SARI
Bahasa
berkaitan erat dengan sistem makna. Makna
bahasa tersebut terdapat pada kata, klausa, kalimat, sampai wacana. Makna
bahasa dapat disampaikan, apabila lawan tutur memahami bahasa dari penutur. Sebaliknya,
makna bahasa dapat tidak tersampaikan, apabila penutur kurang jelas memahami
bahasa dan tidak jelas dalam menyampaikannya. Makna bahasa yang tidak
tersampaikan akan menghasilkan kesalahan pemahaman akan bahasa. Kesalahan
berbahasa bisa terjadi dari penggunaan bahasa secara lisan maupun tulisan.
Kombinasi kedua sudut pandang tersebut dapat ditemukan dalam aneka jenis
kesalahan berbahasa. Sebagian besar kesalahan berbahasa berkaitan dengan
pengucapan. Apabila kesalahan berbahasa lisan tersebut ditulis, maka jadilah
kesalahan berbahasa itu dalam bahasa tulis. Kesalahan berbahasa dapat
digolongkan menjadi kelompok afiksasi, reduplikasi, dan gabungan kata atau kata
majemuk. Ada kesalahan berbahasa disebabkan perubahan pengucapan. Misalnya,
penggabungan dua kata atau lebih sehingga mengaburkan makna bahasa. Kemudian, ada kesalahan berbahasa
yang disebut pleonasme dan ambigu. Pleonasme merupakan pemakaian kata yang
berlebihan. Misalnya, kata “sangat”, “begitu”, “sekali”, dan sebagainya.
Sedangkan, ambigu merupakan sesuatu (ujaran) yang bermakna ganda. Misalnya pada
kata penjelas “cukup”. Kata “cukup” banyak ditemukan dalam Bahasa Indonesia,
baik lisan maupun tulis. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini akan mendeskripsikan
kesalahan berbahasa Indonesia, khususnya penggunaan kata “cukup” sebagai kata
penjelas. Berdasarkan temuan peneliti di lapangan, antara lain dari ujaran
masyarakat, tulisan di media cetak, tulisan di media sosial, masih banyak yang
menggunakan kata “cukup” untuk mengungkapkan sebuah penegasan. Kesalahan
berbahasa dalam penggunaan kata “cukup” sebagai kata penjelas mengakibatkan
pengaburan makna. Sebagai contoh, ujaran “cukup megah” memiliki makna ganda,
yaitu bisa dimaknai sangat megah dan tidak terlalu megah atau biasa-biasa saja.
Maka, tujuan penelitian ini mendeskripsikan kesalahan penggunaan kata cukup
sebagai kata penjelas dalam Bahasa Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif yang akan menghasilkan data deskriptif. Maksudnya,
data yang disajikan merupakan deskripsi dari pemaknaan kata “cukup” sebagai
kata penjelas dalam Bahasa Indonesia. Sedangkan teknik pengumpulan data
dilakukan dengan cara mencatat dan dokumentasi.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Bahasa
merupakan representasi dari pikiran, perasaan, dan emosi manusia. Ketiganya
berperan penting untuk keberhasilan berkomunikasi dengan sesamanya pada
seluruh bidang kehidupan. Keberhasilan komunikasi juga ditentukan tata bahasa
yang baik dan benar dari penutur. Jika, lawan tutur tidak memahami bahasa dari
penutur, bisa jadi tata bahasa dari penutur tidak baik dan benar atau penutur
melakukan kesalahan berbahasa dari segi lainnya. Kesalahan tata bahasa dapat
mengakibatkan pengaburan makna, sehingga lawan tutur akan mengalami kesulitan
saat menerima pesan dari penutur. Hal tersebut banyak ditemukan, baik dari
bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Berdasarkan hal tersebut, idiom “Bahasa
Indonesia yang Baik dan Benar” digaungkan berulangkali, baik oleh pemerintah
maupun instansi-instansi tertentu. Arifin dan Hadi (2015:1) menyatakan semua
warga negara Indonesia wajib membina dirinya masing-masing dalam pemakaian
bahasa Indonesia agar bahasa itu tumbuh dan berkembang sesuai kaidah yang
berlaku.
Bahasa yang digunakan manusia
merupakan kesepakatan bersama masyarakat penggunanya, tetapi tidak semua
kesepakatan tersebut sesuai dengan kaidah pemaknaan bahasa itu sendiri.
Masyarakat Indonesia sebagai pengguna Bahasa Indonesia telah menyepakati
beberapa kata tertentu, tetapi bila ditinjau dari segi pemaknaan dapat
dikatakan keliru. Misalnya, ketika
Taufik Hidayat memutuskan mundur dari PBSI, salah seorang pengurus organisasi
tersebut berkata: “Kita kehilangan pemain potensial”. Artinya pemain sekaliber
Taufik Hidayat yang pernah memperoleh medali emas di Olimpiade hanya berderajat
sebagai pemain yang mempunyai potensi.
Dari
kata “potensial” tersebut, maka tidak ada perbedaan antara Taufik Hidayat
dengan dengan calon atlet yang dididik di klub, bahkan tidak berbeda juga
dengan pemain kampung pemula. Kiranya masyarakat Indonesia sebagai pemakai
aktif Bahasa Indonesia belum memenuhi kriteria penggunaan Bahasa Indonesia yang
baik dan benar. Kesalahan tersebut menjadikan sebuah pola kalimat kehilangan
esensi dan menjadikan kata yang diusung tidak efektif digunakan. Dari sini
dapat dikatakan bahwa pemaknaan bahasa masih mejadi problematika masyarakat
Indonesia. Pateda (2010:78) menyatakan Persoalan makna merupakan persoalan yang
menarik dalam kehidupan sehari-hari. Maksudnya, pemaknaan bahasa yang keliru
sebagian besar sudah disepakati masyarakat penggunannya.
Pembicaraan
mengenai kesalahan berbahasa pada dasarnya merupakan permasalahan bersifat
teoretis. Hal ini dibuktikan bahwa perbincangan mengenai kesalahan berbahasa
hanya berada dalam ruang lingkup birokrasi dan akademisi, khususnya ruang
lingkup ahli bahasa atau mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia. Maksudnya,
pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia hanya dibebankan pada pemerintah
dan akademisi bahasa. Padahal, semua warga negara mempunyai kewajiban
melaksanakan pembinaan bahasa (Arifin dan Hadi:2). Dari permasalahan bersifat
teoretis tersebut dapat dipetik pelajaran sebagai media pengajaran dan
pengembangan Bahasa Indonesia menjadi lebih mapan.
Kesalahan
berbahasa dapat digolongkan menjadi kelompok afiksasi, reduplikasi, dan
gabungan kata atau kata majemuk. Ada kesalahan berbahasa disebabkan perubahan
pengucapan. Misalnya, penggabungan dua kata atau lebih sehingga mengaburkan
makna bahasa. Kemudian,
ada kesalahan berbahasa yang disebut pleonasme dan ambigu. Pleonasme merupakan
pemakaian kata yang berlebihan. Misalnya, kata “sangat”, “begitu”, “sekali”,
dan sebagainya. Sedangkan, ambigu merupakan sesuatu (ujaran) yang bermakna
ganda. Kata yang bermakna ganda bisa disebabkan oleh tata bahasa yang keliru.
Ilmu tentang makna atau semantik berkaitan erat dengan tata bahasa. (Verhaar,
2012:14) menyatakan semantik termasuk tata bahasa juga. Tata bahasa yang keliru
akan mengaburkan esensi dari makna kata tersebut. Misalnya pada kata penjelas
“cukup”. Kata “cukup” sebagai penjelas banyak ditemukan dalam Bahasa Indonesia,
baik lisan maupun tulis.
Berdasarkan uraian di atas,
penelitian ini hanya mendeskripsikan kesalahan berbahasa Indonesia, khususnya
penggunaan kata “cukup” sebagai kata penjelas, walaupun sebenarnya kata
tersebut sudah disepakati masyarakat Indonesia pada umumnya. Berdasarkan temuan
peneliti di lapangan, antara lain dari ujaran masyarakat, tulisan di media
cetak, tulisan di media sosial, masih banyak kata “cukup” digunakan untuk
mengungkapkan sebuah penegasan. Padahal, jika dicermati secara seksama dan
mendalam kata “cukup” sebagai sebuah penegasan mengakibatkan pengaburan makna.
METODE
Metode penelitian merupakan alat,
prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian (Djajasudarma,
2010:3). Pendekatan penelitian berkaitan dengan beberapa langkah analisis dalam
memproses informasi ilmiah. Pendekatan penelitian merupakan konsep dasar yang
dijadikan kerangka berpikir dalam sebuah penelitian. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif yang akan mendeskripsikan kesalahan kata “cukup” sebagai
kata penjelas dalam Bahasa Indonesia. Data yang disajikan berupa ujaran dan
tulisan, baik di media cetak maupun media sosial yang memuat kata-kata “cukup”
sebagai kata penjelas atau penegas kata lain.
Penelitian ini bersifat empiris karena data
berumber dari realitas yang ada. Mahsun (2011:3) menyatakan penelitian bahasa
bersifat empiris, maksudnya fenomena lingual yang menjadi objek penelitian
bahasa merupakan fenomena yang
benar-benar hidup dalam pemakaian bahasa. Artinya, fakta lingual secara
realitas digunakan oleh penuturnya, bukan yang sedang dipikirkan penuturnya.
Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan cara simak, mencatat dan dokumentasi. Menurut Mahsun (2011:92)
metode simak digunakan untuk memperoleh data dengan melakukan penyimakan
penggunaan bahasa. Kemudian, hasil dari simak/menyimak peneliti melakukan
pencatatan dan dokumentasi agar data dapat disimpan dan dianalisis dengan baik.
Teknik simak teknik catat, dan teknik dokumentasi ini berarti
peneliti sebagai instrumen kunci melakukan penyimakan,
pencatatan, dan pendokumentasian secara cermat, terarah, dan teliti terhadap
sumber data primer yakni sasaran peneliti yang berupa ujaran masyarakat, baik
di media cetak, media elektronik, maupun secara langsung (lisan).
Kemudian, peneliti akan
menyajikan hasil analisis data yang berupa analisis kata “cukup’ sebagai kata
penjelas dalam Bahasa Indonesia. Tahap analisis merupakan tahapan penting dan
sentral dalam penelitian (Sudaryanto, 2015:8). Maksudnya, semua tahapan dalam
peneltian terikat erat pada tahap analisis. Dalam tahap analisis akan ditemukan
persoalan beserta penyelesainnya.
ANALISA
Istilah Bahasa Indonesia dengan baik
dan benar telah dikenal oleh masyarakat secara luas. Pengenalan istilah tersebut
tidak menjamin bahwa mereka memahami secara komprehensif konsep dan makna
istilah Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Slogan “gunakan Bahasa Indonesia
dengan baik dan benar,” tampaknya mudah diucapkan, tetapi belum banyak yang
melakukan. Barangkali slogan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar secara
pemaknaan tidak jelas. Slogan tersebut hanya retorika yang tidak berwujud
nyata, sebab masih diartikan bahwa di segala tempat masyarakat Indonesia harus
menggunakan bahasa yang masih selalu dipengaruhi oleh bahasa daerahnya jika
mereka berbahasa Indonesia secara lisan.
Dalam situasi resmi, baik
lisan maupun tulisan, seorang akademisi, atau bahkan non-akademisi akan
berusaha menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan
benar.
Sebaliknya, dalam situasi tidak resmi seseorang akan cenderung menggunakan
bahasa sesuai konteks. Hal itu dapat diartikan, bahwa pemakaian bahasa tersebut serasi
dan sesuai dengan sasarannya. Ungkapan “bahasa Indonesia yang baik dan benar”
mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan
kebenaran. Akan tetapi, pemakaian bahasa secara konteks seringkali bertentangan
dengan kaidah pemaknaan, walaupun bahasa tersebut sudah menjadi kesepakatan
bersama masyarakat penggunanya.
Sebagai contoh, ada gaya bahasa yang mecerminkan watak suka melebih-lebihkan
kenyataan. Sekarang ini mudah sekali masyarakat menyebut pengajian biasa
sebagai akbar, tablik biasa sebagai akbar. Kata akbar yang biasanya dekat
dengan Tuhan, telah dipindah ke manusia. Jadi ada manusia menyembah Tuhan
sambil membesar-besarkan dirinya sendiri. Begitu juga ketika kita harus
menyebut pemain film sebagai bintang atau bahkan mega bintang.
Selain
itu, tabiat masyarakat dalam berbahasa sering demikian ambigu. Tabiat sebagai
peragu dan plin-plan. Misalnya, akan tercermin dalam gaya ungkapan semacam ini:
"Panggung pertunjukkan itu 'cukup megah'." Tidak ada keraguan lagi
jika kata "megah" pasti menggambarkan kebesaran; ketinggian; sangat
lebar; sangat panjang. Untuk itulah sesuatu mendapat sebutan megah. Kata megah
bermakna ukuran yang melebihi batas kewajaran. Jadi, kata "cukup" tersebut
sulit diterima nalar jika digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang lebih dari
cukup. Kalau sesuatu tersebut cukup megah, berarti tidak megah lagi.
Dalam
kehidupan sehari-hari, bahasa yang digunakan masyarakat untuk menggunakan kata
“cukup” cenderung tidak jelas. Banyak masyarakat mengatakan “cukup besar”, “cukup
bijaksana”, “cukup cantik”, “cukup galak”, dan sebagainya. Pertanyaannya, kenapa
sebagian dari kita tidak bisa berterus terang mengatakan bahwa dia besar,
bijaksana, cantik, galak. Pembaca atau pendengar akan kesulitan menangkap makna
sebenarnya dari kata cukup besar, cukup bijaksana, cukup cantik, dan cukup
galak. Besar memiliki arti lebih dari ukuran sedang.. Sedangkan cukup adalah
tidak kurang. Berdasarkan pengertian kata besar dan cukup, pemaknaan kata
menjadi tidak jelas. Cukup besar bermakna ambigu, karena dapat mempunyai makna
ganda, seperti “sedang” atau “lebih dari sedang” dan “kurang dari besar”. Hal
tersebut tentu membingungkan. Kata “cukup besar” bisa diganti dengan kata
“sedang,” atau “tidak besar. Dengan menghilangkan kata “cukup” berarti penutur berani
jujur dan makna yang dihasilkan dari ujaran tersebut menjadi jelas.
Di
sisi lain, beberapa penambahan kata cukup sebagai penjelas tidak sesuai dengan
pemaknaanya jika melihat realitas sebenarnya. Misalnya, statement Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dimuat di https://m.tempo.co/read/news tanggal 26 Februari 2017. “Kesenjangan di Indonesia cukup
berbahaya dibanding di negara lain,” kata Kalla saat menutup tanwir
Muhammadiyah di Ambon. Kata “cukup berbahaya” bermakna tidak begitu berbahaya
atau tidak terlalu berbahaya. Berdasarkan makna tersebut persoalan kesenjangan
masih mudah diselesaikan, karena tidak terlalu berbahaya. Realitasnya,
kesenjangan – dalam hal ini kesenjangan sosial di Indonesia – sudah dapat dikatakan
sangat berbahaya, karena jumlah masyarakat yang kaya tidak sebanding dengan
jumlah masyarakat miskin. Pada kenyataannya, pemerintah masih kesulitan
menyelesaikan persoalan tersebut.
Pada
berita lain http://www.tribunnews.com/internasional menyatakan “Gadis
berusia 14 tahun
asal Australia, didakwa dengan percobaan
pembunuhan setelah ia diduga meracuni
dua anak lainnya,
dengan coklat brownies
yang tercemar dengan
zat beracun”. Berita tersebut diberi judul Gadis ABG ini Cukup
Sadis”. Cukup sadis bermakna tidak terlalu sadis, akan tetapi jika membaca
konten berita perbuatan yang dilakukan si gadis bisa dikatakan sadis atau
bahkan sangat sadis. Jadi, pemaknaan “cukup sadis” pada berita tersebut tidak
sesuai dengan realitas sebenarnya.
Demikian
juga pernyataan yang disampaikan reporter olahraga seringkali sama dengan
pernyataan Jusuf Kalla di atas. Misalnya, “bola melambung cukup tinggi”,
“pukulan smash Roger Federer cukup
keras”, “pada lap terakhir Lorenso melaju cukup kencang”, dan sebagainya. Tiga
pernyataan tersebut pemaknaan kata “cukup” sebagai penjelas ambigu, karena
realitasnya bola melambung tinggi sekali – maksudnya jauh dari mistar gawang
paling atas, smash Roger Federer
sangat keras – sehingga tidak dapat dijangkau lawannya, dan laju kecepatan
Lorenso di lap terakhir sangat cepat – sehingga meninggalkan jauh
lawan-lawannya.
Dari
uraian di atas, penggunaan kata cukup sebagai penjelas mempunyai makna yang
ambigu. Pertama, pemaknaan kata cenderung tidak jelas. Kedua, pemaknaan kata
tidak sesuai dengan realitasnya. Berdasarkan hal tersebut, kiranya masyarakat
belum sepenuhnya memahami menggunakan kata cukup sebagai penjelas kata lain. Memang,
secara umum masyarakat tidak mempermasalahkan atau bahkan setuju dengan
ungkapan kata tersebut. Walaupun demikian, apabila kata “cukup” sebagai
penjelas terus digunakan, maka akan menggeser makna sebenarnya dan bisa jadi
akan menjadi boomerang bagi kelangsungan pengembangan dan pembinaan Bahasa
Indonesia.
SIMPULAN
Berdasarkan analisis mengenai kata
cukup sebagai penjelas, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia dalam
berbahasa seringkali ambigu, sehingga berpengaruh terhadap sistem pemaknaan
bahasa. Penggunaan kata ‘cukup’ di depan sebuah kata menjadikan makna bahasa
ambigu atau tidak jelas, sehingga makna menjadi kabur. Dari analisis juga
ditemukan dua hal penting yang berkaitan dengan pemaknaan kata cukup sebagai
penjelas. Pertama, pemaknaan kata cenderung tidak jelas. Sebagai contoh, kata
“cukup megah”. kata "megah" pasti menggambarkan kebesaran;
ketinggian; sangat lebar; sangat panjang. Untuk itulah sesuatu mendapat sebutan
megah. Sesuatu tersebut pasti ukuran yang melebihi batas kewajaran. Jadi, kata
"cukup" tersebut sulit diterima nalar jika digunakan untuk
menggambarkan sesuatu yang lebih dari cukup. Kalau sesuatu tersebut cukup
megah, berarti tidak megah lagi. Kedua, pemaknaan kata tidak sesuai dengan
realitasnya. Sebagai contoh, kata bola melambung cukup tinggi”. Maknanya, bola
tidak terlalu melambung tinggi atau bola tidak melambung tidak begitu tinggi.
Pemaknaan kata “cukup” sebagai penjelas ambigu, karena realitasnya bola
melambung tinggi sekali. Hal ini dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia,
jika ditinjau dari cara berbahasa mempunyai tabiat peragu dan plin-plan. Maka,
masyarakat Indonesia sebagai pengguna Bahasa Indonesia hendaknya menggunakan
kata cukup sesuai dengan tempatnya, agar pemaknaan sebuah kata atau kalimat
tetap sesuai dengan substansinya.
REFERENSI
Arifin,
Zaenal dan Hadi. 2015. 1001 Kesalahan
Berbahasa. Jakarta: Akademika Pressindo.
Djajasudarma,
Fatimah. 2010. Metode Linguistik: Ancangan Metode dan Kajian. Bandung:
Refika Aditama.
M.S.,
Mahsun. 2011. Metode Penelitian Bahasa:
Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Edisi Revisi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Pateda,
Mansoer. 2010. Semantik Leksikal.
Cetakan kedua. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudaryanto.
2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis
Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis.
Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
Verhaar,
J.W.M. 2012. Asas-Asas Linguistik Umum.
Cetakan kedelapan. Cetakan pertama tahun 1996. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Dipresentasikan di Universitas
Atmajaya Jakarta
Komentar