SARI
Wayang kulit
Jawa Timuran merupakan seni pedalangan yang berasal dari Jawa Timur. Ciri khas
wayang kulit Jawa Timuran, salah satunya terdapat pada struktur penceritaan.
Karakter penceritaan pergelaran wayang kulit Jawa Timuran sangat kuat. Hal
tersebut berkaitan erat dengan konvensi naratif dalang dengan masyarakat Jawa
Timur. Konvensi naratif dapat diartikan sebagai pemahaman pengetahuan kolektif
antara pelaku seni dengan penikmat seni mengenai pengulangan-pengulangan cerita
atau adegan. Dalam hal ini, pelaku seni yaitu dalang dan penikmat seni adalah
masyarakat bersangkutan. pengetahuan kolektif tersebut
terdapat pada struktur penceritaan, pembangunan karakter tokoh, penggarapan
akhir, dan sebagainya. Masyarakat yang bukan dalam wilayah brangwetan (Jawa Timuran), akan merasa
aneh menonton wayang Kulit Jawa Timuran. Hal tersebut disebabkan, tidak adanya
pemahaman masyarakat di luar wilayah brangwetan
mengenai konvensi naratif wayang kulit Jawa Timuran. Struktur penceritaan
tersebut berkaitan dengan pengadeganan, dimana struktur penceritaan wayang
kulit Jawa Timuran mengalir mengikuti alur cerita. Maksudnya, jalinan antar
adegan atau cerita tidak dipisah-pisahkan secara tegas, tetapi mengalir
mengikuti narasi. Narasi yang dibangun dalang berfungsi sebagai pembentuk
karakter cerita. Karakter penceritaan menjadi identitas masyarakat Jawa Timur.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini mempunyai rumusan masalah tentang karakter penceritaan pergelaran wayang kulit Jawa Timuran.
Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan karakter
penceritaan pergelaran wayang kulit Jawa Timuran. Metode penelitian menggunakan
pendekatan etnografi untuk memahami karakter masyarakat dan seni di Jawa Timur
dan menggunakan pendekatan hermeneutik untuk menafsirkan cerita wayang kulit
yang dipergelarkan. Penelitian ini menghasilkan tiga
hal yang berkaitan dengan karakter penceritaan pergelaran wayang kulit Jawa
Timuran, antara lain pelungan sebagai
karakter utama penceritaan, pengadeganan yang memiliki lima jejer, dan perang kembang yang hanya
diceritakan melalui suluk dan pocapan.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Pergelaran
wayang kulit merupakan karya seni yang memuat berbagai jenis kesenian. Berbagai
jenis kesenian tersebut, antara lain, seni rupa, seni musik (karawitan), seni
suara, seni bahasa dan sastra, dan seni drama. Seni rupa terdapat pada
tipografi bentuk wayang, bentuk gamelan, dan perlengkapan atau peralatan yang
mendukung pergelaran. Seni musik terdapat pada alunan gamelan yang dimainkan
oleh niyaga atau pengrawit. Seni suara merupakan olah vokal dari pesindhen, penggerong, dan dalang. Seni bahasa dan sastra terdapat pada catur yang dimainkan dalang. Sedangkan
seni drama terdapat pada adegan-adegan (sabetan)
yang dimainkan dalang.
Purwadi (2009:25) menyatakan pagelaran wayang
kulit merupakan tontonan berupa boneka yang terbuat dari kulit penuh
warna-warni, bentuknya melukiskan suatu bangun kepribadian manusia, dalam aspek
kedalamannya justru merupakan tuntunan kehidupan, sehingga juga disebut wayang
purwa. Maksudnya, cerita wayang merupakan representasi dari kehidupan manusia
dimana dalam cerita tersebut menguraikan tuntunan-tuntunan hidup menjadi lebih
baik. Dalang hendaknya mempunyai kemampuan secara intelektual, emosional,
maupun spiritual agar filosofi-filosofi lokal yang memuat tuntunan kehidupan
dapat disampaikan kepada penonton dengan baik.
Walaupun
demikian, daerah yang mempunyai kesenian wayang kulit antara satu dengan
lainnya berbeda karakteristiknya. Jawa Timur mempunyai gaya tersendiri dalam
menampilkan pergelaran wayang kulit. Wayang kulit Jawa Timuran atau biasa
disebut Wayang Jekdong atau wayang
kulit wetanan mempunyai teritorial di
wilayah brangwetan atau sebelah timur
Kali Brantas (Pramulia, 2017:6 – 7). Wilayah ini merupakan area budaya Jawa
Timur yang masyarakatnya menggunakan Bahasa Jawa dialek Arek. Berdasarkan hal tersebut, pakeliran di Jawa Timur dibagi
menjadi empat wilayah, yaitu Mojokertoan, Porongan, Malangan, dan Pesisiran.
Salah satu unsur
penting wayang kulit Jawa Timuran, yaitu struktur penceritaan. Struktur
penceritaan dibangun berdasarkan pathet
(babak) yang berkaitan langsung
dengan pengadeganan. Struktur penceritaan wayang kulit Jawa Timuran mengalir
mengikuti alur cerita. Jalinan antar adegan atau cerita tidak dipisah-pisahkan
secara tegas, tetapi mengalir mengikuti narasi. Narasi yang dibangun dalang
berfungsi sebagai pembentuk karakter cerita. Berbeda dengan gaya penceritaan
wayang kulit Surakarta dan Yogyakarta yang lebih menguatkan unsur dramatiknya,
dimana cerita dibangun berdasarkan dramatisasi adegan. Karakter penceritaan
yang jelas dalam wayang kulit Jawa Timuran, yiatu pelungan. Pelungan
diucapkan dalang dengan teknik bercerita. Fungsi dari pelungan
untuk melantunkan doa pembuka pergelaran wayang kulit.
Menurut
Sujamto (1995:26-27) wayang merupakan wahana pengabdian dalang bagi masyarakat,
Negara dan bangsa serta umat manusia pada umumnya. Dalang milik masyarakat,
sehingga seorang dalang hendaknya mengetahui kebutuhan masyarakat dalam
menonton pergelaran wayang kulit. Maksudnya, seorang dalang diwajibkan mengerti
dan memahami penontonnya agar kesenian wayang kulit tidak ditinggalkan
masyarakat karena dianggap monoton. Berdasarkan hal tersebut, pergelaran wayang
kulit Jawa Timuran dapat dikatakan sudah memenuhi kebutuhan masyarakat, karena
pergelaran wayang kulit Jawa Timuran mempunyai karakter penceritaan yang unik. Karakter
tersebut dapat dikatakan sebagai konvensi naratif antara dalang dengan penonton
wayang kulit.
Gaya Penceritaan wayang kulit Jawa Timuran dapat dikatakan
sebagai dramatic story telling Basuki (2010:110). Maksudnya, dalang wayang kulit Jawa Timuran seakan-akan mendongeng,
bukan memainkan drama. Pergantian antar adegan tidak dengan tiba-tiba,
melainkan dalang memberikan tanda yang berupa suluk atau pocapan. Adegan-adegan
yang disuguhkan mengikuti gaya penceritaan sesuai dengan narasi dalang,
sehingga adegan-adegan yang dimainkan tidak terputus begitu saja. Karakter
tersebut berkaitan erat dengan seni Jawa Timur lainnya yang memiliki ciri khas dramatic
story telling, antara lain
Kentrung (Tuban dan Bojonegoro), Kempling (Tulungagung), dan Mongdhe (Nganjuk).
Konvensi
naratif yang dimiliki dalang dan masyarakat Jawa Timur berdampak pada
eksistensi wayang kulit Jawa Timuran. Dalang wayang kulit Jawa Timuran wajib
memahami karakter masyarakat Jawa Timur. Karakter tersebut tercermin dalam
perilaku, bahasa, dan tindakan. Masyarakat Jawa Timur terkenal tegas dan blakasuta. Maksudnya, masyarakat Jawa
Timur cenderung terbuka (apa adanya) jika mengungkapkan perasaan. Laksono
(2004:49) menyatakan bahwa masyarakat Jawa Timuran, khususnya Pesisir gaya
berbicaranya lugas dan tidak banyak basa-basi. Hal
tersebut juga dapat dilihat dari kesenian tradisionalnya, seperti remo dan Ludruk yang mencerminkan ketegasan.
Kesenian-kesenian Jawa
Timuran merupakan representasi dari rakyat kecil. Dapat dikatakan bahwa
kesenian Jawa Timuran bernuansa kerakyatan. Misalnya, lakon-lakon Ludruk dominan menceritakan permasalahan
rakyat kecil, seperti “Sarip” dan “Sakerah”. Ludruk merupakan seni lokal
yang menjadi penanda identitas “sub kultur Surabaya-an” (Sudikan,
2004:32). Berkaitan dengan hal tersebut, adegan Gara-Gara pada
pergelaran wayang kulit Jawa Timuran tidak disajikan secara khusus.
Maksudnya, sajian Gara-Gara disesuaikan dengan alur lakon yang
dipentaskan. Bahkan, tokoh dalam Gara-Gara bisa dimunculkan kapan saja, karena
mewakili masyarakat kecil. Tokoh dalam adegan tersebut hanya menyajikan dua
Panakawan yaitu Semar dan Bagong.
Karakter penceritaan berkaitan dengan
struktur penceritaan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa struktur
penceritaan wayang kulit Jawa Timuran mengalir mengikuti alur cerita. Jalinan
antar adegan atau cerita tidak dipisah-pisahkan secara tegas, tetapi mengalir
mengikuti narasi. Struktur penceritaan wayang kulit Jawa Timuran dibangun
berdasarkan empat pathet. Empat pathet tersebut, antara lain pathet sepuluh, pathet wolu, pathet sanga, dan pathet serang. Menurut Soetarno (2002:151) setiap pathet mempunyai struktur internal yang sama terdiri dari tiga
bagian, yaitu jejer, adegan, dan
perang. Tiga bagian mempunyai struktur, yaitu deskripsi, dialog, dan tindakan.
Deskripsi, dialog, dan adegan dirangkai oleh dalang berdasarkan konvensi
naratif yang sudah dipahami masyarakat Jawa Timur.
Di
sisi lain, gaya penceritaan wayang kulit Jawa Timuran membuat ending cerita yang sulit ditebak
penonton. Hal tersebut disebabkan, ending
cerita akan dibangun sesuai dengan improvisasi narasi dalang. Misalnya, ending cerita bisa menggantung,
kemenangan tokoh utama, atau bahkan kegagalan tokoh utama. Dalam hal ini, karakter penceritaan wayang kulit
Jawa Timuran merupakan konvensi naratif antara dalang dengan penonton. Basuki
(2010:100) menyatakan konvensi naratif merupakan
pengetahuan bersama (dalang dan penonton) yang dibentuk dari repetisi sebuah
cerita. Pengetahuan bersama tersebut bisa berupa struktur penceritaan,
pembangunan karakter, bagaimana cerita berakhir, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas,
penelitian ini mempunyai rumusan masalah bagaimana karakter penceritaan wayang
kulit Jawa Timuran? dan bertujuan untuk mendeskripsikan karakter penceritaan
wayang kulit Jawa Timuran. Manfaat teoretis penelitian ini untuk mengetahui
karakter penceritaan wayang kulit Jawa Timuran. Manfaat praktis penelitian ini,
antara lain (a)
penelitian ini dapat menjadi bahan perbandingan terhadap penelitian baru dengan
objek pergelaran wayang kulit Jawa Timuran; (b) penelitian ini sebagai bahan
rujukan pembaca atau penggemar wayang kulit untuk membedakan dan atau
membandingkan karakter penceritaan pergelaran wayang kulit Jawa Timuran dengan
gaya Yogyakarta dan Surakarta.
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif yang yang menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata lisan yang
sudah ditranskripsi menjadi kata-kata tertulis. Menurut Soedarsono (1999:39)
bahan atau data penelitian kualitatif harus dicermati untuk mendapatkan
seperangkat ukuran-ukuran yang ditentukan. Bahan atau data tersebut bisa
terdiri dari ujaran, catatan yang terekam dalam konteks berbeda. Maksud dari
berbeda, yaitu data bisa diperoleh dari observasi, perekaman langsung, dan
wawancara langsung. Beberapa perbedaan bahan dan data diklasifikasikan dan
dipadukan untuk mencari persamaan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan
etnografi untuk memahami identitas masyarakat Jawa Timur, khususnya masyarakat
Jawa Timur teritorial arek melalui
pergelaran wayang kulit Jawa Timuran. Selain itu, peneliti menggunakan
pendekatan hermeneutik untuk mengetahui ujaran-ujaran dalang mengenai cerita
dan struktur penceritaan yang diuraikan dengan bahasa sanepa, pasemon atau
simbolis. Berdasarkan uraian tersebut, jenis penelitian ini bersifat deskriptif
kualitatif, yaitu berupaya memaparkan secara analitis prespektif dan berupaya
untuk mendeskripsikan karakter penceritaan pergelaran wayang kulit Jawa Timuran.
Sumber data penelitian ini, yaitu pergelaran
wayang kulit Jawa Timuran lakon Bale Gala-Gala dengan dalang Ki. Sinarto, S.Kar.,
M.M. Data penelitian merujuk pada ujaran-ujaran dalam adegan yang berkaitan
langsung dengan karakter penceritaan wayang kulit Jawa Timuran. Penelitian ini
menggunakan tiga teknik pengumpulan data. Tiga teknik tersebut dijadikan bahan
untuk proses selanjutnya. Tiga teknik tersebut saling berkaitan satu dengan
lainnya. Teknik pengumpulan data antara lain, teknik observasi, teknik
perekaman, dan teknik wawancara. Sedangkan teknik analisis data menggunakan
tiga tahapan, antara lain interpretasi, eksplanasi, dan deskripsi.
PEMBAHASAN
Karakter penceritaan wayang kulit Jawa
Timuran merupakan hasil inovasi dan improvisasi narasi dalang. Dalang dapat
mengubah cerita dan adegan sesuai kebutuhan masyarakat dan zaman. Menurut
Sinarto (wawancara tanggal 20 Oktober 2015) alur
cerita atau bahkan pengadeganan bisa berubah sewaktu-waktu, hal tersebut
bertujuan agar penonton tetap menonton sampai pertunjukan selesai (tancep kayon). Maksudnya, pertunjukan
wayang kulit Jawa Timuran wajib ditonton sampai tancep kayon, sehingga penonton dapat mengerti ending cerita dan memahami makna lakon. Dalam pergelaran wayang kulit Jawa Timuran walaupun lakon sama dan dalang berbeda, ending cerita bisa berbeda. Bahkan, satu
dalang yang memainkan lakon sama di
waktu yang berbeda, ending cerita
juga bisa berbeda. Hal itulah yang menjadi salah satu karakter wayang kulit
Jawa Timuran.
Karakter penceritaan wayang kulit Jawa Timuran
sudah tampak pada pathet sepuluh
(babak 1), dimana dalang mengucapkan pelungan.
Pelungan
atau drojogan merupakan lagon vokal dalang. Tim Dikbud Propinsi
Jatim (1995/1996:9) menguraikan pelungan
berasal dari kata ‘lung’, yaitu nama
tumbuhan yang hidup dengan merambat. Dalam istilah Jawa disebut ‘Wit-Lung’
(pohon lung atau pohon ketela
rambat). Maksudnya, merambat merupakan konsep orang Jawa membayangkan sesuatu
yang panjang dan berkelok-kelok untuk mencapai tujuan. Tujuan yang dimaksud
yaitu Tuhan Yang Mahakuasa. Artinya, manusia harus bekerja keras untuk mencapai
ridha Tuhan, atau bahkan mencapai Tuhan itu sendiri. Pelungan juga dapat dikatakan sebagai doa, permohonan izin, dan
harapan dari dalang untuk membuka pergelaran. Dalang meminta izin untuk
mendalang, agar masyarakat penonton ikut mendoakan kelancaran pergelaran wayang
kulit semalam suntuk.
Tabel 1
Pelungan Wayang Kulit Jawa Timuran
Bahasa
Asli
|
Terjemahan
Bebas
|
Ingsun miwiti
anggawan wayang,
o, bambang
paesan keliring wayang,
gelaring
jagad dumadi,
klarapaning
naga papasihan,
preciking
tapele jagad gumelar,
ya na
jajraging sangka buwana.
Gligen
ngajeging lasi blencong kencana murti,
Uriping
Bathara Kama
ya na sulak
ing Bathara Surya
ing sowang
purba wasesa,
ya na kotakku
kayu cendana sari, o
tutuping
dhuwur jati kusuma
ya na kebak
panggetaking ati,
Jengkala
keketeging rasa kendhang,
panuntuting wirama wiramane gendhing.
|
Aku akan mulai mendalang, wayangku adalah bambangan (pemuda), menggelar
jagad ciptaan Tuhan, gedebogku
berkekuatan dua naga yang sedang memadu kasih, pracik
(ikat atas dan bawah) layar bagaikan sabuk jagad raya, kekuatannya
bagaikan penyangga jagad.
Kekuatan tiang penegak di sebelah kanan-kiri kelir sebagai
pagar (rajeg) yang berkekuatan besi, Adapun lampu penerangnya bagaikan mas
yang dimiliki dewa, Hidupnya Bathara Kama
dibalik
Bathara Surya yang dikaruniai
kekuasaan
untukmenguasai, mengatur/menata pada alam raya ini, Tempat wayang (kotak) memakai bahan
sarinya kayu cendana yang harum itu, Tutup kotak bagian atas menggunakan bahan kayu jati yang
harum (kusuma = kembang), Sebagai
alat pengiringku (gamelanku) kuatnya tabuhan kendang,
yang
diikuti irama alunan gendhing.
|
Pelungan
hanya ditemukan dalam pergelaran wayang kulit Jawa Timuran. Pelungan merupakan awal terlihatnya
karakter penceritaan wayang kulit Jawa Timuran. Dalam pelungan dalang meminta izin kepada masyarakat untuk menggelar
pertunjukan wayang kulit serta menceritakan kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan
tersebut berasal dari keterpaduan perangkat wayang kulit yang berbeda-beda
untuk menggelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Secara filosofis,
dalang meminta izin penonton agar penonton mendoakan pergelaran wayang kulit
semalam suntuk lancar dan tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Hal itulah
yang dimaksud dengan sesuatu
yang panjang dan berkelok-kelok untuk mencapai tujuan.
Pelungan diuraikan dalang dengan nada tenang diiringi
suara rebab dan kendang yang mencerminkan nuansa Jawa Timuran. Nuansa Jawa
Timuran yang dimaksud merupakan simbol ketegasan. Nuansa Jawa Timuran ini
kontradiktif dengan pelungan yang
tenang dan terkesan hening, akan tetapi dari kontradiktif tersebut menimbulkan
kekhasan Jawa Timur dan indah didengar. Kekhasan Jawa Timuran ini berkaitan
dengan karakter masyarakat Jawa Timur yang tegas tetapi tetap mengedepankan unggah-ungguh atau sopan santun.
Karakter penceritaan wayang kulit Jawa Timuran juga
terlihat pada konsep pengadeganan. Pengadeganan merupakan salah satu struktur penceritaan yang unik dari
wayang kulit Jawa Timuran, sehingga dapat dikatakan pengadeganan wayang kulit
Jawa Timuran dengan gaya lainnya berbeda. Dalam pengadeganan terdapat peralihan
antara adegan satu dengan adegan lainnya. Dalam wayang kulit Jawa Timuran
peraalihan adegan seringkali menggunakan narasi (pocapan) tanpa memainkan adegan. Berikut merupakan tabel
perbandingan pengadeganan antara pergelaran wayang kulit Jawa Timuran dengan
gaya Surakarta.
Tabel 2
Pengadeganan
Pergelaran Wayang Kulit
|
Wayang Kulit Gaya Surakarta
|
Wayang Kulit Jawa Timuran
|
||
No
|
Adegan
|
Gendhing
|
Adegan
|
Gendhing
|
1
|
Jejer 1 Pathet nem
Tamu datang
Bubaran,
ratu masuk
|
Gendhing Kabor
dilanjutkan Ladrang. Krawitan.
Ladrang Remeng
Ayak-ayakan Panjang Mas
|
Jejer 1
Pathet wolu dan sepuluh
|
Gendhing Gandakusuma
|
2
|
Kedhatonan
|
Gendhing Darmokeli/Gandrungmangu
|
Kedhatonan
|
Gendhing Gethek Rancak
|
3
|
Pasowanan jawi
|
Gendhing Kembangtiba
|
Paseban Jawi
|
Gendhing Ayak Kumpul Arang
|
4
|
Budhalan
|
Lancaran Kebogiro/Wrahatbala/Manjarsewu/
Singonebah
|
Jejer 2
|
Gendhing Gedog Rancak
|
5
|
Jejer 2 Sabrangan
Perang Gagal
|
Gendhing Udansore, Ladrang Kembang
Gadhung, Srepegan Pinjalan
Srepegan, Guntur
|
Perang Sepisan
|
Gendhing Ayak Kempul Kerep
|
6
|
Peralihan
|
Srepegan
pathet sanga
|
Jejer 3
|
Gendhing Dhudha Bingung
|
7
|
Adegan Pandita Pathet Sanga
|
Gendhing Langudhempel dilanjutkan
ladrangan
|
Perang
Gagal Pathet Sanga
|
Krucilan Kempul Kerep
|
8
|
Perang Kembang
|
Ladrang Babad Kenceng
|
Jejer 4
|
Gendhing
Jonjang
|
9
|
Sesudah Perang Kembang
|
Gendhing Gandrung Mangungkung
|
Jejer 5
|
Gendhing
Rangsang
|
10
|
Peralihan
|
Sulukan Pathet Manyura
|
Perang Brubuh
|
Krucilan
Kempul Kerep
|
11
|
Jejer 3 Pathet Manyura
|
Gendhing Gliyung
|
Tanceb Kayon
|
Gendhing
penutup
|
12
|
Perang
Brubuh
|
Srepegan, Guntur
|
|
|
13
|
Tanceb Kayon
|
Gendhing Boyong
|
|
|
Sumber: Kayam (2001: 91-99).
Masyarakat
penggemar wayang kulit yang tidak terbiasa mendengarkan gendhing-gendhing wayang
kulit Jawa Timuran akan merasa aneh bahkan asing. Menurut Sinarto (wawancara
tanggal 20 Oktober 2015) gendhing
Jawa Timuran berbeda dengan gaya lainnya. Adegan perang dalam wayang kulit Jawa
Timuran menggunakan gendhing krucilan, dimana suara gamelan dominan
pada saron dan peking yang dipukul secara berirama bergantian. Suara gamelan dan gendhing krucilan tersebut mencerminkan
karakter masyarakat Jawa Timur yang terbuka atau blakasuta terhadap keadaan.
Menurut Sinarto (wawancara tanggal 20 Oktober
2015) gendhing-gendhing seperti Gethek
Rancak, Gedok Rancak merupakan
khas Jawa Timuran. Gendhing-gendhing tersebut digunakan untuk
mengiringi Ludruk. Bahkan, gendhing Gandakusuma hanya terdapat dalam wayang kulit Jawa Timuran. Selain
itu, gendhing-gendhing tersebut tidak ditemukan dalam wayang kulit Surakarta dan
Yogyakarta. Bahkan, masyarakat Jawa Timur yang berasal dari residu Mataraman
(Madiun, Kediri, dan sekitarnya) akan sulit menikmati nuansa gendhing tersebut, karena rasa budaya
yang dimiliki berbeda.
Suara gamelan dan gendhing-gendhing yang
digunakan berkaitan dengan pengadeganan pergelaran wayang kulit Jawa Timuran. Wayang kulit Jawa Timuran memakai
lima jejer, bahkan menurut Sinarto (wawancara tanggal 20 Oktober 2015) ada yang memakai enam jejer. Hal tersebut berkaitan dengan
ciri khas struktur penceritaannya, yaitu dramatic
story telling. Sedangkan wayang kulit Surakarta dan Yogyakarta
menggunakan tiga jejer dengan dua
peralihan. Peralihan tersebut sebagai ciri khas struktur penceritaannya, yaitu
dramatisasi adegan.
Ketika
beberapa pengadeganan wayang kulit Jawa Timuran diubah dalang menjadi
pengadeganan Surakarta, maka taste
atau cita rasa akan berubah. Seperti yang dilakukan Sinarto (tanggal 30 Agustus
2015) dalam lakon Bale Gala-Gala, pada saat adegan Paseban Jawi menggunakan
gendhing Kembang tiba. Pada adegan tersebut, dalang hanya menggerakan wayang
masuk kelir dengan diiringi gendhing
dari sindhen. Dalam pengadeganan
tersebut dalang tidak menggunakan dramatic
story telling. Maksudnya, dalang tidak melakukan cerita mengenai
tokoh-tokoh wayang yang dikeluarkan atau suasana yang terjadi.
Berdasarkan
hal itu, penulis mewawancara empat penonton tua dan satu penonton muda untuk
menanggapi pengubahan pengadeganan tersebut. Empat penonton tua berpendapat
bahwa hal tersebut terasa aneh dan irama gamelannya kurang bergas. Satu penonton muda berpendapat perpindahan adegan kurang
akrab di telinganya. Karakter penceritaan memengaruhi minat penonton terhadap
wayang kulit. Walaupun hanya persepsi,
karakter penceritaan pergelaran wayang kulit ternyata bisa berkorelasi
dengan karakter masyarakatnya dan sekaligus sebagai penanda identitas
masyarakat Jawa Timur.
Karakter
penceritaan yang ditemukan lagi dalam pergelaran wayang kulit Jawa Timuran
dengan lakon Bale Gala-Gala, yaitu adegan perang kembang. Adegan perang kembang tidak ditampilkan, melainkan hanya diceritakan bahwa
Druwacana berperang melawan Sanjaya. Perang tersebut diceritakan melalui suluk greget saut palaran pathet wolu
dan pocapan perang kembang. Berikut datanya.
Tabel 3
Perang Kembang Bale Gala-Gala
|
Bahasa Asli
|
Terjemahan Bebas
|
Suluk greget saut palaran
pathet wolu
|
Raseksa kagiri
giri,
Gengnya lir
prabata,
abang
kawlagar,
manguwuh ing
mungsuh,
haminta lawan,
anggro sru sanganabda.
|
Raksasa
besar bertingkah menakutkan,
tinggi besarnya seperti gunung, merah menyala seperti terbakar, berseru kepada musuh, meminta lawan tanding, mengerang-erang dengan keras. |
Pocapan perang kembang
|
Ketingal sa gunung anakan gedene.
Pasrayahan saking Praja Ngastina. Sukutaning Patih Sangkuni. Prabu Druwacana.
Narendra tanah Nisadha. Rumangsa kabeh dadi pipih para wadyabala. Katon
saking tebih Raden Sanjaya. Bebasan tumpes tampes tanpa wilas. Kabeh pada
kendang kapracondang. Sigra pada sumawranggah. Mboten narimakaken bubaring
para wadyabala tanding, inggih sang Prabu Druwacana. Ngebrak tanpa ngamuk
punggung mbrengengeng pandarapan pangrayah kaya banteng ketaton
|
Wujudnya
sebesar gunung. Orang suruhan dari Astina. Sekutu dari Patih Sangkuni. Prabu
Druwacana. Berasal dari Nisadha. Rasanya semua menjadi kecil. Terlihat dari
jauh Raden Sanjaya. Pasukan Nisadha bagaikan tertumpas tanpa bekas. Semua
hancur lebur. Tersingkir para pasukan. Druwacana tidak terima kekalahan
pasukannya. Marah, dia meraung seperti banteng kesakitan.
|
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa perang kembang pada pathet wolu tidak ditampilkan. Perang
kembang hanya diceritakan melalui suluk
dan pocapan. Hal tersebut merupakan
karakter yang dinamakan dramatic story telling, dimana
dalang menceritakan dan bukan menampilkan adegan dengan gerak. Gaya penceritaan seperti ini
membentuk adegan-adegan yang saling merangkai mengikuti narasi dalang, sehingga
adegan-adegan tidak terputus begitu saja. Selain itu, penyelesaian
masalah dalam wayang kulit Jawa Timuran, tidak terjadi secara jelas. Penonton
harus menunggu sampai pathet serang (babak ketiga) berakhir, agar bisa
mengetahui akhir cerita, karena adegan demi
adegan (jejer, ginem, perang) mengalir saling
bergantian. Adegan demi adegan tersebut ada yang ditampilkan, tetapi lebih
banyak diceritakan. Di sisi lain, akhir cerita tidak harus dengan kekalahan
tokoh antagonis, tetapi bisa merupakan pengungkapan rahasia dalam lakon.
SIMPULAN
Struktur
penceritaan wayang kulit Jawa Timuran merupakan penanda identitas masyarakat
Jawa Timur. Struktur penceritaan dapat dikatakan sebagai karakter pergelaran
wayang kulit Jawa Timuran. Karakter penceritaan wayang kulit Jawa Timuran
mengalir mengikuti alur cerita yang dibangun dari inovasi dan improvisasi
dalang. Inovasi dan mprovisasi dalang terhadap adegan merujuk pada karakter
masyarakat Jawa Timur. Hal inilah yang disebut dengan konvensi naratif.
Konvensi naratif adalah kesepahaman, baik budaya, perilaku, persepsi, dan
karakter yang dimiliki dalang dan penonton wayang kulit. Dalam hal ini, dalang
memahami kebutuhan penonton, sehingga penonton dapat memahami pergelaran wayang
kulit yang disuguhkan dalang.
Karakter
penceritaan wayang kulit Jawa Timuran berkaitan dengan pengadeganan. Jalinan
antar adegan atau cerita tidak dipisah-pisahkan secara tegas, tetapi mengalir
mengikuti narasi dalang. Narasi yang dibangun dalang berfungsi sebagai
pembentuk karakter cerita. Pergantian antara adegan satu dengan adegan lainnya
tidak dengan tiba-tiba, melainkan dalang memberikan tanda berupa suluk dan pocapan. Gaya penceritaan tersebut membentuk adegan-adegan yang
saling merangkai mengikuti narasi dalang, sehingga adegan-adegan tidak terputus
begitu saja. Pada penelitian ini dengan sumber data pergelaran wayang kulit lakon Bale Gala-Gala, karakter penceritaan yang ditemukan ada tiga hal.
Pertama
terdapat pada pelungan. Pelungan
merupakan ungkapan dalang yang meminta izin kepada masyarakat untuk mendalang,
permohonan doa, dan menceritakan kekuatan yang dimiliki. Ungkapan tersebut
diceritakan dengan karakter dramatic story telling. Maksudnya, dalam hal ini dalang membuka pergelaran
seakan-akan dengan mendongeng. Kedua, karakter penceritaan terdapat pada pengadeganan.
Wayang kulit Jawa Timuran memakai lima jejer, bahkan ada yang memakai enam jejer. Hal tersebut berkaitan dengan
ciri khas struktur penceritaannya, yaitu dramatic
story telling. Ketiga terdapat pada perang kembang, dimana adegan perang
tidak ditampilkan, melainkan diceritakan melalui suluk greget saut palaran pathet wolu dan pocapan perang kembang.
DAFTAR PUSTAKA
Basuki,
Ribut. 2010. Negosiasi Identitas dan
Kekuasaan Dalam Wayang Kulit Jawa Timuran. Disertasi. Depok: Universitas Indonesia. Tidak
Diterbitkan.
Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Propinsi Tingkat I Jawa Timur. 1995/1996. Lagon Vokal Dalang Jawa Timuran.
Surabaya.
Kayam,
Umar. 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta:
Gama Media.
Laksono,
Kisyani. 2004. Bahasa Jawa di Jawa Timur
Bagian Utara dan Blambangan: Kajian Dialektologi. Jakarta: Pusat Bahasa.
Pramulia,
Pana. 2017. Sanggit: Filosofi Pergelaran Wayang Kulit.
Lamongan: Pagan Press.
Purwadi.
2009. Pengkajian Sastra Jawa.
Yogyakarta: Pura Pustaka.
Soedarsono.
R.M. 1999. Metodologi Seni Pertunjukan
dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia dan Ford
Foundation.
Soetarno.
2002. Pakeliran Pujosumarto, Nartosabdo,
dan Pakeliran Dekade 1996 - 2001. Surakarta: STSI Press.
Sudikan,
Setya Yuwana. 2000. Wayang Krucil Sebagai
Seni Pertunjukan Rakyat: Nilai-nilai Religius, Filosofis, Etis dan Estetis.
Surabaya: Dinas P dan K Propinsi Jawa Timur.
Sujamto.
1995. Wayang dan Budaya Jawa. Cetakan Ketiga. Cetakan Pertama Tahun 1992.
Semarang: Dahara Prize.
Dipresentasikan
di Udayana Bali
Komentar