BAU BADAN YANG DILARANG
Copyright 2017. Alfian Bahri
Penulis:
Alfian Bahri
Rancang Sampul dan
Tata Letak:
Pengantar:
Pana Pramulia
Diterbitkan oleh
ZAMAN
GILA
Oleh
Pana Pramulia
Zaman
gila.
Barangkali persoalan itu yang melatarbelakangi Alfian menulis tuntas antologi
cerpen ini. Melalui perjalanan hidupnya yang mengalami, merasakan, melihat
hal-hal konyol dan menggemaskan di negaranya, penulis antologi cerpen ini
berusaha untuk membagi pengalamannya kepada orang lain (baca: pembaca). Memang,
apapun jika dibagi, hasilnya akan membuat lega atau bahkan menguatkan. Jika di
jalanan kita terpeleset kulit pisang, bahaya terbesar bukan terkilir atau gegar
otak, tetapi perasaan malu, lebih-lebih jika berjalan sendirian. Namun, cukup
dengan seorang teman, rasa malu itu bisa disalurkan, setidaknya lewat
gurauan. Jika aib saja butuh dibagi, pasti begitu pula dengan marah, benci, rezeki,
dan juga cerita-cerita mengemaskan. Dari sini, Alfian ingin menyalurkan
pengalaman menggemaskan melalui cerpen-cerpennya, agar setidaknya dapat
menghibur sesamanya.
Salah
satu hal menggemaskan dapat dibaca dalam penggalan cerpen berjudul Bau Badan
yang Dilarang, “Proyek pembangunan itu masuk agenda negara, pembangunan lima
tahun sekali. Rencananya gedung itu dibangun 65 lantai sebelum mega korupsi
menyertainya”. Bagaimana tidak menggemaskan, jika setiap saat masyarakat
disodori berita tentang berbagai macam korupsi. Dalam cerpen yang sama, kutipan
yang menarik lagi, yaitu “Selang beberapa hari, di surat kabar nasional halaman
depan, terpampang jelas judul yang seperti tai: “Tai PKI Mati” dan “Hantu-Hantu
Komunis”. Pernyataan
penulis ini hadir sebagai bentuk rasa geram terhadap media, bahkan masyarakat
yang membesarbesarkan dan masih takut akan bahaya laten PKI.
Tokoh yang muncul dalam
cerpen Bau Badan yang Dilarang, salah satunya bernama Sofiana. Tokoh ini hadir
kembali pada cerpen berjudul Lelaki itu Pergi dengan Setangkai Mawar dan cerpen
berjudul Perempuan Gang Mawar. Tokoh Sofiana dari tiga cerpen yang diceritakan
mempunyai karakter sama. Saya menafsirkan, penulis cerpen mengenal sosok ini
dengan baik dalam dunia nyata. Mungkin juga, Sofiana merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari penulis. Seorang Sofiana yang hidup di zaman gila, dimana
banyak manusia menuhankan manusia yang tidak dapat berpikir jauh dan panjang.
Kisah Sofiana bisa dicermati dalam tiga cerpen tadi dengan uraian suasana yang
menegangkan, mengharukan, sekaligus romantis. Tiga hal yang kontradiktif itu
disajikan penulis dengan indah.
Selanjutnya, secara
keseluruhan kisah-kisah dalam antologi cerpen ini mengalir dan bersirkulasi
satu sama lain membentuk tema optimisme. Walaupun penulis memotret zaman gila
atau ulah manusia yang alpa akan nilai dan moral, akan tetapi optimis akan
perubahan dan solusi-solusi yang absurd ditawarkan. Penulis menginginkan setiap
manusia dapat bersirkulasi dengan kehidupan, atau meminjam kata W.S. Rendra “manjing ing kahanan”. Intinya adalah
sirkulasi. Itulah pesan sementara yang dapat saya tangkap. Segala sesuatu harus
diedarkan. Informasi yang tidak beredar akan menimbulkan kecurigaan. Ide yang
tidak beredar akan menimbulkan kebingungan. Komunikasi yang tidak beredar akan
menyulut pertengkaran.
Terakhir, saya
menyimpulkan makna cerpen-cerpen dari Bau Badan yang Dilarang, sampai cerpen
berjudul Perempuan Gang Mawar, bahwa manusia atau individu diharapkan mampu
bertahan, bahkan tidak mengikuti arus di
zaman gila ini. “Ngeli ning aja keli,”
begitulah falsafah Jawa menasihati. Analoginya, jika seseorang berada dalam ruang
tertutup, ternyata kebutuhan utamanya bukan makanan, tetapi pemandangan. Jika
tidak ada pintu, jendela pun jadi. Tak ada jendela, ia akan mengintip dari
lubang kunci. Jika lubang kunci pun tak ada, liang semut pun boleh jadi. Jika
semut pun tak berliang, manusia akan menempuh apa saja agar bisa
mengintip udara di luaran. Perdaban di zaman gila ini manusia membutuhkan
keseimbangan agar sampai tujuan. Memang, di dalam sesuatu yang seimbang,
kenyataan memang tidak selalu menyenangkan, tetapi cuma dengan cara itu
kehidupan akan memanjang. Begitulah pesannya. Selamat menyelami. Dalam!
Surabaya.
3 April 2017
Pemerhati
Karya Sastra
Komentar