KARAKTER PENCERITAAN PERGELARAN WAYANG KULIT JAWA TIMURAN

SARI
Wayang kulit Jawa Timuran merupakan seni pedalangan yang berasal dari Jawa Timur. Ciri khas wayang kulit Jawa Timuran, salah satunya terdapat pada struktur penceritaan. Karakter penceritaan pergelaran wayang kulit Jawa Timuran sangat kuat. Hal tersebut berkaitan erat dengan konvensi naratif dalang dengan masyarakat Jawa Timur. Konvensi naratif dapat diartikan sebagai pemahaman pengetahuan kolektif antara pelaku seni dengan penikmat seni mengenai pengulangan-pengulangan cerita atau adegan. Dalam hal ini, pelaku seni yaitu dalang dan penikmat seni adalah masyarakat bersangkutan. pengetahuan kolektif tersebut terdapat pada struktur penceritaan, pembangunan karakter tokoh, penggarapan akhir, dan sebagainya. Masyarakat yang bukan dalam wilayah brangwetan (Jawa Timuran), akan merasa aneh menonton wayang Kulit Jawa Timuran. Hal tersebut disebabkan, tidak adanya pemahaman masyarakat di luar wilayah brangwetan mengenai konvensi naratif wayang kulit Jawa Timuran. Struktur penceritaan tersebut berkaitan dengan pengadeganan, dimana struktur penceritaan wayang kulit Jawa Timuran mengalir mengikuti alur cerita. Maksudnya, jalinan antar adegan atau cerita tidak dipisah-pisahkan secara tegas, tetapi mengalir mengikuti narasi. Narasi yang dibangun dalang berfungsi sebagai pembentuk karakter cerita. Karakter penceritaan menjadi identitas masyarakat Jawa Timur. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini mempunyai rumusan masalah tentang karakter penceritaan pergelaran wayang kulit Jawa Timuran. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan karakter penceritaan pergelaran wayang kulit Jawa Timuran. Metode penelitian menggunakan pendekatan etnografi untuk memahami karakter masyarakat dan seni di Jawa Timur dan menggunakan pendekatan hermeneutik untuk menafsirkan cerita wayang kulit yang dipergelarkan. Penelitian ini menghasilkan tiga hal yang berkaitan dengan karakter penceritaan pergelaran wayang kulit Jawa Timuran, antara lain pelungan sebagai karakter utama penceritaan, pengadeganan yang memiliki lima jejer, dan perang kembang yang hanya diceritakan melalui suluk dan pocapan.


LATAR BELAKANG MASALAH
Pergelaran wayang kulit merupakan karya seni yang memuat berbagai jenis kesenian. Berbagai jenis kesenian tersebut, antara lain, seni rupa, seni musik (karawitan), seni suara, seni bahasa dan sastra, dan seni drama. Seni rupa terdapat pada tipografi bentuk wayang, bentuk gamelan, dan perlengkapan atau peralatan yang mendukung pergelaran. Seni musik terdapat pada alunan gamelan yang dimainkan oleh niyaga atau pengrawit. Seni suara merupakan olah vokal dari pesindhen, penggerong, dan dalang. Seni bahasa dan sastra terdapat pada catur yang dimainkan dalang. Sedangkan seni drama terdapat pada adegan-adegan (sabetan) yang dimainkan dalang.
 Purwadi (2009:25) menyatakan pagelaran wayang kulit merupakan tontonan berupa boneka yang terbuat dari kulit penuh warna-warni, bentuknya melukiskan suatu bangun kepribadian manusia, dalam aspek kedalamannya justru merupakan tuntunan kehidupan, sehingga juga disebut wayang purwa. Maksudnya, cerita wayang merupakan representasi dari kehidupan manusia dimana dalam cerita tersebut menguraikan tuntunan-tuntunan hidup menjadi lebih baik. Dalang hendaknya mempunyai kemampuan secara intelektual, emosional, maupun spiritual agar filosofi-filosofi lokal yang memuat tuntunan kehidupan dapat disampaikan kepada penonton dengan baik.
Walaupun demikian, daerah yang mempunyai kesenian wayang kulit antara satu dengan lainnya berbeda karakteristiknya. Jawa Timur mempunyai gaya tersendiri dalam menampilkan pergelaran wayang kulit. Wayang kulit Jawa Timuran atau biasa disebut Wayang Jekdong atau wayang kulit wetanan mempunyai teritorial di wilayah brangwetan atau sebelah timur Kali Brantas (Pramulia, 2017:6 – 7). Wilayah ini merupakan area budaya Jawa Timur yang masyarakatnya menggunakan Bahasa Jawa dialek Arek. Berdasarkan hal tersebut, pakeliran di Jawa Timur dibagi menjadi empat wilayah, yaitu Mojokertoan, Porongan, Malangan, dan Pesisiran.
Salah satu unsur penting wayang kulit Jawa Timuran, yaitu struktur penceritaan. Struktur penceritaan dibangun berdasarkan pathet (babak) yang berkaitan langsung dengan pengadeganan. Struktur penceritaan wayang kulit Jawa Timuran mengalir mengikuti alur cerita. Jalinan antar adegan atau cerita tidak dipisah-pisahkan secara tegas, tetapi mengalir mengikuti narasi. Narasi yang dibangun dalang berfungsi sebagai pembentuk karakter cerita. Berbeda dengan gaya penceritaan wayang kulit Surakarta dan Yogyakarta yang lebih menguatkan unsur dramatiknya, dimana cerita dibangun berdasarkan dramatisasi adegan. Karakter penceritaan yang jelas dalam wayang kulit Jawa Timuran, yiatu pelungan. Pelungan diucapkan dalang dengan teknik bercerita. Fungsi dari pelungan untuk melantunkan doa pembuka pergelaran wayang kulit.
Menurut Sujamto (1995:26-27) wayang merupakan wahana pengabdian dalang bagi masyarakat, Negara dan bangsa serta umat manusia pada umumnya. Dalang milik masyarakat, sehingga seorang dalang hendaknya mengetahui kebutuhan masyarakat dalam menonton pergelaran wayang kulit. Maksudnya, seorang dalang diwajibkan mengerti dan memahami penontonnya agar kesenian wayang kulit tidak ditinggalkan masyarakat karena dianggap monoton. Berdasarkan hal tersebut, pergelaran wayang kulit Jawa Timuran dapat dikatakan sudah memenuhi kebutuhan masyarakat, karena pergelaran wayang kulit Jawa Timuran mempunyai karakter penceritaan yang unik. Karakter tersebut dapat dikatakan sebagai konvensi naratif antara dalang dengan penonton wayang kulit.
 Gaya Penceritaan wayang kulit Jawa Timuran dapat dikatakan sebagai dramatic story telling Basuki (2010:110). Maksudnya, dalang wayang kulit Jawa Timuran seakan-akan mendongeng, bukan memainkan drama. Pergantian antar adegan tidak dengan tiba-tiba, melainkan dalang memberikan tanda yang berupa suluk atau pocapan. Adegan-adegan yang disuguhkan mengikuti gaya penceritaan sesuai dengan narasi dalang, sehingga adegan-adegan yang dimainkan tidak terputus begitu saja. Karakter tersebut berkaitan erat dengan seni Jawa Timur lainnya yang memiliki ciri khas dramatic story telling, antara lain Kentrung (Tuban dan Bojonegoro), Kempling (Tulungagung), dan Mongdhe (Nganjuk).
 Konvensi naratif yang dimiliki dalang dan masyarakat Jawa Timur berdampak pada eksistensi wayang kulit Jawa Timuran. Dalang wayang kulit Jawa Timuran wajib memahami karakter masyarakat Jawa Timur. Karakter tersebut tercermin dalam perilaku, bahasa, dan tindakan. Masyarakat Jawa Timur terkenal tegas dan blakasuta. Maksudnya, masyarakat Jawa Timur cenderung terbuka (apa adanya) jika mengungkapkan perasaan. Laksono (2004:49) menyatakan bahwa masyarakat Jawa Timuran, khususnya Pesisir gaya berbicaranya lugas dan tidak banyak basa-basi. Hal tersebut juga dapat dilihat dari kesenian tradisionalnya, seperti remo dan Ludruk yang mencerminkan ketegasan.
 Kesenian-kesenian Jawa Timuran merupakan representasi dari rakyat kecil. Dapat dikatakan bahwa kesenian Jawa Timuran bernuansa kerakyatan. Misalnya, lakon-lakon Ludruk dominan menceritakan permasalahan rakyat kecil, seperti “Sarip” dan “Sakerah”. Ludruk merupakan seni lokal yang menjadi penanda identitas “sub kultur Surabaya-an” (Sudikan, 2004:32). Berkaitan dengan hal tersebut, adegan Gara-Gara pada pergelaran wayang kulit Jawa Timuran tidak disajikan secara khusus. Maksudnya, sajian Gara-Gara disesuaikan dengan alur lakon yang dipentaskan. Bahkan, tokoh dalam Gara-Gara bisa dimunculkan kapan saja, karena mewakili masyarakat kecil. Tokoh dalam adegan tersebut hanya menyajikan dua Panakawan yaitu Semar dan Bagong.
 Karakter penceritaan berkaitan dengan struktur penceritaan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa struktur penceritaan wayang kulit Jawa Timuran mengalir mengikuti alur cerita. Jalinan antar adegan atau cerita tidak dipisah-pisahkan secara tegas, tetapi mengalir mengikuti narasi. Struktur penceritaan wayang kulit Jawa Timuran dibangun berdasarkan empat pathet. Empat pathet tersebut, antara lain pathet sepuluh, pathet wolu, pathet sanga, dan pathet serang. Menurut Soetarno (2002:151) setiap pathet mempunyai struktur internal yang sama terdiri dari tiga bagian, yaitu jejer, adegan, dan perang. Tiga bagian mempunyai struktur, yaitu deskripsi, dialog, dan tindakan. Deskripsi, dialog, dan adegan dirangkai oleh dalang berdasarkan konvensi naratif yang sudah dipahami masyarakat Jawa Timur.
Di sisi lain, gaya penceritaan wayang kulit Jawa Timuran membuat ending cerita yang sulit ditebak penonton. Hal tersebut disebabkan, ending cerita akan dibangun sesuai dengan improvisasi narasi dalang. Misalnya, ending cerita bisa menggantung, kemenangan tokoh utama, atau bahkan kegagalan tokoh utama. Dalam hal ini, karakter penceritaan wayang kulit Jawa Timuran merupakan konvensi naratif antara dalang dengan penonton. Basuki (2010:100) menyatakan konvensi naratif merupakan pengetahuan bersama (dalang dan penonton) yang dibentuk dari repetisi sebuah cerita. Pengetahuan bersama tersebut bisa berupa struktur penceritaan, pembangunan karakter, bagaimana cerita berakhir, dan sebagainya.
 Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mempunyai rumusan masalah bagaimana karakter penceritaan wayang kulit Jawa Timuran? dan bertujuan untuk mendeskripsikan karakter penceritaan wayang kulit Jawa Timuran. Manfaat teoretis penelitian ini untuk mengetahui karakter penceritaan wayang kulit Jawa Timuran. Manfaat praktis penelitian ini, antara lain (a) penelitian ini dapat menjadi bahan perbandingan terhadap penelitian baru dengan objek pergelaran wayang kulit Jawa Timuran; (b) penelitian ini sebagai bahan rujukan pembaca atau penggemar wayang kulit untuk membedakan dan atau membandingkan karakter penceritaan pergelaran wayang kulit Jawa Timuran dengan gaya Yogyakarta dan Surakarta.
 Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang yang menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata lisan yang sudah ditranskripsi menjadi kata-kata tertulis. Menurut Soedarsono (1999:39) bahan atau data penelitian kualitatif harus dicermati untuk mendapatkan seperangkat ukuran-ukuran yang ditentukan. Bahan atau data tersebut bisa terdiri dari ujaran, catatan yang terekam dalam konteks berbeda. Maksud dari berbeda, yaitu data bisa diperoleh dari observasi, perekaman langsung, dan wawancara langsung. Beberapa perbedaan bahan dan data diklasifikasikan dan dipadukan untuk mencari persamaan.
 Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi untuk memahami identitas masyarakat Jawa Timur, khususnya masyarakat Jawa Timur teritorial arek melalui pergelaran wayang kulit Jawa Timuran. Selain itu, peneliti menggunakan pendekatan hermeneutik untuk mengetahui ujaran-ujaran dalang mengenai cerita dan struktur penceritaan yang diuraikan dengan bahasa sanepa, pasemon atau simbolis. Berdasarkan uraian tersebut, jenis penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu berupaya memaparkan secara analitis prespektif dan berupaya untuk mendeskripsikan karakter penceritaan pergelaran wayang kulit Jawa Timuran.
 Sumber data penelitian ini, yaitu pergelaran wayang kulit Jawa Timuran lakon Bale Gala-Gala dengan dalang Ki. Sinarto, S.Kar., M.M. Data penelitian merujuk pada ujaran-ujaran dalam adegan yang berkaitan langsung dengan karakter penceritaan wayang kulit Jawa Timuran. Penelitian ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data. Tiga teknik tersebut dijadikan bahan untuk proses selanjutnya. Tiga teknik tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya. Teknik pengumpulan data antara lain, teknik observasi, teknik perekaman, dan teknik wawancara. Sedangkan teknik analisis data menggunakan tiga tahapan, antara lain interpretasi, eksplanasi, dan deskripsi.

PEMBAHASAN
Karakter penceritaan wayang kulit Jawa Timuran merupakan hasil inovasi dan improvisasi narasi dalang. Dalang dapat mengubah cerita dan adegan sesuai kebutuhan masyarakat dan zaman. Menurut Sinarto (wawancara tanggal 20 Oktober 2015) alur cerita atau bahkan pengadeganan bisa berubah sewaktu-waktu, hal tersebut bertujuan agar penonton tetap menonton sampai pertunjukan selesai (tancep kayon). Maksudnya, pertunjukan wayang kulit Jawa Timuran wajib ditonton sampai tancep kayon, sehingga penonton dapat mengerti ending cerita dan memahami makna lakon. Dalam pergelaran wayang kulit Jawa Timuran walaupun lakon sama dan dalang berbeda, ending cerita bisa berbeda. Bahkan, satu dalang yang memainkan lakon sama di waktu yang berbeda, ending cerita juga bisa berbeda. Hal itulah yang menjadi salah satu karakter wayang kulit Jawa Timuran.
 Karakter penceritaan wayang kulit Jawa Timuran sudah tampak pada pathet sepuluh (babak 1), dimana dalang mengucapkan pelungan. Pelungan atau drojogan merupakan lagon vokal dalang. Tim Dikbud Propinsi Jatim (1995/1996:9) menguraikan pelungan berasal dari kata ‘lung’, yaitu nama tumbuhan yang hidup dengan merambat. Dalam istilah Jawa disebut ‘Wit-Lung’ (pohon lung atau pohon ketela rambat). Maksudnya, merambat merupakan konsep orang Jawa membayangkan sesuatu yang panjang dan berkelok-kelok untuk mencapai tujuan. Tujuan yang dimaksud yaitu Tuhan Yang Mahakuasa. Artinya, manusia harus bekerja keras untuk mencapai ridha Tuhan, atau bahkan mencapai Tuhan itu sendiri. Pelungan juga dapat dikatakan sebagai doa, permohonan izin, dan harapan dari dalang untuk membuka pergelaran. Dalang meminta izin untuk mendalang, agar masyarakat penonton ikut mendoakan kelancaran pergelaran wayang kulit semalam suntuk.


Tabel 1
Pelungan Wayang Kulit Jawa Timuran
Bahasa Asli
Terjemahan Bebas
Ingsun miwiti anggawan wayang,
o, bambang paesan keliring wayang,
gelaring jagad dumadi,
klarapaning naga papasihan,
preciking tapele jagad gumelar,
ya na jajraging sangka buwana.
Gligen ngajeging lasi blencong kencana murti,
Uriping Bathara Kama
ya na sulak ing Bathara Surya
ing sowang purba wasesa,
ya na kotakku kayu cendana sari, o
tutuping dhuwur jati kusuma
ya na kebak panggetaking ati,
Jengkala keketeging rasa kendhang,
panuntuting wirama wiramane gendhing.
Aku akan mulai mendalang, wayangku adalah bambangan (pemuda), menggelar jagad ciptaan Tuhan, gedebogku berkekuatan dua naga yang sedang memadu kasih, pracik (ikat atas dan bawah) layar bagaikan sabuk jagad raya, kekuatannya bagaikan penyangga jagad.
Kekuatan tiang penegak di sebelah kanan-kiri kelir sebagai pagar (rajeg) yang berkekuatan besi, Adapun lampu penerangnya bagaikan mas yang dimiliki dewa, Hidupnya Bathara Kama
dibalik Bathara Surya yang dikaruniai kekuasaan
untukmenguasai, mengatur/menata pada alam raya ini, Tempat wayang (kotak) memakai bahan
sarinya kayu cendana yang harum itu, Tutup kotak bagian atas menggunakan bahan kayu jati yang harum (kusuma = kembang), Sebagai alat pengiringku (gamelanku) kuatnya tabuhan kendang,
yang diikuti irama alunan gendhing.

Pelungan hanya ditemukan dalam pergelaran wayang kulit Jawa Timuran. Pelungan merupakan awal terlihatnya karakter penceritaan wayang kulit Jawa Timuran. Dalam pelungan dalang meminta izin kepada masyarakat untuk menggelar pertunjukan wayang kulit serta menceritakan kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan tersebut berasal dari keterpaduan perangkat wayang kulit yang berbeda-beda untuk menggelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Secara filosofis, dalang meminta izin penonton agar penonton mendoakan pergelaran wayang kulit semalam suntuk lancar dan tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Hal itulah yang dimaksud dengan sesuatu yang panjang dan berkelok-kelok untuk mencapai tujuan.
Pelungan diuraikan dalang dengan nada tenang diiringi suara rebab dan kendang yang mencerminkan nuansa Jawa Timuran. Nuansa Jawa Timuran yang dimaksud merupakan simbol ketegasan. Nuansa Jawa Timuran ini kontradiktif dengan pelungan yang tenang dan terkesan hening, akan tetapi dari kontradiktif tersebut menimbulkan kekhasan Jawa Timur dan indah didengar. Kekhasan Jawa Timuran ini berkaitan dengan karakter masyarakat Jawa Timur yang tegas tetapi tetap mengedepankan unggah-ungguh atau sopan santun.
Karakter penceritaan wayang kulit Jawa Timuran juga terlihat pada konsep pengadeganan. Pengadeganan merupakan salah satu struktur penceritaan yang unik dari wayang kulit Jawa Timuran, sehingga dapat dikatakan pengadeganan wayang kulit Jawa Timuran dengan gaya lainnya berbeda. Dalam pengadeganan terdapat peralihan antara adegan satu dengan adegan lainnya. Dalam wayang kulit Jawa Timuran peraalihan adegan seringkali menggunakan narasi (pocapan) tanpa memainkan adegan. Berikut merupakan tabel perbandingan pengadeganan antara pergelaran wayang kulit Jawa Timuran dengan gaya Surakarta.
Tabel 2
Pengadeganan Pergelaran Wayang Kulit

Wayang Kulit Gaya Surakarta
Wayang Kulit Jawa Timuran
No
Adegan
Gendhing
Adegan
Gendhing
1
Jejer 1 Pathet nem
Tamu datang
Bubaran, ratu masuk
Gendhing Kabor dilanjutkan Ladrang. Krawitan.

Ladrang Remeng
Ayak-ayakan Panjang Mas
Jejer 1 Pathet wolu dan sepuluh
Gendhing Gandakusuma
2
Kedhatonan
Gendhing Darmokeli/Gandrungmangu
Kedhatonan
Gendhing Gethek Rancak
3
Pasowanan jawi
Gendhing Kembangtiba
Paseban Jawi
Gendhing Ayak Kumpul Arang
4
Budhalan
Lancaran Kebogiro/Wrahatbala/Manjarsewu/
Singonebah
Jejer 2
 Gendhing Gedog Rancak
5
Jejer 2 Sabrangan


Perang Gagal
Gendhing Udansore, Ladrang Kembang
Gadhung, Srepegan Pinjalan
Srepegan, Guntur
Perang Sepisan
 Gendhing Ayak Kempul Kerep
6
Peralihan
Srepegan pathet sanga
Jejer 3
 Gendhing Dhudha Bingung
7
Adegan Pandita Pathet Sanga
Gendhing Langudhempel dilanjutkan
ladrangan
Perang Gagal Pathet Sanga
Krucilan Kempul Kerep
8
Perang Kembang
Ladrang Babad Kenceng
Jejer 4
 Gendhing Jonjang
9
Sesudah Perang Kembang
Gendhing Gandrung Mangungkung
Jejer 5
 Gendhing Rangsang
10
Peralihan
Sulukan Pathet Manyura
Perang Brubuh
 Krucilan Kempul Kerep
11
Jejer 3 Pathet Manyura
Gendhing Gliyung
Tanceb Kayon
Gendhing penutup
12
Perang Brubuh
Srepegan, Guntur


13
Tanceb Kayon
Gendhing Boyong


  Sumber: Kayam (2001: 91-99).

Masyarakat penggemar wayang kulit yang tidak terbiasa mendengarkan gendhing-gendhing wayang kulit Jawa Timuran akan merasa aneh bahkan asing. Menurut Sinarto (wawancara tanggal 20 Oktober 2015) gendhing Jawa Timuran berbeda dengan gaya lainnya. Adegan perang dalam wayang kulit Jawa Timuran menggunakan gendhing krucilan, dimana suara gamelan dominan pada saron dan peking yang dipukul secara berirama bergantian. Suara gamelan dan gendhing krucilan tersebut mencerminkan karakter masyarakat Jawa Timur yang terbuka atau blakasuta terhadap keadaan.
 Menurut Sinarto (wawancara tanggal 20 Oktober 2015) gendhing-gendhing seperti Gethek Rancak, Gedok Rancak merupakan khas Jawa Timuran. Gendhing-gendhing tersebut digunakan untuk mengiringi Ludruk. Bahkan, gendhing Gandakusuma hanya terdapat dalam wayang kulit Jawa Timuran. Selain itu, gendhing-gendhing tersebut tidak ditemukan dalam wayang kulit Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan, masyarakat Jawa Timur yang berasal dari residu Mataraman (Madiun, Kediri, dan sekitarnya) akan sulit menikmati nuansa gendhing tersebut, karena rasa budaya yang dimiliki berbeda.
 Suara gamelan dan gendhing-gendhing yang digunakan berkaitan dengan pengadeganan pergelaran wayang kulit Jawa Timuran. Wayang kulit Jawa Timuran memakai lima jejer, bahkan menurut Sinarto (wawancara tanggal 20 Oktober 2015) ada yang memakai enam jejer. Hal tersebut berkaitan dengan ciri khas struktur penceritaannya, yaitu dramatic story telling. Sedangkan wayang kulit Surakarta dan Yogyakarta menggunakan tiga jejer dengan dua peralihan. Peralihan tersebut sebagai ciri khas struktur penceritaannya, yaitu dramatisasi adegan.
Ketika beberapa pengadeganan wayang kulit Jawa Timuran diubah dalang menjadi pengadeganan Surakarta, maka taste atau cita rasa akan berubah. Seperti yang dilakukan Sinarto (tanggal 30 Agustus 2015) dalam lakon Bale Gala-Gala, pada saat adegan Paseban Jawi menggunakan gendhing Kembang tiba. Pada adegan tersebut, dalang hanya menggerakan wayang masuk kelir dengan diiringi gendhing dari sindhen. Dalam pengadeganan tersebut dalang tidak menggunakan dramatic story telling. Maksudnya, dalang tidak melakukan cerita mengenai tokoh-tokoh wayang yang dikeluarkan atau suasana yang terjadi.
Berdasarkan hal itu, penulis mewawancara empat penonton tua dan satu penonton muda untuk menanggapi pengubahan pengadeganan tersebut. Empat penonton tua berpendapat bahwa hal tersebut terasa aneh dan irama gamelannya kurang bergas. Satu penonton muda berpendapat perpindahan adegan kurang akrab di telinganya. Karakter penceritaan memengaruhi minat penonton terhadap wayang kulit. Walaupun hanya persepsi, karakter penceritaan pergelaran wayang kulit ternyata bisa berkorelasi dengan karakter masyarakatnya dan sekaligus sebagai penanda identitas masyarakat Jawa Timur.
Karakter penceritaan yang ditemukan lagi dalam pergelaran wayang kulit Jawa Timuran dengan lakon Bale Gala-Gala, yaitu adegan perang kembang. Adegan perang kembang tidak ditampilkan, melainkan hanya diceritakan bahwa Druwacana berperang melawan Sanjaya. Perang tersebut diceritakan melalui suluk greget saut palaran pathet wolu dan pocapan perang kembang. Berikut datanya.
Tabel 3
Perang Kembang Bale Gala-Gala

Bahasa Asli
Terjemahan Bebas
Suluk greget saut palaran pathet wolu
Raseksa kagiri giri,
Gengnya lir prabata,
abang kawlagar,
manguwuh ing mungsuh,
haminta lawan,
anggro sru sanganabda.
Raksasa besar bertingkah menakutkan,
tinggi besarnya seperti gunung,
merah menyala seperti terbakar,
berseru kepada musuh,
meminta lawan tanding,
mengerang-erang dengan keras.
Pocapan perang kembang
Ketingal sa gunung anakan gedene. Pasrayahan saking Praja Ngastina. Sukutaning Patih Sangkuni. Prabu Druwacana. Narendra tanah Nisadha. Rumangsa kabeh dadi pipih para wadyabala. Katon saking tebih Raden Sanjaya. Bebasan tumpes tampes tanpa wilas. Kabeh pada kendang kapracondang. Sigra pada sumawranggah. Mboten narimakaken bubaring para wadyabala tanding, inggih sang Prabu Druwacana. Ngebrak tanpa ngamuk punggung mbrengengeng pandarapan pangrayah kaya banteng ketaton
Wujudnya sebesar gunung. Orang suruhan dari Astina. Sekutu dari Patih Sangkuni. Prabu Druwacana. Berasal dari Nisadha. Rasanya semua menjadi kecil. Terlihat dari jauh Raden Sanjaya. Pasukan Nisadha bagaikan tertumpas tanpa bekas. Semua hancur lebur. Tersingkir para pasukan. Druwacana tidak terima kekalahan pasukannya. Marah, dia meraung seperti banteng kesakitan.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa perang kembang pada pathet wolu tidak ditampilkan. Perang kembang hanya diceritakan melalui suluk dan pocapan. Hal tersebut merupakan karakter yang dinamakan dramatic story telling, dimana dalang menceritakan dan bukan menampilkan adegan dengan gerak. Gaya penceritaan seperti ini membentuk adegan-adegan yang saling merangkai mengikuti narasi dalang, sehingga adegan-adegan tidak terputus begitu saja. Selain itu, penyelesaian masalah dalam wayang kulit Jawa Timuran, tidak terjadi secara jelas. Penonton harus menunggu sampai pathet serang (babak ketiga) berakhir, agar bisa mengetahui akhir cerita, karena adegan demi adegan (jejer, ginem, perang) mengalir saling bergantian. Adegan demi adegan tersebut ada yang ditampilkan, tetapi lebih banyak diceritakan. Di sisi lain, akhir cerita tidak harus dengan kekalahan tokoh antagonis, tetapi bisa merupakan pengungkapan rahasia dalam lakon.

SIMPULAN
Struktur penceritaan wayang kulit Jawa Timuran merupakan penanda identitas masyarakat Jawa Timur. Struktur penceritaan dapat dikatakan sebagai karakter pergelaran wayang kulit Jawa Timuran. Karakter penceritaan wayang kulit Jawa Timuran mengalir mengikuti alur cerita yang dibangun dari inovasi dan improvisasi dalang. Inovasi dan mprovisasi dalang terhadap adegan merujuk pada karakter masyarakat Jawa Timur. Hal inilah yang disebut dengan konvensi naratif. Konvensi naratif adalah kesepahaman, baik budaya, perilaku, persepsi, dan karakter yang dimiliki dalang dan penonton wayang kulit. Dalam hal ini, dalang memahami kebutuhan penonton, sehingga penonton dapat memahami pergelaran wayang kulit yang disuguhkan dalang.
Karakter penceritaan wayang kulit Jawa Timuran berkaitan dengan pengadeganan. Jalinan antar adegan atau cerita tidak dipisah-pisahkan secara tegas, tetapi mengalir mengikuti narasi dalang. Narasi yang dibangun dalang berfungsi sebagai pembentuk karakter cerita. Pergantian antara adegan satu dengan adegan lainnya tidak dengan tiba-tiba, melainkan dalang memberikan tanda berupa suluk dan pocapan. Gaya penceritaan tersebut membentuk adegan-adegan yang saling merangkai mengikuti narasi dalang, sehingga adegan-adegan tidak terputus begitu saja. Pada penelitian ini dengan sumber data pergelaran wayang kulit lakon Bale Gala-Gala, karakter penceritaan yang ditemukan ada tiga hal.
Pertama terdapat pada pelungan. Pelungan merupakan ungkapan dalang yang meminta izin kepada masyarakat untuk mendalang, permohonan doa, dan menceritakan kekuatan yang dimiliki. Ungkapan tersebut diceritakan dengan karakter dramatic story telling. Maksudnya, dalam hal ini dalang membuka pergelaran seakan-akan dengan mendongeng. Kedua, karakter penceritaan terdapat pada pengadeganan. Wayang kulit Jawa Timuran memakai lima jejer, bahkan ada yang memakai enam jejer. Hal tersebut berkaitan dengan ciri khas struktur penceritaannya, yaitu dramatic story telling. Ketiga terdapat pada perang kembang, dimana adegan perang tidak ditampilkan, melainkan diceritakan melalui suluk greget saut palaran pathet wolu dan pocapan perang kembang.

DAFTAR PUSTAKA
Basuki, Ribut. 2010. Negosiasi Identitas dan Kekuasaan Dalam Wayang Kulit Jawa Timuran. Disertasi.  Depok: Universitas Indonesia. Tidak Diterbitkan.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Propinsi Tingkat I Jawa Timur. 1995/1996. Lagon Vokal Dalang Jawa Timuran. Surabaya.
Kayam, Umar. 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media.
Laksono, Kisyani. 2004. Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan: Kajian Dialektologi. Jakarta: Pusat Bahasa.
Pramulia, Pana. 2017. Sanggit: Filosofi Pergelaran Wayang Kulit. Lamongan: Pagan Press.
Purwadi. 2009. Pengkajian Sastra Jawa. Yogyakarta: Pura Pustaka.
Soedarsono. R.M. 1999. Metodologi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia dan Ford Foundation.
Soetarno. 2002. Pakeliran Pujosumarto, Nartosabdo, dan Pakeliran Dekade 1996 - 2001. Surakarta: STSI Press.
Sudikan, Setya Yuwana. 2000. Wayang Krucil Sebagai Seni Pertunjukan Rakyat: Nilai-nilai Religius, Filosofis, Etis dan Estetis. Surabaya: Dinas P dan K Propinsi Jawa Timur.
Sujamto. 1995. Wayang dan Budaya Jawa. Cetakan Ketiga. Cetakan Pertama Tahun 1992. Semarang: Dahara Prize.
Dipresentasikan di Udayana Bali

Komentar