BERAKHIRNYA KOLONIALISME: JEJAK-JEJAK DAN DAMPAKNYA

A.    Kolonialisme
Pada abad 15, Negara-negara Eropa seperti Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol, dan Portugis melakukan intervensi dagang ke Negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika – yang biasa disebut Negara dunia ketiga. Negara dari benua biru tersebut tidak hanya melakukan intervensi, melainkan juga melakukan persaingan dalam melakukan perampasan sumber daya alam dan sumber daya manusia di Negara belahan dunia ketiga tersebut. Bahkan, selama beberapa abad berikutnya orang Eropa memperluas kekuasaan mereka sendiri di seluruh dunia.
Selama abad ke-19, orang Inggris menguasai kekuatan imperial terbesar. Menjelang pergantian abad ke-20 kekuasaan Inggris meliputi seperempat permukaan bumi termasuk India, Australia, New Zealand, Kanada, Irlandia, dan tempat-tempat penting di Afrika, Hindia barat, Amerika Selatan, Timur Tengah, dan Asia Tenggara. Dominasi kolonial Inggris berlanjut hingga akhir Perang Dunia II, ketika India memperoleh kemerdekaannya di tahun 1947, dan daerah jajahan lain berangsur-angsur mengikutinya untuk meminta kemerdekaan. Menjelang tahun 1987 Inggris kehilangan semuanya kecuali sedikit saja daerah jajahan.
Belanda selama tiga abad lebih melakukan penjajahan terhadap Negara yang sekarang bernama Indonesia. Selama kurun waktu tersebut, Belanda mengeruk sumber daya alam – hasil pertanian, laut, serta bumi dan merampas sumber daya manusia – melalui kerja paksa (rodi) untuk mengembalikan uang kas yang kosong pasca pertempuran melawan Diponegoro (1825-1830) dan perang Paderi (1821-1837), serta untuk kepentingan menghadapi Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Segala fasilitas untuk melancarkan proses pengerukan alam dibangun dengan menggunakan tenaga paksa.
Sampai saat ini bekas fasilitas yang digunakan Belanda tersebut masih ada, seperti stasiun, rel kereta api, pabrik gula, jembatan, DAM, dan sebagainya. Selain itu, jejak kolonial juga membekas di sistem pendidikan, hukum, dan kebudayaan. Dampaknya, ada beberapa bahasa Belanda yang diadopsi Bahasa Indonesia, Selain itu – karena lamanya Belanda menjajah – ada percampuran budaya Belanda dengan Indonesia dan bahkan sebagian masyarakat Indonesia sampai sekarang masih ada yang berperilaku meniru budaya Barat yang dibawa Belanda. Dampak tersebut, dalam ilmu sosial dapat ditelusuri dengan kaidah postkolonial.
B.     Postkolonial
Munculnya postkolonial disebabkan pola pikir dualis (biner). Pola berpikir dualis tersebut menganggap kedudukan Barat – dalam berbagai aspek – lebih unggul daripada Timur (jajahan). Timur adalah terjajah, orang luar, obyek, yang diceritakan, dan seterusnya. Orang Barat modern merasa mereka berbeda dengan orang Timur yang dipandang irasional, emosional, dan kurang beradab (misalnya dalam politik disebut dengan “despotis Timur”).
Berdasarkan uraian tersebut, Edkin dan Wiliams (2010:386) menyatakan Penulis yang berlatar belakang barat biasanya menganggap orang timur sebagai ‘the other’. Karya mereka menceritakan bahwa orang timur cenderung dideskripsikan sebagai komunitas yang mistis, kumuh, dan tertinggal. Pembenaran sepihak orang Barat dengan legitimasi objektivitasnya tersebut telah membawa jurang dikotomis yang mendalam, yang meletakkan Barat sebagai superior dan timur itu inferior.
Teori postkolonial merupakan teori kritis sebagai salah satu bentuk dari kelompok teori-teori postmodern. Postkolonial menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai “dunia ketiga” tidaklah seragam. Ada heterogenitas baik karena wilayah, manusianya, dan kulturnya. Postkolonial juga menunjukkan bahwa ada resistensi tertentu dari Timur kepada Barat.
Salah satu yang populer dari kajian postkolonial, menurut Gayatri Spivak adalah bentuk subaltern. Subaltern diartikan sebagai kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni dari masyarakat yang berkuasa. Intinya, postkolonial menyediakan kerangka untuk mendestabilisasi bahwa ada asumsi tersembunyi (inherent assumptions) yang melekat dalam pemikiran Barat yang selama ini selalu mengklaim diri sebagai kebenaran tertinggi dan juga universal.
Teori postkolonial dikembangkan secara grounded dengan mengangkat berbagai bukti nyata hasil kolonialisme, baik secara fisik, politis, maupun kultur. Ada tiga kata kunci penting dalam teori postkolonial, yaitu hibriditas, mimikri, dan ambivalensi. Hibriditas adalah istilah yang dipakai untuk mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya yang berbeda yang dapat menghasilkan pembentukan budaya dan identitas baru dengan sejarah dan perwujudan dalam bentuk tekstual (Day, 2008: 12).
Hibriditas, dalam kajian postkolonial mengacu pada pertukaran silang budaya. Hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian pada produk-produk paduan budaya itu sendiri, tetapi lebih kepada cara bagaimana produk-produk budaya tersebut dan penempatannya dalam ruang sosial dan historis di bawah kolonialisme menjadi bagian dari pemaksaan penolakan hubungan kekuasaan kolonial (Day: 2008:13).
Hibriditas memicu timbulnya mimikri. Konsep mimikri, dalam kajian postkolonial, diperkenalkan oleh Homi K. Bhaba. Bhaba (dalam Foulcer, 2008:105) menyatakan mimikri adalah reproduksi belang-belang subjektivitas Eropa di lingkungan kolonial yang sudah tidak murni, yang tergeser dari asal-usulnya dan terkonfigurasi ulang dalam cahaya sensibilitas dan kegelisahan khusus kolonialisme. Sebenarnya, mimikri lebih dekat dengan olok-olok.
Jelasnya, mimikri adalah sebuah sikap, perilaku, gaya, yang meniru kebiasaan – kebudayaan bangsa lain. Misalnya, cara berpakaian, gaya berbicara, style rambut, upacara-upacara, dan sebagainya. Seperti pesta perayaan ulang tahun merupakan mimikri masyarakat Indonesia yang meniru kebiasaan Belanda. Mimikri muncul disebabkan adanya hubungan yang ambivalen antara penjajah dan terjajah. Sikap ambivalensi dipicu adanya kecintaan terhadap suatu hal sekaligus membencinya.
Menurut Bhabha ambivalensi tidak hanya dapat dibaca sebagai petanda trauma subjek kolonial, melainkan juga sebagai ciri cara kerja otoritas kolonial serta dinamika perlawanan. Selanjutnya, Bhabha juga mengungkapkan bahwa kehadiran kolonial itu selalu ambivalen, terpecah antara menampilkan dirinya sebagai asli dan otoritatif dengan artikulasinya yang menunjukkan pengulangan dan perbedaan. Dengan kata lain, identitas kolonial tidak stabil, meragukan, dan selalu terpecah (Loomba, 2003: 229—230).

C.    Kajian Postkolonial dalam Karya Sastra
Kajian poskolonialisme dimulai ketika terjadi intervensi dagang di tiga benua (Afrika, Asia, dan Amerika Latin) sebagai bentuk kulminasi pengalaman akan penindasan dan perjuangan terhadap kolonialisme (Young, 2001:383-426). Maksudnya, postkolonial hadir setelah munculnya kolonialisme. Praktik dari kolonialisme adalah bentuk penindasan secara fisik maupun psikis terhadap pihak yang terjajah. Sehingga, penindasan tersebut menyebabkan timbulnya hibriditas dan mimikri pada masyarakat jajahan.
Kajian poskolonialisme bukan suatu bentuk genderang perang terhadap apa yang terjadi di masa lalu, tetapi suatu bentuk perjuangan terhadap realitas kekinian yang masih terjajah oleh bentuk neo-kolonialisme selepas kemerdekaan dicapai (Rukundwa dan Aarde, 2007:1175). Hal tersebut dapat diamati dari peredaran media dan komunikasi yang semakin pesat dan akibatnya memengaruhi masyarakat di Negara-negara berkembang.
Nandy (1983:63) menyatakan bentuk perlawanan terhadap kolonialisme tidak berhenti pasca kemerdekaan, tetapi harus tetap diteruskan ketika disadari bahwa kolonialisme tidak hanya “telah” menjajah secara fisik, namun imbas penjajahan sebenarnya juga sudah merasuk ke dalam pikiran bawah sadar dan ini yang diabaikan oleh negara-negara yang telah merdeka. Sering kali terjadi pada penduduk dari Negara-negara yang telah merdeka melupakan identitas mereka dan menganggap diri mereka sebagai inferior dihadapan bekas penjajah.
 Masalah inferioritas muncul karena di dalam alam pikiran bawah sadar masyarakat bekas terjajah masih tersimpan ingatan kekalahan terhadap Negara bekas penjajah dan kegamangan akan identitas diri yang belum ditemukan. Permasalahan tersebut dalam dunia fiksi Indonesia banyak diangkat. Hal itu disebabkan problematika masyarakat Indonesia pasca penjajahan sampai sekarang masih menyimpan trauma subaltern, sehingga hibriditas dan mimikri masih melesak dalam kebudayaan Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut, novel-novel yang dapat dikaji menggunakan teori postkolonial tidak terbatas pada novel yang ditulis pada masa kemerdekaan atau pasca penjajahan, melainkan novel yang memuat teks-teks hibriditas dan mimikri. Memang, novel yang ditulis pada masa kemerdekaan, seperti karya-karya Pramoedya Ananta Toer banyak memaparkan teks yang merujuk pada hibriditas dan mimikri. Tidak menutup kemungkinan novel-novel terkini juga memaparkan sikap, perilaku yang merujuk pada hibriditas dan mimikri.
Kesimpulannya, peneliti karya sastra – menggunakan teori postkolonial – harus menemukan teks yang menyatakan hibriditas dan juga menemukan teks yang menyatakan mimikri dari tokoh maupun kelompok masyarakat dalam karya sastra tersebut. Selanjutnya, hasil temuan tersebut diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat bekas jajahan – masyarakat Indonesia – agar mencari dan menemukan jati dirinya dan jadi diri  bangsanya. Penulis berpendapat pada era modern saat ini hibriditas dan mimikri adalah suatu keniscayaan. Melalui media, kolonialisme tersebut merajalela. Pendapat anda?

DAFTAR PUSTAKA
Day, Tony dan Keith Foulcher. Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial. Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Edkins, Jenny and Nick Vaughan Williams (Ed.), 2010. Teori-Teori Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional. Yogyakarta: Baca.

Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Diterjemahkan oleh Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Bentang.

Rukundwa, L.S. dan Andries G. van Aarde. 2007. The Formation of Postcolonial Theory. Hervormde Teologiese Studies.

Young, R.J.C. 2001. Postcolonialism: A Historical Introduction. London: Blackwell

Komentar