puisi
tersebut merupakan ungkapan kekesalan penyair terhadap seseorang atau bahkan
golongan. Kekesalan tersebut disebabkan, tidak mengertinya seseorang walaupun
sudah dijelaskan dengan gamblang. Di samping itu, penyair juga menjelaskan
bahwa walaupun seseorang tersebut sudah mengerti tetapi tetap pura-pura tidak
paham.
akhirnya
------------
------------
pandang
matamu
hembus
nafasmu
pergi
meragi
apakah
aku akan masih merindukanmu?
apakah
aku akan tetap mencintaimu?
kemesraan
jadi semak belukar bagi ingatan
ciuman-ciuman
jadi rasa kebas di perasaan (Suprabana, 2012:141).
Melalui
puisi tersebut, penyair mengungkapkan kerinduan kepada seseorang. Kerinduan
tersebut bisa untuk kekasih, teman, keluarga, atau bahkan kerinduan akan Tuhan.
Representasi kerinduan di tangan penyair diolah menjadi sebuah puisi yang
indah.
3.
Persajakan
Ada lima
pola persajakan, antara lain (a) Rima silang yaitu persamaan bunyi
akhir dengan pola [ab ab]; (b) Rima sama yaitu persamaan bunyi akhir dengan
pola [aa aa]; (c) Rima berpasangan yaitu persamaan bunyi akhir dengan pola [aa
bb]; (d) Rima berpeluk yaitu persamaan bunyi akhir dengan pola [ba ba]; dan (e)
Rima patah atau rusak yaitu rima yang polanya selain pola di atas dengan jumlah
yang berbeda.
a)
Pola
ab ab
empat puluh menit selepas
pukul 12 siang
masih
Juga kau Ternyata
di Taman
seperti
memasrahkan pandang mata
pada
tebaran gugus mega di kejauhan
: jelita
dipenuhi
Harapan (Suprabana, 2012:29).
patah hati ini terasa
Kekal, ma
kutulis
sajak tanda aku masih di sini
kutulis
puisi tanda aku masih kegerak
di
sini, ku pinang hati
kegerak
kujahit koyak (Suprabana, 2012:101).
Dua puisi di atas memiliki pola persajakan ab ab. Pada puisi pertama kalimat
pertama, ketiga, dan kelima diakhiri vokal “a” dan kalimat kedua, keempat, dan
keenam diakhiri konsonan “n”. Pada puisi kedua kalimat pertama dan ketiga
diakhiri vokal “i” dan kalimat kedua dan keempat diakhiri konsonan “k”.
b)
Pola
Persajakan aa aa
tentang jejak
sedih
gembira
pernah
bicara
duka lara
tiada
yang tak terkira
tiap
perkara
jadi
Kejora (Suprabana, 2012:15).
sedih
matamu,
wahai
betapa
merindu lambai
betapa
mendamba gapai
sampai
hati memburai
hingga
angin henti menderai
lunglai (Suprabana, 2012:54).
Dua puisi di atas memiliki pola persajakan aa aa. Pada puisi pertama semua huruf
akhir pada kalimat adalah “a”. Pada puisi kedua semua huruf akhir kalimat
adalah “i”.
c)
Pola
Persajakan aa bb
baca
bahkan
hingga yang Bukan kata
o, semua
kau Ternyata
: kekasih
: Kekasih
bahkan
beta Juga
o, dikau
pula
: kekasih
: Kekasih (Suprabana, 2012:121).
Kumpulan puisi dengan jumlah 126 puisi hanya
ditemukan satu puisi yang memiliki pola aa bb, yaitu puisi dengan judul “baca”.
Puisi tersebut pada bait pertama dan kedua memiliki pola yang sama. Baris
pertama dan kedua diakhiri huruf “a”, sedangkan baris ketiga dan keempat
diakhiri huruf “h”.
d)
Pola
Persajakan ba ba
sendiri
sendiri,
diam-diam, pelan-pelan
dia
punguti jejak-jejak perasaan cinta
yang tak
kunjung menemu saat kapan
bisa
terutara dengan mesra (Suprabana,
2012:17).
Pola persajakan ba ba dalam kumpulan puisi Kesiur
Dari Timur ditemukan puisi dengan judul “sendiri”. Pada puisi tersebut baris
pertama dan ketiga diakhiri konsonan “n” dan baris kedua dan keempat diakhiri
vokal “a”.
e)
Pola
Persajakan Patah/Rusak
Kumpulan
puisi Kesiur Dari Timur karya Timur
Sinar Suprabana banyak memiliki pola persajakan patah atau rusak. Persajakan
tersebut merupakan pola rima yang tidak beraturan atau tidak sama dengan kaidah
puisi model lama, seperti Balai Pustaka, Pujangga Baru, maupun angkatan 45.
Berikut penulis akan memaparkan satu puisi dari sekian banyak puisi yang
memiliki pola persajakan patah atau rusak. Hal tersebut disebabkan, puisi
dengan judul “tanpa rasa Pedih” dapat mewakili.
tanpa rasa Pedih
telah
kuhapus kau dari mengapa aku mencintaimu
barangkali
dengan perasaan seperti bagaimana guru
membusak
soal-soal uraian di papan tulis dalam kelas
menjelang
berganti jam pelajaran dari sastra ke matematika
telah
kuseka dengan telapak tangan gemetar
menggenggam
penghapus dengan sisa tenaga penghabisan
yang
memuncat lunglai di lengan yang tiba-tiba tak bertulang
kerna
betapapun jauh kutempuh tiada yang bakal tergayuh
telah
kuhapus
telah
kuhapus
sebelum
benar-benar pupus
kerna
terhadapmu aku ini Cinta yang tak sanggup jika mesti layu
seperti
selada di piring gado-gadomu yang Dulu (Suprabana, 2012:52).
Pola persajakan puisi di atas termasuk dalam
pola persajakan patah, karena huruf terakhir dari tiap bait dan baris tidak
beraturan. Pada puisi tersebut tidak menampilakan pola persajakan ab ab, aa aa,
aa bb, dan ba ba.
C.
Simpulan
Berdasarkan
analisis, hanya dua gaya bahasa yang diungkapkan, yaitu asidenton, dan
personifikasi. Gaya bahasa asidenton
ditemukan dalam puisi “sedih” dan “kata”. Gaya bahasa personifikasi ditemukan
dalam puisi berjudul “patah hati ini terasa Kekal, ma”.
Pilihan
kata dari penyair yang diungkap pada analisis ini, antara lain bahasa Indonesia
yang jarang didengar oleh masyarakat awam, bahasa Jawa, dan bahasa ungkapan.
Pilihan kata bahasa Indonesia yang jarang didengar oleh masyarakat awam
ditemukan dalam puisi berjudul “sendiri”, sedangkan puisi yang menggunakan
bahasa Jawa berjudul “tentang jejak”. Pilihan kata sebagai bahasa ungkapan
ditemukan dalam puisi berjudul “keinginan”.
Pola
persajakan, antara lain ab ab, aa aa, aa bb, ba ba, dan pola persajakan patah.
Pola persajakan ab ab ditemukan pada puisi berjudul “empat puluh menit selepas
pukul 12 siang” dan “patah hati ini terasa Kekal, ma”. Pola persajakan aa aa
ditemukan dalam puisi berjudul “tentang jejak, dan “sedih”. Pola persajakan aa
bb ditemukan dalam puisi berjudul “baca”. Pola persajakan ba ba ditemukan dalam
puisi berjudul “sendiri”, dan pola persajakan patah ditemukan dalam puisi
berjudul “tanpa rasa Pedih”.
Daftar Pustaka
Depdiknas. 2005. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Kasnadi dan Sutejo. 2010. Kajian Prosa: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Felicha.
Suprabana, Timur
Sinar. 2012. Kesiur Dari Timur.
Yogyakarta: Katakita.
Komentar