BAGAIMANA SASTRA DIAJARKAN
Bagaimana Sastra Diajarkan
Copyright © Kopi Aksara Publisher, 2016
Penulis: Sunu Catur B.
Penyunting: Pana Pramulia Penata Letak: Pak Shodiq Desain Sampul: Abrahams
Penerbit
Kopi Aksara Publisher
Blog:
kopi-aksara.blogspot.co.id
e-mail: kopiaksara@gmail.com FB: kopiaksara
Sunu Catur B.
Bagaimana Sastra Diajarkan/Nama Penyunting; Pana
Pramulia
Kopi Aksara Publisher, 2016 jumlah hal ;
13
x 19 cm

Cetakan 1,
2016
I. Bagaimana Sastra Diajarkan
II. Kopi Aksara Publisher
Katalog Dalam Terbitan
Hak cipta dilindungi undang-undang
All Right Reserved
Dilarang
memperbanyak
maupun
mengedarkan
buku tanpa ijin tertulis dari penerbit maupun penulis
MENGENALKAN
SASTRA
Oleh
Pana Pramulia
“Apakah Anda mengenal Eka Kurniawan,
Agus Noor, Yanusa Nugroho, A.S. Laksana, Handry TM, Triyanto Triwikrono,
Chairil Anwar, W.S. Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Marah Rusli, Ahmad Tohari?” Tiga
di antara kurang lebih empat puluh mahasiswa yang menjawab, tetapi ketiganya
hanya mengenal Chairil Anwar, W.S. Rendra, dan Marah Rusli. Pertanyaan itu saya
lontarkan kepada mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia semester 3. Saya
tidak terkejut mereka hanya mengenal tiga sastrawan tersebut karena masyarakat
awam pun juga mengenal. “Apakah sudah membaca karya dari sastrawan yang sudah
Anda kenal itu?”. Mereka diam dan hanya saling pandang.
Pasti berbeda, jika pertanyaan itu saya
lontarkan kepada pemburu novel. Mungkin, para pemburu novel itu tidak hanya
menjawab “kenal”, bisa jadi mereka akan menceritakan panjang lebar cerita yang
terdapat dalam novel-novel yang mereka baca atau bahkan mereka akan menilai
karakter sastrawan itu satu persatu. Bagaimana hal yang demikian bisa terjadi,
bahkan menimpa mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia? Saya menduga ada dua
sebab yang melatarbelakangi hal tersebut.
Pertama, tokoh sastra yang dijadikan
contoh dalam buku-buku ajar Bahasa Indonesia, baik tingkat SD sampai SMA
merupakan sastrawan-sastrawan lama. Hal tersebut bisa dikatakan bahwa buku ajar
di tingkat sekolah memiliki cacat epistemologis. Fakta-fakta historisnya sungguh miskin dan hanya dijelaskan
sekadarnya. Nama-nama tokoh sastrawan yang muncul juga jauh dari perkembangan
dunia sastra itu sendiri. Sehingga, pengetahuan peserta didik
hanya berkutat pada sastrawan itu-itu saja. Itupun yang diingat hanya namanya, tetapi
tidak nama sastrawannya beserta karyanya. Siapapun mengenal Chairil Anwar dan
W.S. Rendra karena fenomenal di zamannya. Begitu juga dengan Marah Rusli,
penulis roman Siti Nurbaya yang telah dikenal seluruh lapisan masyarakat
Indonesia, karena roman tersebut pernah ditransformasikan menjadi sebuah film.
Kedua,
saya curiga terhadap kompetensi guru bahasa Indonesia, baik secara akademis
maupun pedagogis. Jika kemampuan akademisnya berpotensi rendah maka bisa
dikatakan kompetensi pedagogisnya pasti kacau balau. Bagaimana mungkin orang
yang memiliki kompetensi keilmuan sastra buruk akan mampu mengajarkan sastra
dengan baik? Padahal jika dipahami secara mendalam, sastra merupakan salah satu
media untuk pendidikan karakter karena di dalamnya terdapat nilai-nilai moral dan
etika. Jadi, pemahaman keilmuan sastra secara mendalam berhubungan langsung
dengan cara mengajarkan sastra dengan baik.
Buku
“Bagaimana Sastra Diajarkan” yang ditulis Sunu Catur Budiyono ini menjawab
problematika yang telah dijelaskan di atas.
Dosen Sastra
Komentar