DEKONSTRUKSI : METODE DAN TEORI MEMBONGKAR TEKS


A.    Dekonstruksi dan Postmodernisme
Metode dan teori dekonstruksi dicetuskan oleh Jacques Derrida. Dekonstruksi merupakan konsep membaca sebuah teks untuk memunculkan makna yang tersembunyi.  Dekonstruksi hadir untuk mengkritisi filsafat modernisme yang identik dengan pandangan rasionalitas. Maksudnya, rasionalitas mempunyai prinsip, yang pertamametafisika kehadiran’ (being) dan kedua ‘logosentrisme’ (percaya pada rasio/nalar). Metafisika kehadiran menganggap bahwa segala sesuatu yang dijelaskan harus memiliki bukti otentik (being). Sesuatu yang ‘being’ atau ‘ada’ bisa terwakili oleh kata dan tanda. Sehingga, sesuatu yang ‘ada’ tersebut dapat dipercaya secara nalar.
Dekonstruksi melakukan penolakan terhadap pandangan tersebut. Menurut Derrida kata, tanda, dan konsep bukanlah kenyataan yang menghadirkan “ada” melainkan hanya berupa “bekas” (trace). Maksudnya, ketiga hal tersebut merupakan penunjang untuk memeroleh makna sesungguhnya. Derrida menganggap sesuatu yang “ada” bersifat majemuk, tak berstruktur, dan tak bersistem, sehingga makna tak bisa dibenarkan melalui kata, tanda, dan konsep tunggal. Maka metafisika kehadiran atau biasa disebut metafisika modern tersebut harus dibongkar (dekonstruksi) untuk menemukan solusi atas permasalahan modernisme.
Dekonstruksi merupakan salah satu konsep berpikir yang termasuk dalam jajaran filsafat postmodernisme. Bahkan, dekonstruksi menjadi pijakan paradigma berpikir teori-teori postmodernisme untuk membongkar teks. Teori-teori postmodernisme muncul bertujuan untuk merevisi teori-teori modernisme yang dianggap tidak memberikan sumbangsih apapun terhadap ilmu pengetahuan. Bertens (2006:44) menyatakan karakter yang disuarakan postmodernisme meliputi pluralisme, heterodoks, eklektisisme, keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi, pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi, demistifikasi, delegitimasi, dan demistifikasi.
Dekonstruksi merupakan manifestasi dari metode ironi atas wacana maupun teks sebagai wujud dari narasi besar atau “Grand Narration”. Dekonstruksi memberikan kritik pada kelemahan teks yang diteliti dengan fraktur (keretakan) yang terlihat seperti suatu kesatuan. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan teks pada titik tertentu gagal untuk menarik kesimpulan sendiri dari dasar-dasar pikiran yang dibangun dan ditampilkan. Usaha mengkritisi tersebut menghasilkan suatu pemikiran bahwa kebenaran tidak tunggal.
B.     Dekonstruksi sebagai Metode
Derrida menganggap segala sesuatu merupakan ‘teks’. Bagi Derrida, filsafat harus dilihat pertama-tama sebagai tulisan – teks. Maksudnya, sebagai tulisan – filsafat bukan merupakan pemikiran atau ungkapan yang transparan secara langsung. Maka dari itu, dekonstruksi muncul sebagai metode baru untuk membaca teks-teks filosofis. Sebagai sebuah metode, dekonstruksi bertugas melacak struktur dan strategi pembentukan makna di balik tiap-tiap teks. Secara praktis, dekonstruksi merupakan sebuah metode membaca yang digunakan untuk membongkar makna tersembunyi. Dengan demikian, metode dekonstruksi dapat digunakan sebagai sarana transparan yang menampilkan makna dan kebenaran real yang bersifat ekstralinguistik.
”Tidak ada sesuatu di luar teks”. Ungkapan tersebut merupakan perkataan Derrida yang paling populer. Derrida (O’Donnell, 2009:58) menyatakan dekonstruksi bukan metode atau alat yang digunakan terhadap sesuatu dari luar teks, melainkan sesuatu yang terjadi di dalam teks. Maksudnya, teks bukan sekadar kumpulan tanda-tanda, melainkan sebuah “rajutan”, artinya makna teks tersebut terdapat dalam keseluruhan teks. Hal tersebut berbeda dengan metode yang digunakan kaum strukturalisme yang menekankan pada logosentrisme.
Logosentrisme yang dianut faham strukturalisme sering terdampar pada aspek fonosentrisme, yang mendewakan kata. Segala sesuatu pada mulanya adalah “kata“. Kendati penafsiran tak akan lepas dari kata, tetapi makna lebih dari sebuah kata. Makna justru terdapat dalam seluruh teks dan tak berdiri sendiri. Makna teks akan berubah dan berkembang sesuai dengan kekuatan daya pikir dan pengalaman pembacanya.
Intinya, metode dekonstruksi menolak otoritas sentral dalam sebuah pemaknaan. Makna tidak harus tunggal, melainkan bersifat terbuka pada makna yang lain. Makna mungkin ada dalam apa saja, hal-hal yang kecil, yang tidak diperhatikan. Kemungkinan hal-hal kecil dan tidak diperhatikan memiliki makna yang besar. Jadi, dekosntruksi menolak segala asumsi-asumsi yang membelenggu pemaknaan.

C.    Dekonstruksi sebagai Sebuah Teori
Derrida menyatakan filsafat yang mempunyai kecenderungan terhadap kebenaran yang absolute, seringkali meninggalkan hakikat bahasa dalam menyusun konsep dan teori. Filsafat tersebut mempercayai bahwa kebenaran dalam sebuah teks merupakan kebenaran tunggal. Berdasarkan hal tersebut, teori dekonstruksi menginginkan kebenaran tidak tunggal, tidak absolut. Oleh karena itu, melalui dekonstruksi teks semestinya diobrak-abrik agar pemaknaannya dapat universal.
Teori dekonstruksi diawali dengan memusatkan perhatian pada bahasa. Hal tersebut disebabkan ide, gagasan, dan konsep diungkapkan melalui bahasa. Di samping itu, dalam bahasa terdapat prioritas dan kepentingan. Kaitannya dengan bahasa, dekonstruksi ingin membiarkan bahasa pada karakter yang paradoks, polisemi, dan ambigu. Jika karakter tersebut dihidupkan kembali dalam bahasa, ia berharap bahwa filsafat tidak akan bisa lagi diklaim sebagai suatu otoritas kebenaran. Pandangan dekonstruksi menunjukkan bahwa kata pertama menjadi pondasi, prinsip, dan dominasi terhadap kata-kata berikutnya. Maksudnya, teks mempunyai konteks di dalam teks berikutnya atau konteks bisa terdapat pada teks sebelumnya.
Teori dekonstruksi berupaya menunujukkan ada pemikiran lain yang dapat menjadi pemikiran alternatif disamping pemikiran yang telah “ada”. Maksudnya, makna yang secara umum telah dipahami masyarakat dibongkar dan dicari makna barunya. Konsep yang ditawarkan bisa menjadi suara lebih bagi pemikiran-pemikiran yang selama ini terpinggirkan oleh pemikiran tunggal yang menjunjung tinggi logosentrisme. Dekonstruksi tidak berarti menjurus pada penghancuran suatu konsep tanpa solusi, tetapi juga menawarkan konsep baru untuk menggantikan konsep lama.
Teori dekonstruksi yang ditawarkan Derrida meliputi dua langkah penalaran. Pertama, dekonstruksi membalikkan keadaan, dan membuat sisi tertindas (makna tersembunyi) menjadi satu dominasi. Akan tetapi, tidak berhenti sampai tahap itu. Pembaca (baca: peneliti) tidak akan puas hanya dengan membalik hierarki antara dua sisi yang bertentangan, maupun mengubah salah satu sisi dengan dominasi yang menukik ke bawah dan sebaliknya. Pada langkah yang kedua, dekonstruksi pembaca (baca: peneliti) bisa melemahkan perbedaan antara kedua sisi yang bertentangan sebagaimana juga menggantikan seluruh oposisi yang mendukung gagasan lain. Intinya, pembaca bebas melakukan pembongkaran teks secara radikal.
Berdasarkan uraian tersebut, pada langkah pertama, melibatkan penghancuran/pembongkaran gambar/tampilan makna yang sebelumnya mendominasi,   dan mendukung apa yang tersembunyi. Pada langkah yang kedua, melibatkan penghancuran/pembongkaran keduanya, tetapi pada saat yang sama juga berlangsung perpindahan keduanya kemudian membangun suatu yang baru dan lebih luas. Jelasnya,  dekonstruksi berupaya melakukan pembalikan (kontinuitas) terhadap oposisi biner (benar – salah). Pergantian posisi antara yang menjadi pusat dan prinsip dengan yang bukan prinsip mengungkap makna-makna yang tersembunyi ke permukaan, sehingga menemukan makna baru atau makna sesungguhnya.

DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. 2006. Filsafat Barat Kontemporer: Perancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
O’Donnell, Kevin. 2009. Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.

SUMBER BACAAN
Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
Suseno, Franz Magnis. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.

Komentar