SARI
Wayang kulit is an
art of doll made from skin, came from Java, played by dalang with music of gamelan
as a musical instrument. Wayang kulit show presented by cooperation of dalang, nayaga, pesinden, and penggerong. The art of wayang is an interesting show, the form
and the show itself. Wayang kulit show is a guidance of life
(preaching). Usually, the preaching presented as a pasemon or symbol. But somehow, behind all of the show there’s a
meaning of life. The
art in wayang kulit is a dominant
element, but when we look deeper into it, we will find an important education
in a human life. So that is why, someone could only see those values, depends
on their own abilities to absorb and appreciate it. The
show that has Hinduism background and Javanese culture is identical with
repetition by the dalang. The experts
believed that the spoken discourse tradition that the dalang showed is came from the characteristic formula in the spoken
pattern. The
repetition came from suluk, scene, laras, and pathetan. So that is why, formula theory is needed to absorb this
Javanese culture. The formula itself is line, word, and sentence that used to
start the show. The
formula is defined by Lord : “a group of word which is regularly employed under
the same matrical conditions to express a given essential idea” (Teeuw, 1988:298). This research is using a qualitative
research method to reveal any qualitative information. Data is obtained using a
transcript, where data inside vcd is copied into laptop to switch the spoken
discourse into article. In discussion,
researcher gave repetition data. Conclusion and suggestion is given so that the
purposes of this research can be accepted and can be something to learn.
PENDAHULUAN
Sastra
lisan merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Salah satu sastra
lisan yang paling populer di masyarakat Jawa adalah PERGELARAN wayang kulit
atau dalam bahasa Jawa disebut dengan ringgit
purwa. PERGELARAN wayang kulit, yaitu tontonan yang berupa boneka yang
terbuat dari kulit yang penuh warna-warni, yang bentuknya melukiskan suatu
bangun kepribadian manusia, dalam aspek kedalamannya justru merupakan tuntunan
kehidupan, sehingga juga disebut Wayang purwa (Purwadi, 2009:25).
Wayang
purwa atau populer disebut wayang kulit merupakan salah satu dari sekian banyak
budaya Jawa. Selain sebagai hiburan pertunjukan wayang kulit juga menjadi
sebuah tuntunan bagi masyarakat yang menonton. Maksudnya, wayang bukan sekedar
sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai media komunikasi, media penyuluhan
dan media pendidikan. Bahkan wayang juga sebagai wahana pengabdian dalang bagi
masyarakat, Negara dan bangsa serta umat manusia pada umumnya (Sujamto,
1995:26-27).
Secara lahiriah,
kesenian wayang merupakan hiburan yang menarik baik ditinjau dari segi wujud
maupun seni pakelirannya. Pertunjukan wayang kulit merupakan tuntunan kehidupan
(dakwah). Dakwah-dakwah yang disampaikan dalang masih berupa pasemon-pasemon atau dalam bentuk
lambang-lambang. Dalam PERGELARAN wayang kulit dalang dibantu oleh nayaga yang bertugas sebagai penabuh
aneka macam gamelan, dan pesinden serta penggerong yang bertugas sebagai pembawa lagu (gending). Dengan adanya kerjasama antara
dalang, nayaga, dan pesinden serta penggerong dalam PERGELARAN wayang kulit, maka akan memunculkan
unsur-unsur dari tradisi lisan, yakni bentuk, formula, tema, bunyi, diksi, dan
gaya bahasa. PERGELARAN wayang kulit mempunyai dua unsur pokok, yaitu seni
pertunjukan wayang kulit (pakem) dan
cerita wayang kulit (pathetan). Seni
pertunjukan yang berlatarbelakang peradapan Hindu dan budaya Jawa ini identik
dengan dengan pola-pola pengulangan (repetisi) yang dilakukan oleh penuturnya (dalang).
Oleh karena itu, kajian teori formula dibutuhkan untuk mendalami tradisi lisan
yang ada di ranah Jawa ini.
Penulis
memilih Ki. Panut Sosrodarmoko karena dalang kelahiran Nganjuk ini masih
menggunakan pakem pewayangan yang
belum banyak dimodifikasi dengan kesenian modern lainnya. Selain itu, ciri khas
Ki. Panut adalah penyampaian bahasa yang digunakan banyak mengandung sanepa-sanepa bahasa kawi, serta dikenal piawai menggarap catur dan
dramatisasi adegan adegan pewayangan. Maka, tujuan dari penelitian ini adalah
menguraikan secara deskriptif pengulangan-pengulangan dari seni pertunjukan
wayang kulit dan cerita wayang kulit dalam lakon “Wahyu Mustika Aji”.
KARAKTERISTIK
KELISANAN DAN TEORI FORMULA
Sastra lisan erat
kaitannya dengan seni tradisi, dan seni tradisi ini lahir dari fenomena
religio-magis yang dibangun oleh spirit budaya masyarakat yang bersangkutan. Mengkaji
sebuah sastra lisan membutuhkan kecermatan atau ketelitian tersendiri, karena
sastra lisan berbaur dengan tradisi lisan itu sendiri. Barangkali sastra lisan
yang berbaur ini sudah tidak utuh lagi, dengan kata lain sudah diubah oleh
generasi-generasi penerusnya. Menurut Suwardi Endraswara (2008), sastra lisan
dibedakan menjadi dua bagian, yaitu (1) sastra lisan murni, dan (2) sastra
lisan tak murni. Sastra lisan murni bisa berupa mite, dongeng, legenda,
hikayat, peribahasa, puisi lisan, nyanyian/tembang (macapat, maskumambang,
dirge dll) dan cerita-cerita yang tersebar secara lisan di masyarakat.
Sedangkan sastra lisan tak murni bisa berupa drama panggung, peraturan adat
(undang-undang), mitos dan lain sebagainya.
Sastra
lisan biasanya bersifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Ini
disebabkan, karena pada zamannya dibuat seorang penulis yang tidak mau
menonjolkan diri dan karyanya dianggap milik bersama. Oleh karena sastra rakyat
itu milik komunal, milik bersama rakyat bersahaja, maka sastra ini juga disebut
orang sebagai folk literature, atau
sastra rakyat (Hutomo, 1991:3).
Dari pemaparan di atas, kajian sastra
lisan digolongkan menjadi dua macam, yaitu (1) sastra lisan dari sumber asli
(sastra lisan primer), (2) sastra lisan yang telah diramu menggunakan alat
elektronik atau media lainnya (sastra lisan sekunder). Sastra lisan sekunder
biasanya lebih rumit, dikarenakan tidak tersaji secara jelas, dan tidak adanya
narasumber untuk di wawancara. Sedangkan fungsi sastra lisan menurut Hutomo
(1991:69-74) adalah sebagai berikut (1) sebagai sistem proyeksi, (2) untuk
pengesahan kebudayaan, (3) sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial,
dan sebagai alat pengendali sosial, (4) sebagai alat pendidikan anak, (5) untuk
memberikan jalan yang dibenarkan oleh masyarakat agar dia dapat lebih superior
dari pada orang lain, (6) untuk memberikan seseorang jalan yang diberikan oleh
masyarakat agar dia dapat mencela orang lain, (7) sebagai alat untuk memprotes
ketidakadilan dalam masyarakat, (8) untuk melarikan diri dari himpitan hidup
atau dengan kata lain berfungsi sebagai hiburan semata. Sesuai dengan
penjelasan di atas, maka jelaslah sudah bahwa kesenian wayang merupakan salah
satu bagian dari sastra lisan dan sarana pendidikan bagi masyarakat.
Umumnya aktivitas lisan yang disampaikan penutur (dalang)
bersifat otodidak yang dilakukan dengan improvisasi. Aktivitas lisan ini
dipercaya para ahli terbentuk dari formula yang terkarakteristik pada pola-pola
(struktur) penyajiannya yang lisan. Formula merupakan pola dasar yang digunakan
sebagai acuan, pijakan, dan pedoman dalam melakukan sebuah tradisi lisan.
Formula adalah baris, kata, atau kalimat yang digunakan untuk membuka dan
memperlancar sebuah cerita. Formula didefinisikan oleh Lord: ”a group of world which is regularly employed
under the same matrical conditions to express a given essential idea” (Lord
1976: 4: kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi mantra yang
sama untuk mengungkapkan ide tertentu yang hakiki) (Teeuw, 1988:298). Formula
itu berulang-ulang muncul dalam cerita yang terdiri atas frasa, klausa, atau
larik (baris) (Sudikan, 2001:80). Penutur (dalang) menggunakan dua cara untuk
menciptakan sebuah formula, yang pertama mengingat frasa-frasa baku, dan yang
kedua menciptakan frasa-frasa lain yang telah ada.
Teori formula mampu menjelaskan hubungan kata dengan
bangunan struktur sebuah penyajian tradisi lisan. Dari sini dapat dikatakan
bahwa teori formula merupakan rumusan pokok dalam tradisi lisan. Formula sangat
dekat hubungannya dengan tema. Yang dimaksud dengan tema ialah ’the repeated incident and deskriptive
passages in the traditional song’ (Lord 1976:4 dalam Hutomo, 1991:22)
Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut ’sebuah
peristiwa atau kejadian yang diulang dan bagian-bagian deskriptif dan
nyanyian’; atau ’the group of ideas
regular ly used in telling a take in the formulaic style of song’ (Lord
1976:68 dalam Hutomo, 1991:22). Di samping peristiwa dalam suatu tradisi lisan,
hal yang bisa dikaji melalui teori formula adalah tentang ujaran atau ungkapan
yang diulang. Dalam masyarakat tradisional yang berkecimpung di bidang seni
maupun tradisi pengulangan (repetisi) sering terjadi.
Penerapan teori formula pada tradisi lisan dapat dilihat
dari berbagai pertunjukan seni yang ada dalam masyarakat. Pertunjukan seni ini
bisa berupa pantun, mantra, doa-doa sesaji, drama tradisional, cerita rakyat
dan sebagainya. Sebagai contoh yaitu ujaran yang disampaikan oleh seorang
dalang wayang kulit. Apa yang diujarkan dalang wayang kulit (mantra, kalimat
pembuka adegan, suluk, ujaran seorang tokoh dalam pewayangan, dan sebagainya)
banyak kalimat-kalimat yang diulang. Hal ini menandakan bahwa seorang dalang
juga mengenal formula dalam sebuah pertunjukan wayang kulit.
METODE PENELITIAN
Bentuk
penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu berupaya untuk memaparkan secara
analitis prospektif dan berupaya untuk menguak simbol atau lambang serta
memaparkan formula yang disampaikan dalang secara menyeluruh. Metode kualitatif
digunakan dalam penelitian ini dengan pertimbangan bahwa metode kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong,
2009:17).
Teknik pengumpulan data yang digunakan dengan
cara mencari kaset VCD PERGELARAN wayang kulit dalam lakon wahyu mustika aji,
dengan dalang Ki. H. Panut Sosro Darmoko. Sembilan kaset VCD PERGELARAN wayang
kulit dalam lakon wahyu mustika aji yang sudah ditemukan, kemudian di-copy ke laptop. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah mentranskrip data
atau untuk mempermudah melakukan penelitian.
FORMULA
DALAM SENI PERTUNJUKAN WAYANG KULIT (PAKEM)
Pada pembahasan pertama penulis akan menguraikan
formula dari seni pertunjukan wayang kulit (pakem).
Seni pertunjukan wayang kulit yang akan diuraikan meliputi, suluk, irama
gamelan, dan adegan. Suluk merupakan cakepan
yang harus dimiliki dalang, karena suluk adalah media untuk menceritakan sesuatu
keadaan dengan ungkapan-ungkapan yang puitis. Suluk dibagi menjadi tiga yaitu janturan, ada-ada, dan ucapan. Janturan merupakan suluk pembuka dari PERGELARAN
wayang kulit yang diiringi irama gamelan slendro
pathet nem. Ada-ada merupakan
suluk yang diiringi irama gamelan (slendro
dan pelog) serta menggunakan pathetan (nem, sanga, dan manyura). Sedangkan ucapan merupakan suluk tanpa diiringi gamelan. Irama gamelan
disebut juga dengan laras. Laras dibagi menjadi dua yaitu slendro dan pelog. Tinggi rendahnya nada disebut juga dengan pathet. Pathet dibagi menjadi tiga antara lain pathet nem, pathet sanga,
dan pathet manyura. Sabetan merupakan gerak wayang yang
meliputi tarian, lakuan, dan lagaan. Tarian adalah gerak wayang diiringi
gamelan saat wayang memasuki maupun keluar dari kelir, dan gerak wayang ketika pesinden melantunkan tembang. Lakuan
adalah gerak wayang hanya diiringi kecrek atau kendang, fungsinya untuk
menghidupkan suasana pertunjukan. Lagaan adalah gerak wayang ketika melakukan adegan
perang tanding dengan diiringi gamelan laras
pelog.
Suluk Dan Irama Gamelan
Pada suluk pembuka (janturan) disebut juga pathetan
nem atau janturan pathet nem dengan laras
menggunakan slendro. Suluk pembuka (janturan) ini dalang banyak mengulang kata
“ya”
dalam pengucapannya. Kata “ya” di sini mengisyaratkan sebutan
(alias) atau nama lain dari sebuah Negara atau nama tokoh dalam pewayangan.
Tujuannya untuk memaparkan dan memperjelas tokoh wayang yang ada di-pakeliran, serta tempat di mana tokoh wayang
tersebut berada. Di sisi lain, pengulangan kata “ya” di sini untuk
memperindah suluk yang diucapkan dalang. Kata “ya” diulang sebanyak
sepuluh kali. Kata “ya” tersebut merupakan improvisasi dalang untuk mengembangkan
pola dasar suluk agar lebih bervariasi dan menampilkan kesan estetis.
Pertama, dalang mengulang kata “ya”
sebanyak dua kali dan menyebutkan nama lain dari Negara Astina Pura sebanyak
tiga kali. Kedua, dalang mengulang kata “ya” sebanyak empat kali dan
menyebutkan nama lain dari Prabu Duryudana sebanyak tujuh kali. Ketiga, dalang
mengulang kata “ya” sebanyak dua kali dan menyebutkan nama lain dari Patih
Haryo Sengkuni sebanyak dua kali. Keempat, dalang menyebutkan kata “ya”
dan nama lain dari Raden Werkodara sebanyak satu kali. Kelima dalang
menyebutkan kata “ya” dan nama lain dari Raden Harjuna sebanyak satu kali.
Suluk pathet nem diulang sebanyak tiga puluh
empat kali. Suluk (ada-ada) pathet nem
diawali dari pemaparan keadaan Negara Astina Pura dan berakhir sampai perang
kembang antara Prabu Kresna melawan Resi Kumara Jati. Dari ketiga puluh empat
suluk itu yang mengalami pengulangan sebagai berikut.
1. Leng-lenging driya mangu mangu
mangungkung.
Terjemahan bebas ke dalam bahasa Indonesia
sebagai berikut.
“Dalam batin hanya diam termangu”.
1.1 Suluk
pertama diucapkan dalang saat adegan dialog antara Resi Kumara Jati dengan
Prabu Kresna di Istana Astina Pura. Suluk ini diucapkan dalang setelah Prabu
Kresna menjelaskan tentang tujuan perang barata yudha. Maksud dari suluk
tersebut menggambarkan suasana pertemuan di Istana Astina Pura. Dari semua yang
hadir di pendopo Astina Pura hanya mampu terdiam mendengarkan argumentasi
perang barata yudha dari Prabu Kresna.
1.2 Suluk
kedua diucapkan dalang saat dialog di Istana Dwarawati antara Prabu Kresna, Raden
Sumba, dan Setyaki selesai. Suluk ini menggambarkan patuhnya Raden Sumba dan
Setyaki terhadap perintah dari Prabu Kresna.
Suluk di atas menggambarkan suasana
dan sikap tokoh wayang ketika Prabu Kresna berbicara. Beda antara suluk pertama
dan kedua adalah tokoh wayang yang berada di-pakeliran. Pertama Prabu Kresna saat di Istana Astina Pura dengan
tokoh-tokohnya antara lain Prabu Duryudana, Patih Haryo Sengkuni, Resi Kumara
Jati, Raden Werkodara, Raden Janaka, Raden Nakula, Raden Sadewa, dan Raden
Karta Maruka. Di sini Prabu Kresna berbicara dengan emosi yang tinggi. Kedua
saat Prabu Kresna di Istana Dwarawati dengan tokoh-tokohnya yaitu Raden Sumba
dan Setyaki. Di sini Prabu Kresna berbicara dengan penuh kebijaksanaan serta
menampakkan kepatuhan dari Raden Sumba dan Setyaki.
2. kadang waran den abecik mbesuk
amendema baris prayitna.
Terjemahan bebas ke
dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.
“Agar selamat di
kemudian hari berusahalah untuk waspada”.
2.1 Suluk
ini diucapkan dalang setelah Prabu Kresna selesai menjawab pertanyaan Resi
Kumara Jati.
2.2 Suluk
ini diucapkan dalang setelah Prabu Kresna marah kepada Resi Kumara Jati (Prabu
Kresna mengumpat).
2.3 Suluk
ini diucapkan dalang sebagai pembuka adegan pertemuan di Istana Dwarawati
antara Prabu Kresna, Raden Sumba, dan Setyaki.
2.4 Suluk
ini diucapkan dalang ketika Prabu Kresna dan Resi Kumara Jati berdialog sebelum
perang kembang.
Dari pemaparan di atas dalang menggunakan
suluk tersebut untuk mengiringi ucapan dari Prabu Kresna. Suluk tersebut
merupakan simbolik dari sikap Prabu Kresna menghadapi segala sesuatu. Selain
itu suluk tersebut digunakan dalang untuk menyampaikan pesan kepada penonton.
3. Suma sunya gagana baragan adoh ing langit.
Terjemahan bebas ke
dalam bahasa Indonesia sebagai berikut. “Bumi sunyi prahara terlihat jauh di
langit”.
3.1 Suluk
ini diucapkan dalang sebagai pembuka dialog antara Resi Kumara Jati dan Jati
Kumara.
3.2 Suluk
ini diucapkan dalang sebagai penutup dialog antara Resi Kumara Jati dengan Jati
Kumara.
3.3 Suluk
ini diucapkan dalang sebagai pembuka perang kembang antara Jati Kumara melawan
Setyaki.
Bumi diibaratkan sebagai dunia
lahir. Dunia lahir bisa berarti ucapan dan raut muka. Sedangkan langit
diibaratkan sebagai dunia batin. Jadi, makna dari suluk di tersebut adalah dari
luar (lahiriyah) nampak baik, tetapi di dalam batin sifat iri dan dengki
menyelimuti. Dari ketiga pemaparan di atas, suluk tersebut digunakan dalang
untuk mengiringi Jati Kumara. Dalam cerita wayang kulit “Wahyu Mustika Aji”
Jati Kumara dan Resi Kumara Jati seolah-olah bersikap baik kepada Kurawa,
padahal Jati Kumara dan Resi Kumara jati menginginkan Negara Astina Pura.
4
Sigra
kang bala tumingal.
terjemahan bebas ke
dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.
“segera bala bantuan (pasukan) datang”.
4.1 Suluk
ini diucapkan dalang sebagai pembuka perang kembang antara Setyaki dan Aswatama
di Negara Dwarawati.
4.2 Suluk
ini diucapkan dalang sebagai pembuka perang kembang antara Setyaki melawan
Kartawarma di Negara Dwarawati.
“Sigra bala tumingal” segera bantuan (pasukan) menandakan perang
antara kedua kubu. Di sini mengambarkan perang antara pasukan Dwarawati yang
dipimpin Setyaki dan pasukan Kurawa yang dipimpin Kartawarma. Hanya saja, di
dalam kelir yang terlihat hanya
perang antara Setyaki melawan Aswatama dan Kartawarma. Bisa juga suluk ini
menandakan datangnya kekuatan suprarasional dari ketiga tokoh (Setyaki,
Kartawarma, dan Aswatama).
Pathetan
sanga atau suluk (ada-ada) pathet
sanga diulang sebanyak dua belas kali. Dari data di atas suluk pathet sanga yang mengalami pengulangan
hanya dua suluk, yaitu “yeksa gara
rupa ri sedheng narendra alelaku kang malwaling ingkang” dan “Rikat to sang Gatutkaca”.
1. Yeksa gara rupa ri sedheng narendra
alelaku kang malwaling ingkang.
Terjemahan bebas ke
dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.
“Raksasa pembuat onar
bagaikan Raja yang menjelma menjadi seseorang yang bijaksana yang sosoknya
seperti berwibawa”.
1.1 Suluk
yang pertama diucapkan dalang sebagai pembuka dialog antara Cakil dan Abimanyu.
1.2 Suluk
yang kedua diucapkan dalang sebagai pembuka perang tanding antara Cakil melawan
Abimanyu.
Suluk di atas menggambarkan rupa
dan sikap dari raksasa yang bernama “Cakil”. Menurut cerita pewayangan Cakil
selalu mengganggu siapapun yang melewati tempat persinggahannya. Seperti bunyi
suluk tersebut, Cakil bagaikan seorang Raja di tempat persinggahannya,
berwibawa, tetapi selalu mengganggu siapapun yang melewati tempat
persinggahannya.
2. Rikat to sang Gatutkaca.
Terjemahan bebas ke dalam bahasa Indonesia sebagai
berikut.
“Cepat Raden Gatutkaca”.
2.1 Suluk
ini diucapkan dalang ketika Gatutkaca masuk kelir.
2.2 Suluk
ini diucapkan sebagai penanda Gatutkaca menyelamatkan Abimanyu dari serangan
dua raksasa.
Suluk ini melambangkan
karakter wayang Gatutkaca, yaitu cepat bagai kilat bila terbang di udara dan
cepat bagai petir bila berperang.
Pathetan
manyura atau suluk (ada-ada)
pathet manyura diulang sebanyak dua belas kali. Dari data suluk pathet manyura pengulangan hanya dilakukan sekali oleh dalang. Suluk itu
sebagai berikut. “miyat langening
kalangyan aglar pada muncar, tinon lir kekonang, surem sorote tan padang kasor
lan pajar ing purnameng gegana” (tampak senang dikelilingi kilauan cahaya,
ibarat seperti mengetahui gelap, sinarnya begitu terang dan sebagai pelajaran
agar angkara murka usai).
1.
Suluk ini diucapkan dalang ketika dialog
antara Abimanyu dan Lesmana Wati selesai.
2.
Suluk ini diucapkan dalang ketika dialog
antara batur (emban) dengan Gatutkaca selesai.
Suluk
ini menceritakan kisah asmara antara Raden Abimanyu dengan Lesmana Wati. Dalang
memberikan pesan kepada penonton bahwa angkara murka atau peperangan dapat
diselesaikan dengan cinta kasih. Maksudnya, damai akan terwujud dengan adanya
cinta kasih antar umat.
Adegan (sabetan)
Adegan (sabetan) dibagi menjadi tiga, yaitu tarian, lakuan, dan lagaan.
Formula digunakan dalang untuk mengembangkan ketiga jenis sabetan tersebut melalui pola-pola dasar yang dimilikinya dengan
tujuan untuk menghidupkan aspek dramaturgi. Tarian adalah gerak
wayang yang diiringi nyanyian dan gamelan untuk memasuki atau keluar panggung.
Tarian pathetan diulang sebanyak enam
belas kali. Hanya saja tokoh yang mengulang tarian pathetan antara lain, Tarian Limbuk diulang
tiga kali, tetapi yang membedakan adalah lelagon
yang mengiringi. Begitu juga dengan tarian para Kurawa. Tarian Kurawa diulang
dua kali, gending yang mengiringi sama, tetapi yang membedakan adalah tarian
pertama menandakan Kurawa masuk kelir,
dan kedua menandakan keluat kelir.
Dalang juga memainkan
adegan atau dialog tokoh wayang yang hanya diiringi kecrek dan kendang. Sabetan ini dinamakan lakuan. Dalam PERGELARAN
wayang “Wahyu Mustika Aji” dalang mengulang lakuan sebanyak dua puluh lima kali.
Tokoh yang mengalami pengulangan lakuan (dialog) adalah dialog antara Petruk
dengan Bagong. Dialog yang pertama terjadi saat adegan gara-gara (pathet sanga), dan dialog yang kedua
terjadi di kaputren Astina Pura (pathet manyura).
Jenis
sabetan yang terakhir adalah lagaan.
Lagaan merupakan adegan perang yang dimainkan oleh dalang. Lagaan dibagi
menjadi dua, yaitu lagaan perang kembang dan lagaan perang inti. Perang kembang menandakan akhir dari pathetan nem. Perang inti dimainkan
sesudah adegan gara-gara selesai.
Perang ini mengisyaratkan bahwa cerita akan berakhir. Dalam adegan perang
dalang mengulang perang tanding antara Raden Gatutkaca dan Jati Kumara. Pada
perang kembang terjadi di Istana Dwarawati, dan pada perang inti terjadi di
Istana Astina Pura. Dari kedua perang itu dimenangkan Raden Gatutkaca. Perang
yang mengalami pengulangan tokohnya adalah perang antara Prabu Kresna melawan
Resi Kumara Jati. Pada perang pertama merupakan perang kembang (pathetan nem), dan yang kedua merupakan
perang inti (pathetan manyura).
Untuk
mengiringi gending atau lelagon dalam PERGELARAN wayang kulit, irama gamelan (laras) yang digunakan ada dua macam,
yaitu slendro dan pelog. Sedangkan untuk mengukur tinggi
rendahnya nada menggunakan pathet.
Gending dan lelagon yang dinyanyikan
terdapat dalam adegan Cangikan (Limbukan), gara-gara
dan Cakilan. Laras slendro untuk
mengiringi gending dan lelagon
diulang sebanyak dua belas kali. Laras
pelog diulang sebanyak delapan kali.
Untuk pathetan nem diulang sebanyak delapan kali, dan pathetan sanga diulang sebanyak dua belas kali.
Dari ketiga seni pertunjukan di atas
membentuk beberapa bagian pokok. Masing-masing bagian secara konsisten menjadi
penyusun bagian yang lain. Bagian-bagian yang tersusun inilah menjadi sebuah
formula pertunjukan wayang kulit. Dengan adanya formula pertunjukan tersebut
dalang mengimprovisasi pola dasar yang dimiliki menjadi berkembang dan menghasilkan
pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk.
FORMULA DALAM CERITA
WAYANG KULIT (PATHETAN)
Pada pembahasan ini akan diuraikan
rangkaian cerita yang terpola menjadi sebuah formula. Formula yang tersusun
dirangkai dari adegan pathetan nem,
adegan pathetan sanga, dan adegan pathetan manyura. Dalam cerita PERGELARAN
wayang kulit “Wahyu Mustika Aji” dalang membuat latar yang berbeda dari ketiga pathetan tersebut. Latar yang digunakan
antara lain, Istana Astina Pura, Kasatrian Ploso Jenar, Pertapaan Nuswa
Pangrantunan, Istana Dwarawati (pathetan nem),
Kasatrian Plangkawati (pathetan sanga),
Istana Amarta, dan Istana Astina Pura (pathetan
manyura).
Dalam cerita dalang menggunakan
formula tokoh untuk merangkai cerita PERGELARAN wayang kulit “Wahyu Mustika
Aji”. Lakon “Wahyu Mustika Aji” ini merupakan awal terjadinya perang barata
yudha. Topik cerita pathetan nem
adalah urungnya perang barata yudha. Topik ini disampaikan pertama kali di
Istana Astina Pura oleh Resi Kumara Jati, dan mengalami pengulangan di Istana
Dwarawati yang disampaikan Prabu Kresna.
Formula cerita pada pathetan nem di atas mengalami pengulangan
pada cerita pathetan sanga. Hanya
saja, tokoh yang menyampaikan urungnya barata yudha berbeda, latar tempat
penyampaiannya juga berbeda. Tokoh wayang yang menyampaikan urungnya perang
barata yudha adalah Raden Abimanyu, dan latar tempat berada di kasatrian
Plangkawati. Formula cerita berikutnya terjadi pada pathetan sanga dan mengalami pengulangan pada pathetan manyura. Cerita yang disampaikan adalah tentang turunnya
“Wahyu Mustika Aji” kepada Prabu Puntadewa. Pada cerita pathetan sanga tokoh yang menyampaikan turunnya “Wahyu Mustika Aji”
adalah Raden Abimanyu. Raden Abimanyu menyampaikannya kepada para Punakawan
dengan latar tempat di kasatrian Plangkawati.
Pada pathetan manyura, cerita turunnya “Wahyu Mustika Aji” menggunakan
kahyangan sebagai latar tempat. Tokoh wayang dalam cerita ini adalah Bathara
Darma dan Prabu Puntadewa. Bathara Darma menurunkan “Wahyu Mustika Aji” kepada
Prabu Puntadewa. Baik pathetan nem
dan pathetan sanga terbagi menjadi
beberapa cerita pokok. Cerita pokok dari pathetan
enem mengalami pengulangan pada cerita pathetan
sanga. Demikian juga cerita pokok pathetan
sanga mengalami pengulangan pada cerita pathetan
manyura. Pengulangan cerita dari ketiga pathetan
tersebut membentuk sebuah formula lisan dan sekaligus berperan sebagai garis
cerita PERGELARAN wayang kulit.
SIMPULAN
Untuk lebih jelas mengenai pengertian PERGELARAN wayang
kulit, penulis menafsirkan pengertian PERGELARAN wayang kulit adalah pertunjukan
berupa boneka yang terbuat dari kulit yang merupakan refleksi dari kepribadian
manusia, sekaligus aspek pencitraan kehidupan manusia. PERGELARAN wayang kulit
mempunyai dua unsur pokok, yaitu seni pertunjukan wayang kulit (pakem) dan cerita wayang kulit (pathetan).
Dalam penelitian ini
sistem formulaik seni pertunjukan wayang kulit terbagi menjadi tiga bagian,
antara lain suluk, adegan, dan irama gamelan dan ketiganya saling berkait.
Suluk diucapkan diiringi dengan irama gamelan, kecuali ucap-ucapan (pocapan). Suluk diucapkan untuk membuka
sebuah adegan atau menutup sebuah adegan. Irama gamelan juga mengiringi adegan
yang ditampilkan. Ketiganya memiliki ciri formula yang dikembangkan oleh dalang
melalui improvisasi dan inovasi.
Suluk terbagi menjadi
tiga, yaitu janturan, ada-ada,
dan ucap-ucapan. Janturan dan ada-ada
banyak mengalami pengulangan, sedangkan ucap-ucapan tidak ada yang mengalami
pengulangan. Adegan terbagi menjadi tiga, yaitu tarian, lakuan, dan lagaan dan
ketiganya mengalami pengulangan. Irama gamelan yang mengiringi PERGELARAN
wayang kulit, terutama pada adegan hiburan (Cangikan dan gara-gara) banyak
mengalami pengulangan. Hal ini dipengaruhi oleh tinggi rendahnya suara pesinden dan penggerong.
Sistem formulaik juga
ditemukan pada cerita wayang kulit. Dalam penelitian ini ditemukan dua topik
yang berbeda yang membentuk sebuah formula cerita. Topik yang pertama terjadi
pada adegan pathetan nem dan
mengalami pengulangan pada adegan pathetan
sanga. Topik itu adalah gagasan urungnya perang barata yudha. Topik cerita
yang kedua terjadi pada adegan pathetan
sanga dan mengalami pengulangan pada adegan pathetan manyura. Topik cerita itu adalah turunnya wahyu mustika
aji kepada Prabu Puntadewa. Jadi dapat disimpulkan pathetan nem memiliki satu topik cerita, dan diulang pada pathetan sanga. Topik cerita pada pathetan sanga mengalami pengulangan
pada pathetan manyura. Pathetan sanga memiliki dua topik cerita
yang berbeda, sedangkan pathetan manyura
hanya memiliki satu topik cerita.
Pemaparan di atas dapat
ditelaah lebih lanjut dengan menggunakan teori formula yang diterapkan oleh
Lord dan para penemu teori formula lainnya. Dalam hal ini, teori formula
bertujuan untuk menelaah perkembangan tradisi lisan yang ada dalam peradapan
masyarakat. Selain itu, para peneliti tradisi lisan mampu memanfaatkan teori
formula untuk mengungkap fenomena tradisi lisan serta menggali tradisi lisan
yang ada di dunia.
DAFTAR
PUSTAKA
Danandjaja,
James. Foklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta:
Putaka Utama Grafiti.
Endraswara,
Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra, edisi revisi. FBS Universitas
Negeri Yogyakarta. Yogyakarta: Buku kita.
Hutomo,
Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan, Pengantar Studi Sastra Lisan.
Surabaya: HISKI, Komisariat Jawa Timur.
Luxemburg,
Jan van dan Mieke Bal dan Willem G. Weststeijn. 1992. Pengantar Ilmu Sastra.
Terjemahan oleh Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Purwadi,
Dr. 2009. Pengkajian Sastra Jawa. Yogyakarta: Pura Pustaka.
Sudikan,
Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.
Sujamto.
1995. Wayang dan Budaya Jawa. cetakan ketiga, cetakan pertama tahun
1992. Semarang: Dahara Prize.
Teeuw.
1988. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra, cetakan kedua.
Jakarta: Pustaka Jaya dan Girimukti Pasaka.
Komentar