BERPIKIR POSITIF

 Setiap menjelang lebaran selalu saja ada teman yang bertandang ke rumah, tetapi lebaran tahun lalu jumlah teman yang bertandang ke rumah tidak sebanyak lebaran tahun-tahun sebelumnya. Saya tidak tahu apa penyebabnya. Kenapa suatu kali jumlah teman yang bertandang itu banyak dan kenapa di kali lain sedikit. Saat jumlahnya banyak saya menduga ini semua pasti gara-gara saya orang terkenal, maka menjadi wajar jika saya banyak teman dan kolega, tetapi dugaan ini sepertinya keliru, karena saat saya merasa makin terkenal katimbang tahun-tahun sebelumnya, jumlah jumlah teman yang bertandang ke rumah malah menurun. Ketika saya berpikir teman saya tidak sebanyak seperti yang saya duga, teman-teman yang bertandang malah semakin banyak.

Jadi saya menduga, jumlah teman yang bertandang itu tak ada hubungannya dengan popularitas atau dugaan tentang popularitas itu sebenarnya juga tidak valid. Bisa jadi saya ini cuma merasa terkenal saja cuma karena banyak orang menyapa saya di jalan. Akhirnya saya memilih dugaan yang ketiga: kedatangan teman itu tak ubahnya rezeki pada umumnya. Kedatangan teman ke rumah kita mungkin sudah ditentukan. Mau banyak mau sedikit yang datang bertandang itu soal siklus belaka. Begitu pikir saya pada akhirnya.

Pada tulisan kali ini, persoalan yang dibahas bukan soal jumlah, melainkan sikap dari teman-teman yang bertandang tersebut, dan soal reaksi saya terhadapnya. Anehnya, walau jumlah yang bertandang banyak perasaan saya malah tak selalu gembira, karena kebanyakan dari mereka mempunyai niat lain selain bersilaturahmi. Niat lain tersebut adalah meinjam uang. Selebihnya saya malah bertanya-tanya. Sebetulnya maksud mereka bertandang itu bersilaturahmi sambil meminjam uang atau sebenarnya hanya meminjam uang saja. Silaturahminya hanya basa-basi. Saya bukan orang kaya yang bisa dengan mudah meminjami mereka. Apalagi meminjami uang teman risikonya bisa putus pertemanan.

Padahal teman yang dipinjami uang bisa saja menempuh jalur hukum jika teman yang dipinjami mengingkari pembayaran. Ada dua mekanisme jika ingin menuntut teman atau kerabat yang lalai membayar utang. Pertama dengan mekanisme keperdataan. Untuk proses keperdataan bisa melayangkan somasi terlebih dahulu. Kemudian proses mediasi. Jika tidak juga membayar kewajibannya baru naik ke proses pengadilan. Kedua, bisa melalui jalur pidana. Misalnya jika peminjam dianggap memenuhi unsur rangkaian kebohongan atau penipuan. Peminjam dianggap tidak memiliki niat membayar walaupun sebenarnya ia mempunyai uang untuk membayar.

Janganlah kamu menjadi seperti seorang perempuan dalam cerita lama, mengurai kembali tenunannya sehelai benang demi sehelai setelah ditenunnya dengan kuat” (QS Al-Nahl:92).


Dari uraian di atas, saya tidak menginginkan persahabatan yang sudah dibangun sekian lama itu putus gara-gara masalah utang-piutang, dan semoga mereka juga paham hal itu. Pikiran saya jadi kemana-mana dan didominasi pikiran yang negatif. Akan tetapi, tiba-tiba saya teringat bahwa sebelum lebaran ini saya telah berpuasa sebulan penuh. Berlatih menjadi orang yang bertaqwa. Tentu di dalamnya juga berlatih berpikiran positif. Maka, saya memutuskan untuk memberi pinjaman yang mereka butuhkan. Mereka berjanji akan mengembalikan pinjaman tersebut sesuai tanggal yang telah mereka tentukan sendiri. Saya hanya mengangguk, walaupun ada sedikit keraguan tentang tanggal yang mereka tentukan itu. 

Berhubung saya telah berlatih berpikir positif dan berkeinginan bermanfaat untuk orang lain, maka pada akhirnya saya percaya kepada teman-teman tersebut. Ternyata berpikiran positif itu benar-benar bermanfaat. Teman-teman yang meminjam uang tersebut mengembalikan sebelum tanggal yang mereka tentukan sendiri. Walaupun tidak dengan waktu yang sama, teman-teman itu berbondong-bondong kembali bertandang ke rumah untuk mengembalikan uang yang mereka pinjam. Mereka benar-benar berterima kasih kepada saya. Mata mereka berbinar. Demikian pula mata saya, karena dapat menolong teman yang sedang membutuhkan. Apalagi mereka bertandang tidak hanya mengembalikan uang, tetapi mereka membawa oleh-oleh buah tangan kepada keluarga saya. Kini saya tidak lagi sibuk bertanya-tanya dan curiga, tetapi saya sedang sibuk bergembira. Wa Allah A’lam.

Komentar