LOKUSI, ILOKUSI, DAN PERLOKUSI DALAM BUKU HUMOR MAHASISWA KARYA JAMES DANANDJAJA


 LATAR BELAKANG MASALAH
Istilah humor oleh para pakar masih diperdebatkan sampai sekarang. Setiap tahunnya para pakar humor mengadakan kongres untuk mencari devinisi humor (http://www.ipsa.org/news/news/ipsa-now-co-owner-journal-world-political-science-review). Dari kongres tersebut banyak perbedaan pendapat mengenai devinisi humor. Bisa dikatakan bahwa humor setara dengan hidup, cinta, seks, dan rezeki yang dianggap sebagai kelompok fenomena misterius. Barangkali, kelompok fenomena misterius tersebut sengaja dilindungi oleh alam agar manusia tidak akan pernah mampu mengerti maksudnya.
Flugel (1959: 709) mengatakan bahwa humor merupakan salah satu cairan yang mengalir di tubuh manusia yang menentukan temperamen seseorang (Danandjaja, 2001: 14; Suprana, 2013: 6; Setiawan, 2004: 10). Humor yang disebut ilmu kedokteran sebagai sebuah cairan ini ternyata tidak ada hubungannya dengan suasana jenaka atau tertawa. Seperti yang disebutkan pada paragraph sebelumnya, bahwa istilah humor merupakan bagian dari kelompok fenomena misterius yang ada di dunia.
Penulis mengartikan humor sebagai segala rangsangan mental yang menyebabkan orang tertawa. Humor merupakan sarana paling baik untuk melepaskan segala “unek-unek.” Berhumor merupakan aktivitas kehidupan yang sangat digemari sampai menjadi bagian hidup sehari-hari. Humor tidak mengenal kelas sosial dan dapat bersumber dari berbagai aspek kehidupan. Humor adalah cara melahirkan suatu pikiran, baik dengan kata-kata (verbal) atau dengan jalan lain yang melukiskan suatu ajakan yang menimbulkan simpati dan hiburan.
Komunikasi dalam humor berbentuk rangsangan yang cenderung secara spontan menimbulkan senyum dan tawa para penikmatnya. Humor memiliki peranan yang cukup sentral dalam kehidupan manusia. Humor tidak semata-mata sebagai hiburan untuk melepaskan beban psikologis penikmatnya tetapi juga sebagai wahana kritik sosial terhadap segala bentuk ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat. Dengan bentuk yang unik ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat diungkap dengan bahasa yang humoris dan berkesan santai serta menggelitik pembaca ataupun pendengar.
Ozkafaci (2001:2) menjelaskan, secara umum humor ialah segala rangsangan mental yang menyebabkan orang tertawa. Cerita penghibur hati pada umumnya mengisahkan kejenakaan atau kelucuan akibat kecerdikan, kebodohan, kemalangan, dan keberuntungan tokoh utama. Kadang-kadang tokoh utama sangat bodoh dan tidak dapat menangkap maksud orang lain sehingga menimbulkan kesalahpahaman.
Dalam humor dibutuhkan kecerdasan kedua belah pihak, yaitu penutur dan lawan tutur. Penutur harus bisa menempatkan humornya pada saat yang tepat, sebab bila saatnya tidak tepat bisa jadi humor tersebut tidak saja tidak lucu namun juga bisa menyakiti pihak lain. Lawan tutur harus bisa bersikap dewasa dalam menanggapi sebuah humor sebab bagaimanapun ‘tajam’nya kritikan dalam sebuah humor, tetaplah humor.
Humor tidak selalu disambut oleh gelak tawa pendengar atau pembacanya. Bisa jadi, humor yang dilakukan seseorang kepada pihak lain berujung pertengkaran. Humor yang berakibat menyakiti pihak lain bisa dikatakan agresi. Danandjaja (2001: 7) menguraikan bahwa lelucon yang menghasilkan tawa pun bermacam-macam kategorinya. Lelucon dengan rendah mutu yang bersifat jorok dan porno. Lelucon yang dihasilkan dengan kebengisan karena sebuah dendam. Terakhir, lelucon yang ditujukan untuk mengejek dirinya sendiri walaupun sebenarnya untuk mengritik orang lain.
Di sisi lain, humor memiliki berbagai macam manfaat. Suprana (2013: 15) memaparkan empat belas manfaat humor dalam kehidupan manusia. Sebagai alat untuk mawas diri, mendukung sistem imun terhadap penyakit, mekanisme kontrol sosial, falsafah hidup demi mampu luwes menghadapi problematika kehidupan, dan sebagainya. Maka dari itu, Prof. Dr. James Danandjaja mengeluarkan buku Humor Mahasiswa yang bertujuan untuk melembutkan hidup. Dalam buku tersebut di bagi menjadi dua bagian, yaitu humor yang bersifat erotik dan humor yang bersifat non-erotik.
Di balik lelucon-lelucon buku mahasiswa tersebut akan terpancar kejenakaan dalam kisah-kisah obrolan mahasiswa Jakarta. Makna artifisial dari lelucon mahasiswa tersebut mudah diserap semua orang. Hal lebih esensial yang bisa diselami dari humor mahasiswa adalah ungkapan-ungkapan moral yang menggelitik kesadaran dan mendorong arus kesadaran kita untuk mendapatkan pencerahan (enlightenment) yang lebih bermakna.
Dari pemaparan tersebut, buku humor mahasiswa karya Prof. Dr. James Danandjaja dianalisis menggunakan teori tindak tutur dari Austin dan Searle, yaitu tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi, dan tindak tutur perlokusi. Maka, judul penelitian ini adalah “Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi dalam Buku Humor Karya James Danandjaja.”

Humor

Humor merupakan aktivitas kehidupan yang tidak bisa terelakan. Di sini humor menjadi bagian hidup sehari-hari. Humor tidak mengenal kelas sosial dan dapat bersumber dari berbagai aspek kehidupan. Humor adalah cara melahirkan suatu pikiran, baik dengan kata-kata (verbal) atau dengan jalan lain yang melukiskan suatu ajakan yang menimbulkan simpati dan hiburan. Pada awalnya humor berasal dari istilah kedokteran, yaitu empat cairan yang berada dalam tubuh manusia. Setiawan (2004: 10) menguraikan istilah humor dalam dunian kedokteran sebagai berikut.
Keempat cairan dalam tubuh tersebut dianggap menentukan temperamen seseorang. Temperamen seseorang akan seimbang apabila keempat cairan tersebut berada dalam proposisi seimbang. Jika jumlah salah satu cairan berlebih, timbullah ketidakseimbangan temperamen.
Keempat cairan tersebut memengaruhi tempermen seseorang. Cairan tersebut juga memengaruhi karakter seseorang. Empat jenis cairan tersebut berwarna kuning, biru, merah, dan putih. Warna kuning cenderung kolerik (angin-anginan), biru cenderung murung atau sedih, merah cenderung gembira, dan putih cenderung tenang (baca: Suprana: 2013: 4). Jika jumlah salah satu cairan berlebih, timbullah ketidakseimbangan temperamen. Dari berbagai uraian warna tersebut kiranya istilah humor dalam kedokteran tidak berhubungan dengan istilah humor yang dipahami masyarakat. Hanya saja menurut Setiawan (2004: 10) seseorang yang kelebihan salah satu cairan (humor) disebut ‘humoris’, dan ia menjadi objek tertawa orang lain, karena ketidakseimbangan temperamennya.
Danandjaja (1991: 117) menempatkan lelucon atau humor ke dalam bentuk foklor yang disebut dongeng. Lelucon atau humor adalah cerita pendek lisan yang bersifat fiktif lucu, sehingga orang-orang yang menjadi bulan-bulanan dalam lelucon tidak usah menjadi marah. Di sisi lain, lelucon atau humor juga mengandung agresi untuk membunuh karakter seseorang. Humor semacam ini hendaknya diabaikan, karena bisa merusak ekosistem sosial masyarakat. Puncak dari humor adalah mengritik dirinya sendiri atau menghabiskan kelemahannya sendiri, seperti Gus Dur, Abunawas, Nasrudin Hoja, Tukul Arwana, dan sebagainya. Humor yang demikian akan lebih aman dan enak didengarkan sebagai hiburan. Demikian juga dengan kumpulan humor mahasiswa dalam buku humor mahasiswa karya James Danandjaja. Buku tersebut banyak memuat humor-humor untuk menyerang dirinya sendiri.

Pragmatik
Pragmatik merupakan cabang ilmu dari linguistik. Pragmatik mempelajari permasalahan makna dan maksud bahasa. Dalam kamus bahasa Indonesia edisi ketiga tahun 2005 disebutkan bahwa Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya bahasa dalam komunikasi (KBBI, 1993: 177). Dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk/struktur. Untuk maksud “menyuruh” orang lain, penutur dapat mengungkapkannya dengan kalimat imperatif, kalimat deklaratif, atau bahkan dengan kalimat interogatif. Dengan demikian, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme.
Perkembangan lebih lanjut tentang pragmatik memunculkan berbagai batasan. Leech  (1993:32) mengemukakan bahwa, “Pragmatik merupakan studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar atau speech situations.” Hal tersebut bisa diartikan bahwa bahasa merupakan gejala sosial dan pemakaiannya jelas banyak ditentukan oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor linguistik saja seperti kata-kata, kalimat-kalimat saja tidak cukup untuk melancarkan komunikasi.
Pragmatik berbeda dengan semantik dalam hal pragmatik mengkaji maksud ujaran dengan satuan analisisnya berupa tindak tutur (speech act), sedangkan semantik menelaah makna satuan lingual (kata atau kalimat) dengan satuan analisisnya berupa arti atau makna. Kajian pragmatik lebih menitikberatkan pada ilokusi dan perlokusi daripada lokusi sebab di dalam ilokusi terdapat daya ujaran (maksud dan fungsi tuturan), perlokusi berarti terjadi tindakan sebagai akibat dari daya ujaran tersebut. Sementara itu, di dalam lokusi belum terlihat adanya fungsi ujaran, yang ada barulah makna kata atau kalimat yang diujarkan.
Yule (1996;3) menyebutkan 4 definsi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara, (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang melabihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau ter komunikasikan oleh pembicara, dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Berbagai tindak tutur yang terjadi di masyarakat, baik langsung dan tidak langsung, maupun harafiah dan tidak harafiah, atau kombinasi dari dua/lebih tindak tutur tersebut, merupakan bahan sekaligus fenomena yang sangat menarik untuk dikaji secara pragmatis. Misalnya, bagaimanakah tindak tutur seorang yang dilakukan oleh orang Jawa ketika mengajak berhumor orang Sunda, atau bahkan orang Ambon.
Aspek-aspek Pragmatik
Humor seperti dijelaskan sebelumnya, sangat berkait dengan konteks situasi tutur yang mendukungnya, oleh karena itu, dalam mengkajinya perlu dipertimbangkan beberapa aspek situasi tutur seperti di bawah ini.
a.       Penutur dan lawan tutur
      Konsep penutur  dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan yang bersangkutan dikomunikasikan dalam bentuk tulisan. Aspek-aspek tersebut adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.
b.      Konteks tuturan
      Konteks di sini meliputi semua latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan disetujui bersama oleh penutur dan lawan tutur, serta yang menunjang interpretasi lawan tutur terhadap apa yang dimaksud penutur dengan suatu ucapan tertentu.
c.       Tujuan tuturan
      Setiap situasi tuturan atau ucapan tentu mengandung maksud dan tujuan tertentu pula. Kedua belah pihak yaitu penutur dan lawan tutur terlibat dalam suatu kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu.
d.      Tuturan sebagai bentuk tindakan dan kegiatan tindak tutur
                        Dalam pragmatik ucapan dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan yaitu kegiatan tindak ujar. Pragmatik menggarap tindak-tindak verbal atau performansi-performansi yang berlangsung di dalam situasi-situasi khusus dalam waktu tertentu.
e.       Tuturan sebagai produk tindak verbal
                        Dalam pragmatik tuturan mengacu kepada produk suatu tindak verbal, dan bukan hanya pada tindak verbalnya itu sendiri. Jadi yang dikaji oleh pragmatik bukan hanya tindak ilokusi, tetapi juga makna atau kekuatan ilokusinya.
Pertimbangan aspek-aspek situasi tutur seperti di atas dapat menjelaskan keberkaitan antara konteks tuturan dengan maksud yang ingin dikomunikasikan.
Tindak Tutur Austin dan Searle
Tindak tutur dilakukan setiap orang sejak bangun pagi sampai tidur kembali. Ribuan kalimat telah diucapkan selama 16 atau 18 jam setiap hari. Tidak pernah dipikirkan bagaimana terjadinya kalimat-kalimat yang diucapkan, kenapa kalimat tertentu diucapkan, bagaimana kalimat itu dapat diterima lawan tutur dan bagaimana lawan tutur mengolah kalimat-kalimat itu kemudian memberikan jawaban terhadap rangsangan yang diberikan, sehingga dengan demikian dapat berdialog berjam-jam lamanya. Searle mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi (Wijana, 1996:17).
Demikian juga dengan petutur humor dengan lawan tutur humor. Tidak pernah dipikirkan juga bagaimana terjadinya kalimat-kalimat humor yang diucapkan, kenapa kalimat humor tertentu diucapkan, bagaimana kalimat humor itu dapat diterima lawan tutur dan bagaimana lawan tutur mengolah kalimat-kalimat humor itu kemudian memberikan jawaban terhadap rangsangan yang diberikan, sehingga dengan demikian dapat berdialog berjam-jam lamanya.
1.      Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tuturan ini disebut sebagai The act of saying something. Dalam tindak lokusi, tuturan dilakukan hanya untuk menyatakan sesuatu tanpa ada tendensi atau tujuan yang lain, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi relatif mudah untuk diindentifikasikan dalam tuturan karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur (Parker dalam Wijana, 1996:18). Dalam kajian pragmatik, tindak lokusi ini tidak begitu berperan untuk memahami suatu tuturan.
Dalam humor ada tuturan yang dinyatakan kepada lawan tutur berupa lelucon. Pernyataan inilah yang akan menjadi objek dalam penelitian ini, walaupun tindak lokusi yang berdasarkan humor sedikit sekali ditemukan dalam buku humor mahasiswa.
2.      Tindak Ilokusi
Tindak ilokusi ialah tindak tutur yang tidak hanya berfungsi untuk menginformasikan sesuatu namun juga untuk melakukan sesuatu. Tuturan ini disebut sebagai  The act of doing something. Contoh, kalimat ‘Saya tidak dapat datang’ bila diucapkan kepada teman yang baru saja merayakan pesta pernikahannya tidak saja berfungsi untuk menyatakan bahwa dia tidak dapat menghadiri pesta tersebut, tetapi juga berfungsi untuk melakukan sesuatu untuk meminta maaf. Tindak ilokusi sangat sukar dikenali bila tidak memperhatikan terlebih dahulu siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan di mana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya.
Searle dalam Leech (1993:164-166) membagi tindak ilokusi ini menjadi lima yaitu asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi.
a.       Tindak asertif merupakan tindak yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya, artinya tindak tutur ini mengikat penuturnya pada kebenaran atas apa yang dituturkannya (seperti menyatakan, mengusulkan, melaporkan)
b.      Tindak komisif ialah tindak tutur yang berfungsi mendorong penutur melakukan sesuatu. Ilokusi ini berfungsi menyenangkan dan kurang bersifat kompetitif karena tidak mengacu pada kepentingan penutur tetapi pada kepentingan lawan tuturnya (seperti menjanjikan, menawarkan, dan sebagainya)
c.       Tindak direktif yaitu tindak tutur yang berfungsi mendorong lawan tutur melakukan sesuatu. Pada dasarnya, ilokusi ini bisa memerintah lawan tutur melakukan sesuatu tindakan baik verbal maupun nonverbal (seperti memohon, menuntut, memesan, menasihati)
d.      Tindak ekspresif merupakan tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap. Tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan dan mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap lawan tutur (seperti mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam)
e.       Tindak deklaratif ialah tindak tutur yang berfungsi untuk memantapkan atau membenarkan sesuatu tindak tutur yang lain atau tindak tutur sebelumnya. Dengan kata lain, tindak deklaratif ini dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal, status, keadaan yang baru (seperti memutuskan, melarang, mengijinkan).
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pemahaman terhadap tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami tindak tutur.
3.      Tindak Perlokusi
Tindak perlokusi yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat (Nababan dalam Lubis, 1999:9). Tuturan ini  disebut sebagai The act of affecting someone. Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarnya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan perlokusi. Tindak perlokusi ini biasa ditemui pada wacana iklan. Sebab wacana iklan meskipun secara sepintas merupakan berita tetapi bila diamati lebih jauh daya ilokusi dan perlokusinya sangat besar.

Pada penelitian ini, pembahasan dibagi menjadi tiga bagian yaitu tindak lokusi humor mahasiswa, tindak ilokusi humor mahasiswa, dan tindak perlokusi humor mahasiswa. Uraiannya sebagai berikut.
A.    Tindak Lokusi dalam Buku Humor Mahasiswa
Seperti telah penulis ungkapkan sebelumnya, bahwa tindak lokusi adalah tindak tutur yang ditujukan semata-mata untuk menginformasikan sesuatu. Tidak ada tujuan untuk melakukan sesuatu apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi hanya menyampaikan sesuatu yang memunyai maksud dan pesan kepada lawan tutur. Tindak lokusi dapat dilihat dalam wacana berikut ini.
Pak Haji Hamil
Haji tua mempunyai istri muda yang sedang hamil. Suatu hari si Pak haji jatuh sakit, ia lalu pergi ke dokter dengan berbagai keluhan. Pak dokter manganjurkan besok pagi kembali dengan membawa air kencingnya.
Pak haji supaya tidak lupa menyediakan kaleng untuk air kencing itu. Setelah dibawa ke dokter dan diperiksa ternyata Pak haji dinyatakan “hamil.”
Sesampai di rumah pak haji menangis tersedu-sedu menyampaikan berita ajaib kepada istrinya. Belum sempat meneruskan cerita si istri memotong pembicaraan:
“Oh iya bang, aye lupa bilang semalem aye kebelet pipis, ya udah aye pipis aje di kaleng abang yang mau dibawa ke dokter!”
(Tita Noorindahyati M, 1982: 44)
Maksud dari humor di atas untuk memberitahu pembaca atau pendengar, bahwa jangan panik mendengar kabar yang kiranya tidak mungkin terjadi. Kemudian pernyataan istrinya bermaksud “jangan ceroboh kalau tidak tahu.” Jika pernyataan tersebut diperluas, maka akan memunyai maksud “jangan pernah mengambil hak orang lain tanpa seizin pemiliknya.” Tindak lokusi pada humor tersebut terletak pada pernyataan istri pak haji yang ceroboh, “Oh iya bang, aye lupa bilang semalem aye kebelet pipis, ya udah aye pipis aje di kaleng abang yang mau dibawa ke dokter!”
Mengacu pada teori humor, Wilson (2003:13) yaitu, teori konflik yang memberikan tekanan pada implikasi perilaku humor, maka cerita tersebut menciptakan dua dorongan yang saling bertentangan, antara main-main dan keseriusan. Konflik antara dua dorongan yang saling bertentangan itulah menciptakan sebuah kelucuan cerita “Pak Haji Hamil.” Sebuah presuposisi atau praanggapan dari cerita yang belum diketahui benar tidaknya tapi hal tersebutlah yang membuat tertawa para pembaca.
Sama-sama terlambat

Suatu hari seorang pejabat yang juga seorang seniman, berkenan membuka pameran lukisan. Setelah meresmikan, sang pejabat melihat-lihat sambil memberi komentar atau kritik. Pada satu buah lukisan ia memperhatikan dengan penuh perhatian. Tiba-tiba ia mengangguk-angguk ketika membaca judulnya “Tepat sekali,” katanya sambil tersenyum. Lukisan itu ternyata lukisan seorang wanita hamil dan roti bakar yang terbakar hangus. Judulnya “Terlambat Mengangkat.”
(Endang Kironosasi W, 1980: 49)
Humor tersebut hanya mempunyai daya lokusi untuk melucu semata. Cerita dengan judul “sama-sama terlambat” tidak mempunyai tendensi apapun mengeluarkan humor tersebut seperti mempengaruhi atau menyuruh lawan tutur melakukan sesuatu. Tindak lokusi humor yang dilakukan pejabat dan lukisan dengan judul “terlambat mengangkat” memberi wacana lucu tentang kehidupan sehari-hari.
Kutipan berikut humor menceritakan kelucuan melalui teori konflik, yaitu pertentangan antara main-main dan keseriusan.
Ambil Piyama Dulu

Seorang professor diundang ke suatu pesta makan malam yang diadakan oleh keluarga sahabatnya. Pesta itu berlangsung meriah sekali. Di tengah pesta tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Sampai larut malam hujan tidak juga reda. Tamu-tamu yang lain sudah pada pulang. Si professor tidak bisa pulang karena rumahnya jauh dan ia tidak membawa kendaraan sendiri. Untuk naik kendaraan umum tidak mungkin, karena hujan sangat lebat. Lagi pula hari sudah larut malam.
Akhirnya keluarga sahabatnya itu berkata “Tidur di sini saja mala mini prof, nanti kami siapkan kamarnya.”
“Baiklah kalau begitu,” jawab si professor. “Tapi saya ambil piyama di rumah dulu ya,” lanjutnya.
(Farida Sondakh, 1986: 248)
Humor tersebut hendak menginformasikan bahwa sebenarnya professor tidak mau menginap di rumah sahabatnya. Pernyataan “ambil piyama di rumah dulu” adalah bentuk penolakan halus kepada tuan rumah. Secara logika bagaimana mungkin dengan hujan masih lebat dan sudah larut malam professor mengambil piyamanya dulu dan balik ke rumah sahabatnya tersebut.
Demikian lokusi dari buku humor mahasiswa karya James Danandjaja. Tiga kutipan cerita tersebut kiranya mampu mewakili cerita-cerita yang lain, karena keterbatasan waktu. Tiga pernyataan tersebut mengungkapkan, kutipan pertama nasihat kepada pembaca tentang jangan mudah panik. Kedua, kutipan tersebut hanya lelucon belaka yang bersifat menghibur. Ketiga, kutipan yang menginformasikan keadaan, keinginan dari seseorang yang sebenarnya. Berikut akan diuraikan analisis ilokusi humor mahasiswa.

B.     Tindak Ilokusi dalam Buku Humor Mahasiswa
Tindak ilokusi adalah sebuah tindak tutur yang selain berfungsi untuk menginformasikan sesuatu, juga berfungsi untuk melakukan sesuatu. Melakukan sesuatu di sini bisa disampaikan melalui perintah langsung dan melalui sindiran. Tindak ilokusi dapat dilihat pada wacana berikut.
Duku Seupil

Di sebuah pasar terjadi pembicaraan antara penjual buah duku dengan seorang nona manis yang bermaksud membeli duku.
Nona Manis: Bang dukunya 100 biji berapa?
Penjual Duku: Lima ratus saja neng, harga pas!
Nona Manis: Wah, mahal banget bang. Masa duku seupil gini aja harganya segitu.
Penjual Duku: Biarin deh neng duku seupil nggak apa-apa, asal jangan upil seduku aja.
(Betty J.S, 1978: 220)
Pada kutipan humor tersebut, pembeli (nona manis) berusaha untuk memengaruhi penjual, agar dukunya bisa ditawar. Walaupun pembeli dengan bahasa agak kasar “masa duku seupil gini aja harganya segitu.” Kemudian, penjual bersikukuh tidak menurunkan harga duku tersebut, serta membalasnya juga dengan bahasa kasar “Biarin deh neng duku seupil nggak apa-apa, asal jangan upil seduku aja.” Dari obrolan tersebut terlihat pembeli maupun penjual melakukan tindak ekspresif yang merupakan bagian dari tindak ilokusi.
Pembeli memengaruhi penjual agar harga bisa diturunkan. Penjual begitu ekspresif membalas kekasaran yang dilakukan pembeli dengan berkata kasar juga. Antara penutur dan lawan tutur sama-sama mengekspresikan dan mengungkapkan sikap psikologis tapi dengan cara yang berbeda.
Peti Mati

Seorang lelaki tua bertanya kepada penjaga toko peti mati, “berapa harga peti mati yang penuh ukiran ini?”
“Seratus lima puluh ribu rupiah, Tuan!” jawab penjaga toko.
“Bukan main mahalnya!” ujar lelaki tua tersebut.
“Tapi tuan, saya jamin pasti peti ini tak akan membuat tuan kecewa. Karena sekali tuan masuk ke dalamnya, tuan tak akan pernah punya keinginan untuk keluar lagi!” kilah sang penjaga toko.
(Nondita Hardiniarti E.W, 1980: 224)
Pada kutipan humor tersebut hampir sama dengan kutipan humor sebelumnya. Hanya saja, pembeli sidak melakukan tindakan ekspresif. Tindakan ekspresif hanya dilakukan penjual yang jengkel karena peti mati tersebut ditawar. “sekali tuan masuk ke dalamnya, tuan tak akan pernah punya keinginan untuk keluar lagi!” Kutipan tersebut menunjukan kejengkelan. Asumsinya, peti mati yang penuh ukiran memang mahal, kemudian dengan entengnya pembeli menawar seenaknya, dan hal itulah yang membuat jengkel penjaga toko.
Alternatif

Seorang tamu berkunjung ke rumah seseorang temannya yang terkenal pelit. Pada saat ia datang kebetulan temannya itu sedang makan. Sambil tetap makan, sang itu dipersilahkan duduk dan ditanyai mau minum apa, kopi atau teh. Dalam hati si tamu ingin ngerjain tuan rumah yang pelit itu, maka dia ngomong, “Sekarang saya ngopi dulu deh, nanti habis makan baru nge-teh!”
(Dody Mardanus, 1980: 226)
Kutipan humor yang ketiga tersebut sama dengan kutipan humor pertama dan kutipan humor kedua. Hanya saja, dialog bukan antara penjual dan pembeli tetapi antara tamu dengan tuan rumah. Pernyataan tamu merupakan tindak ilokusi direktif karena apa yang diucapkan juga sekaligus tindakan menyuruh kepada tuan rumah yang pelit. Dalam hal ini, kutipan humor tersebut sekaligus mengritik orang yang pelit. Di sisi lain, tamu tersebut mengajari strategi kepada pihak lain jika bertemu seseorang yang pelit.
Kisah Tentang Tinja

Di sebuah sungai berenanglah anak-anak tinja. Tidak lama kemudian datang segerombolan manusia yang kemudian berenang pula di sungai itu. ketika anak-anak tinja pulang ke rumahnya, dilihatnya ayahnya sedang makan. Lalu anak tinja berkata, “Yah, masa tadi di sungai ada orang-orang sedang berenang!”
Mendengar itu ayah tinja yang sedang makan menjawab, “Ah nak, jangan ngomong soal orang-orang, bapak lagi makan nih!”
(Myrza Latifa, 1980: 284)
Kutipan humor tersebut berlawanan dengan kenyataan sehari-hari yang di alami manusia. Tindak ilokusi direktif terdapat pada ungkapan ayah tinja yang menyuruh/memerintah anaknya agar tidak mengucapkan kata itu lagi “Yah, masa tadi di sungai ada orang-orang sedang berenang!” Dalam dunia kenyataan tentunya pernyataan tersebut terbalik.
Demikian ilokusi dari buku humor mahasiswa karya James Danandjaja. Empat kutipan cerita tersebut kiranya mampu mewakili cerita-cerita yang lain, karena keterbatasan waktu. Dua kutipan merupakan tindak ilokusi ekspresif yaitu menanggapi atau membalas pernyataan lawan tutur, dan dua kutipan lainnya merupakan tindak ilokusi direktif, dimana ada seorang dalam percakapan yang memerintah yang lain untuk melakukan sesuatu. Berikut yang terakhir, peneliti akan menguraikan tindak perlokusi dalam buku humor mahasiswa.
C.    Tindak Perlokusi dalam Buku Humor Mahasiswa
Tindak perlokusi yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat. Secara sengaja ataupun tidak sengaja, tindak perlokusi dikreasikan oleh penutur untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Buku humor mahasiswa juga banyak mengandung tindak perlokusi yang bertujuan agar lawan tuturnya terpengaruh dengan pola pemikiran tertentu sehingga lawan tutur mau bergabung dengan penutur untuk mewujudkan gagasan. Berikut wacana yang menunjukan tindak perlokusi.
Moderator dan Teori Darwin

Dalam sebuah seminar dibicarakan mengenai asal-usul manusia. Para peserta seminar terlibat dalam perdebatan yang seru. Masing-masing berusaha mempertahankan pendapatnya. Kelompok I dengan dalil yang mendukung teori evolusi Darwin, bahwa manusia berasal dari kera. Kelompok II mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang paling tinggi dan sempurna, selain itu bahwa manusia adalah keturunan dari Adam dan Hawa.
Karena perdebatan terus berlangsung seru tanpa ada kesimpulan yang pasti, maka sang moderator mengetukkan palunya untuk menghentikan perdebatan itu seraya berkata, “Baiklah saudara-saudara, saya akan menengahi. Tapi sebelumnya, pertama-tama saya persilahkan anda yang merasa dirinya sebagai manusia asli duduk di sebelah kanan saya. Dan bagi mereka yang merasa sebagai keturunan kera, silahkan mengisi kursi di sebelah kiri saya.”
Maka suasana menjadi riuh sejenak karena para peserta langsung berpindah ke kanan semua dan kursi yang sebelah kiri kosong sama sekali.
(Nandita Hardiniarti E.W, 1980: 219)
Pada kutipan humor tersebut tindak perlokusi dilakukan oleh moderator ketika memengaruhi peserta seminar dengan cara menyuruh peserta menempati kursi sesuai pendapat mereka masing-masing. Hal ini efektif, karena secara tidak sadar peserta seminar menempati kursi di kanan moderator yang mengisyaratkan bahwa kursi kanan adalah kursi untuk manusia yang berasal dari Adam dan Hawa. Sedangkan kursi kiri kosong. Berikut ini juga kutipan humor yang menunjukan ada tindak perlokusi seperti kutipan sebelumnya. Hanya saja situasi dan kondisinya yang berbeda. Berikut kutipannya.
Siapa yang Kentut?
Dalam sebuah oplet yang pengap tiba-tiba ada yang kentut. Baunya tidak enak sekali. Sangat memabukan. Tetapi tidak ada seorang pun yang mau mengaku sehingga semua penumpang jengkel. Demikian juga sopirnya. “Bagaimana akal,” pikir si sopir.
Sampai di Terminal Kampung Melayu semua penumpang turun dan membayar, tetapi tiba-tiba si sopir berteriak, “yang tadi kentut belum bayar.” Seorang laki-laki dengan spontan berkata, “Oh tadi saya sudah bayar kok, uangnya dua puluh limaan.” (B.H Samekto, 1972: 242)
Pada kutipan humor tersebut, sopir berusaha memengaruhi penumpang agar mengakui perbuatan (kentut). Dengan cara “yang tadi kentut belum bayar.” ternyata efektif digunakan. Hal tersebut sama seperti kutipan sebelumnya, bahwa dengan pernyataan memengaruhi seseorang secara tidak sadar akan melakukan tindakan sesuai instruksi si pemberi pengaruh.
Nggak Usah Coblos

Dalam rangka menjelang pemilu 1982 ada seorang yang ekstrem mengobarkan semangat kepada massa untuk tidak mencoblos semua gambar pemilu yang ada, sambil berpidato ia berucap, “Saudara-saudara sekalian kita sudah tahu bahwa Ka’bah adalah salah satu tempat yang dianggap suci bagi pemeluk agama Islam di dunia. Maka, bila Ka’bah dijadikan simbol partai itu sama saja menghina. Dan pohon beringin merupakan pohon yang dikeramatkan. Juga menjadi tempat roh-roh halus bersembunyi. Selain itu, di Indonesia juga menggalakkan pelestarian binatang langka, salah satunya adalah banteng. Tidak elok rasanya banteng dijadikan simbol partai.”
(Muhadjir, 1982: 275-276)
Pernyataan dari kutipan tersebut jelas memengaruhi orang lain agar tidak berpartisipasi dalam pemilu 1982. Secara langsung kutipan tersebut tidak memerintah/menyuruh orang lain agar golput, tetapi melalui pernyataannya, orang lain bisa jadi akan terpengaruh dan menjadi golput.
Demikian perlokusi dari buku humor mahasiswa karya James Danandjaja. Tiga kutipan cerita tersebut kiranya mampu mewakili cerita-cerita yang lain, karena keterbatasan waktu. Tiga pernyataan yang disampaikan dalam kutipan humor tersebut bertujuan memengaruhi lawan tutur agar bertindak dan melakukan apa yang diinstruksikan oleh petutur.

SIMPULAN
Penulis mengartikan humor sebagai segala rangsangan mental yang menyebabkan orang tertawa. Humor merupakan sarana paling baik untuk melepaskan segala “unek-unek.” Berhumor merupakan aktivitas kehidupan yang sangat digemari sampai menjadi bagian hidup sehari-hari. Salah satu humor yang didokumentasikan ke dalam sebuah buku adalah humor mahasiswa. karya James Danandjaja. Prof. Dr. James Danandjaja mengeluarkan buku Humor Mahasiswa yang bertujuan untuk melembutkan hidup. Dalam buku tersebut di bagi menjadi dua bagian, yaitu humor yang bersifat erotik dan humor yang bersifat non-erotik.
Dalam humor dibutuhkan kecerdasan kedua belah pihak, yaitu penutur dan lawan tutur. Penutur harus bisa menempatkan humornya pada saat yang tepat, sebab bila saatnya tidak tepat bisa jadi humor tersebut tidak saja tidak lucu namun juga bisa menyakiti pihak lain. Lawan tutur harus bisa bersikap dewasa dalam menanggapi sebuah humor sebab bagaimanapun ‘tajam’nya kritikan dalam sebuah humor, tetaplah humor. Maka dari itu, penulis menggunakan teori pragmatik tindak tutur, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi dari Austin dan Searle.
1.      Lokusi dari buku humor mahasiswa karya James Danandjaja hanya menguraikan tiga kutipan cerita/pernyataan. Tiga pernyataan tersebut mengungkapkan, kutipan pertama nasihat kepada pembaca tentang jangan mudah panik. Kedua, kutipan tersebut hanya lelucon belaka yang bersifat menghibur. Ketiga, kutipan yang menginformasikan keadaan, keinginan dari seseorang yang sebenarnya.
2.      Ilokusi dari buku humor mahasiswa karya James Danandjaja hanya menguraikan empat kutipan cerita/pernyataan. Dua kutipan merupakan tindak ilokusi ekspresif yaitu menanggapi atau membalas pernyataan lawan tutur, dan dua kutipan lainnya merupakan tindak ilokusi direktif, dimana ada seorang dalam percakapan yang memerintah yang lain untuk melakukan sesuatu.
3.      Perlokusi dari buku humor mahasiswa karya James Danandjaja hanya menguraikan tiga kutipan cerita/pernyataan. Tiga pernyataan yang disampaikan dalam kutipan humor tersebut bertujuan memengaruhi lawan tutur agar bertindak dan melakukan apa yang diinstruksikan oleh petutur.
  
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu gossip, dongeng, dan lain-lain. Cetakan kelima. Cetakan pertama 1984. Jakarta: Midas Surya Grafindo.
Danandjaja, James. 2011. Humor Mahasiswa. Cetakan kesepuluh. Cetakan pertama tahun 1990. Jakarta: Surya Multi Grafika
Leech, Geoffy. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. (Terj) M. D. D. Oka. Jakarta: Universitas Indonesia.
Lubis, H.A. Hamid Hasan. 1991. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Moleong, J, Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ozkafaci, Mahmut Tahir. 2001. Pak Belalang dan Nasruddin Hoja: Sebuah Analisis Komparatif.  Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro.
Setiawan. 2004. Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 6:G-HYMEN. Jakarta: Delta Pamungkas
Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suprana, Djaja. 2013. Humorologi. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.



Komentar