MOTIVASI DAN PERILAKU TOKOH DALAM NOVEL LARASATI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA)
LATAR BELAKANG MASALAH
Sastra
adalah dunia imajinasi kompleks yang banyak memaparkan simbol-simbol yang mengandung makna.
Simbol-simbol tersebut merupakan salah satu pembangun estetika sastra ilmiah
yang perlu diterjemahkan. Menurut Teeuw (1984:181) makna dan arti sebuah karya
tidak mutlak ditentukan oleh penulis, tetapi pula tidak sama sekali terjadi
diluar kemandirian penulis.
Karya
sastra merupakan bentuk perenungan dan penuangan ide dari pengarang. Hasil
perenungan dan penuangan ide tersebut bisa melalui bermacam-macam bentuk atau
media, salah satunya adalah novel. Novel merupakan bentuk karya sastra yang
memaparkan kehidupan sosial, budaya, psikologis, pendidikan yang disajikan
pengarang lewat tokoh, alur, latar, tema, dan amanat yang disajikan dalam
bentuk cerita. Aminudin (1990:57) memaparkan karya sastra lahir
karena adanya keinginan dari pengarang untuk mengungkapkan eksistensinya
sebagai manusia yang berisi ide, gagasan, dan pesan tertentu yang diilhami oleh
imajinasi dan realitas sosial budaya pengarang serta menggunakan media bahasa
sebagai penyampaiannya.
Menurut Pradopo
(2002:159) karya sastra secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh
lingkungan pengarang. Sastrawan sebagai anggota masyarakat tidak akan lepas
dari tatanan masyarakat dan kebudayaan. Dalam kehidupan nyata setiap manusia
merupakan individu berbeda dengan individu lainnya. Manusia memunyai
kepribadian, watak, temperamen, pengalaman, bahkan pandangan hidup (ideologi)
yang berbeda antara satu dengan lainnya. Novel sebagai salah satu bentuk karya
fiktif panjang menguraikan kepribadian serta karakter tokoh yang representatif
dalam suatu alur atau keadaan tertentu.
Novel tidak bisa lepas
dari peranan tokohnya. Tokoh merupakan unsur terpenting, yang ditampilkan
secara lengkap misalnya ciri-ciri fisik, keadaan sosial, watak, tingkah laku,
dan kejiwaannya. Berbagai kejadian yang dialami tokoh dalam karya sastra akan
memermudah pembaca untuk memahami dan menafsirkan. Novel yang mampu menggambarkan atau mencerminkan kehidupan yang nyata dalam sebuah masyarakat tergolong sebagai novel yang baik,
karena
pada dasarnya,
novel
adalah pengetahuan
realita non-ilmiah yang muncul dan terjadi dalam suatu masyarakat (Wellek dan Waren, 1990:94).
Dengan
demikian karya sastra berhubungan erat dengan psikologi,
walaupun juga berhubungan erat dengan kajian ilmu lainnya. Hal tersebut sejalan
dengan struktur pembentuk manusia, yaitu manusia terdiri dari raga dan jiwa.
Psikologi adalah ilmu yang berkaitan dengan proses-proses mental yang
berpengaruh pada perilaku (Novia, 2008:366). Budi Darma (2004:138) menyatakan
bahwa ada tiga alasan mengapa psikologi masuk ke dalam kajian sastra, yakni (1)
untuk mengetahui perilaku dan motivasi para tokoh dalam karya sastra, (2) untuk
mengetahui perilaku dan motivasi pengarang, (3) untuk mengetahui reaksi
psikologi pembaca (dalam Kasnadi dan Sutejo, 2010:64).
Pembaca akan mampu
mengamati dan menafsirkan perilaku dan kejiwaan tokoh-tokoh yang diuraikan
pengarang melalui novel/roman dengan pertolongan psikologi. Jika perilaku dan
kejiwaan tokoh-tokoh tersebut mampu direkam pembaca dan sesuai dengan
pengetahuan tentang kejiwaan manusia yang diketahui, maka pembaca telah
berhasil menggunakan teori psikologi untuk menafsirkan cerita dari novel
tersebut.
Salah satu karya sastra prosa yang akan dijadikan objek penelitian ini
adalah
roman
“Larasati” karya Pramoedya
Ananta Toer. Roman Larasati menceritakan cara yang ditempuh “Ara” dalam
memperjuangkan revolusi dengan caranya sendiri. Sampai kehormatannya dia
serahkan demi Indonesia merdeka. “Ara” memotivasi dirinya untuk selalu membela
tanah airnya. Roman Larasati juga memaparkan bagaimama situasi sosial yang
memengaruhi dan menjadi penyebab timbulnya berbagai sikap manusia dalam
menghadapi situasi saat revolusi berlangsung. Roman Larasati ini begitu menarik
karena bisa memotivasi pembaca untuk mencintai tanah air.
Dari pemaparan tersebut penulis akan melakukan penelitian hanya
kepada tokoh “Ara.” Untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi “Ara,”
penulis juga menggunakan teori perilaku dan teori motivasi sebagai alat bantu.
PSIKOLOGI
Psikologi
adalah suatu ilmu
jiwa yang meneliti serta
mempelajari kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas psikis manusia yang tercermin dalam perilaku manusia dan mempelajari
gejala-gejala kehidupan. Seperti telah dikemukakan tersebut psikologi merupakan
ilmu yang membicarakan tentang jiwa. Oleh karena jiwa itu sendiri tidak tampak,
yang dapat dilihat atau diobservasi ialah perilaku atau aktivitas-aktivitas
yang merupakan manifestasi atau penjelmaan kehidupan jiwa (Darma, 2006: 133)
Menurut Muhibbinsyah (2001:64), psikologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia
baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan.
Tingkah laku terbuka adalah tingkah laku yang bersifat psikomotor yang meliputi
perbuatan berbicara, duduk , berjalan dan lain sebagainya, sedangkan tingkah
laku tertutup meliputi berfikir, berkeyakinan, berperasaan dan lain sebagainya.
Menurut Walgito (2010:1), kata psikologi berasal dari
kata psyche yang diartikan jiwa dan kata logos yang berarti ilmu atau
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, kata
psikologi sering diartikan dengan ilmu
pengetahuan tentang jiwa atau disingkat dengan ilmu jiwa. Berdasarkan pendapat tersebut, psikologi menggambarkan
refleksi dari kehidupan kejiwaan dan mempelajari aktivitas-aktivitas individu,
baik aktivitas motorik, kognitif, maupun emosional. Psikologi merupakan ilmu
tentang kesadaran manusia, para ahli psikologi akan mempelajari proses-proses
elementer dari kesadaran manusia itu. Dari batasan ini dapat dikemukakan bahwa
kedaan jiwa direfleksikan dalam kesadaran manusia. Unsur kesadaran merupakan
hal yang dipelajari dalam psikologi itu.
Siswantoro (2005:27)
mengatakan bahwa psikologi adalah ilmu atau kajian ilmiah tentang perilaku dan
jiwa manusia. Sastra sebagaimana sudah kita pahami berhubungan dengan dunia
fiksi, drama, puisi, esai yang diklarifikasikan ke dalam seni (art). Namun
sebuah karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan
menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh dalam bentuk teks drama
atau prosa (Endraswara, 2003:96).
Karena psikologi itu
merupakan ilmu mengenai jiwa, maka persoalan yang pertama-tama timbul ialah
apakah yang dimaksud dengan jiwa itu (Walgito, 2003: 5). Jiwa adalah seluruh
kehidupan batin manusia (yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dsb)
(KBBI, 2005). Keadaan yang menimpa memengaruhi perasaan serta pikiran manusia.
Perasaan ini akan menimbulkan perubahan perilaku dalam kehidupannya. Bila
seseorang mengalami hal baik, maka perasaan yang timbul akan baik juga,
sehingga perilaku yang akan dilakukan cenderung positif. Sebaliknya, bila
seseorang mengalami hal buruk dalam kehidupannya, maka perasaan yang timbul
akan buruk, sehingga perilaku yang akan dilakukan cenderung negatif. Di sisi
lain, ada sedikit orang yang mengalami hal buruk, tetapi hal buruk tersebut
memotivasinya untuk berubah, sehingga apa yang dilakukan cenderung positif.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
psikologi merupakan teori yang memelajari jiwa manusia melaui perilaku dalam
aktivitasnya sehari-hari untuk memecahkan sebuah masalah melalui caranya
sendiri. Tingkah laku tersebut bisa bersifat psikomotor dan tertutup. Sehingga
kita bisa mengetahui apa motivasi yang ingin dicapai.
PSIKOLOGI SASTRA
Psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang
diyakini mencerminkan proses dan
aktivitas kejiwaan, tujuannya untuk memahami aspek-aspek kejiwaan yang
terkandung di dalam suatu karya sastra. Langkah pemahaman teori psikologi
sastra dapat melalui tiga cara, pertama,
melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap
suatu karya sastra. Kedua, dengan
terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian,
kemudian teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk digunakan. Ketiga, secara simultan menemukan teori dan objek penelitian
(Endraswara, 2008:89).
Menurut Wellek dan
Waren (1989:90), Istilah
psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian, yaitu;
(1) Studi psikologi pengarang
sebagai tipe atau pembeda, (2) Studi proses kreatif,
(3) Studi tipe dan hukum-hukum
psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan (4) Studi yang mempelajari dampak
sastra pada pembaca atau psikologi pembaca.
Jatman dalam Endraswara
(2003:97) menyatakan bahwa antara karya sastra dan psikologi memiliki pertautan
yang erat, secara tak langsung dan fungsional. Pertautan yang erat, secara tak
langsung dan fungsional. Pertautan tak langsung, karena baik sastra maupun
psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan. Psikologi dan sastra juga
memiliki hubungan fungsional karena sama-sama mempelajari keadaan kejiwaan
orang lain. Namun dalam psikologi gejala tersebut tampak riiil, sedangkan dalam
sastra bersifat imajinatif.
Menurut Endraswara
(2003:96-97) psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sastra
sebagai aktivitas kejiwaan yang mana pengarang akan menggunakan cipta rasa, dan
karya dalam berkarya. Pendekatan yang digunakan dalam pengkajian psikologi
dalam karya sastra adalah pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologis
tokoh dalam karya sastra. Menurut Endraswara (2008: 2) dari sisi historis,
psikologi sastra sejajar dengan psikologi sastra. Hanya saja sosiologi sastra
lebih berkembang karena berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Di samping itu,
penelitian tentang hubungan masyarakat dengan karya sastra dianggap lebih
ringan daripada penelitian tentang hubungan kejiwaan dengan karya sastra.
Kejiwaan dirasa begitu rumit, karena jiwa seseorang berada di dalam hati yang
tidak terlihat. Mungkin hanya gejala-gejalanya saja yang bisa dikaji.
Jadi, dalam memahami
fenomena kejiwaan itu dapat dilakukan lewat perilaku setiap apa yang diucapkan
dan diperbuat oleh penanggung frustasi dan anxienty (kecemasan). Perilaku
yangtercermin lewat ucapan dan perbuatan merupakan data atau fakta empiris yang
menjadi agen penunjuk keadaan jiwa atau mental data atau fakta empiris yang
menjadi agen penunjuk keadaan jiwa atau mental seseorang. Jadi meski jiwa yang
menjadi ujung kajian, analisis tetap bersandar pada data-data empiris, yaitu
fakta yang teramati (Siswantoro, 2005:26-27).
Berdasarkan teori tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa psikologi sastra adalah suatu
ilmu jiwa yang meneliti serta mempelajari kegiatan-kegiatan
atau aktivitas-aktivitas psikis manusia
yang tercermin dalam perilaku manusia
dan mempelajari gejala-gejala kehidupan.
Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang
membicarakan unsur-unsur kejiwaan tokoh fiksional yang terkandung dalam karya.
Berkaitan dengan pembicaraan psikologi dan sastra, psikologi analisis merupakan
kajian yang paling dekat dengan sastra.
Istilah “psikologi sastra” oleh Wellek dan Waren
(1989) diuraikan dalam bentuk esai kritis yang panjang. Kita dapat menyelami
betapa pentingnya psikologi sastra untuk menangkap sisi lain dari karya sastra
(Endraswara, 2008: 64). Sisi lain di sini adalah kejiwaan tokoh dalam karya
sastra tersebut. Dikatakan begitu penting karena dengan mengetahui kejiawaan
tokoh, maka pembaca akan mengetahui latar belakang diciptakannya karya sastra
tersebut.
MOTIVASI
Dari sekian banyak
disiplin ilmiah di lingkungan ilmu-ilmu sosial, ilmu psikologi paling dekat
dengan teori motivasi dan aplikasinya. Seperti diketahui, psikologi adalah ilmu
yang berusaha mengukur, menjelaskan dan ada kalanya mengubah perilaku manusia.
Para psikolog dengan berbagai bidang spesialisasinya telah terbukti mampu
memberikan sumbangan nyata terhadap pemahaman dan pendalaman perilaku
individual yang sangat bermanfaat dalam memilih dan menentukan penggunaan teori
motivasi yang paling tepat. Motivasi merupakan keadaan dalam diri individu atau
organisme yang mendorong perilaku kearah tujuan yang ingin dicapai.
Siagian (2004:137)
menyatakan bahwa motivasi merupakan akibat dari interaksi seseorang dengan
situasi tertentu yang dihadapinya. Karena itulah terdapat perbedaan dalam
kekuatan motivasi yang ditunjukkan oleh seseorang dalam menghadapi situasi
tertentu disbanding dengan orang-orang lain yang menghadapi situasi yang sama.
Bahkan seseorang akan menunjukkan
dorongan tertentu dalam menghadapi situasi yang berbeda dan waktu yang
berlainan pula.
Walgito (2010:240) menyatakan bahwa motivasi itu
mempunyai tiga aspek, yaitu (1) keadaan terdorong dalam diri organism (a driving state), yaitu kesiapan
bergerak karena kebutuhan misalnya kebutuhan jasmani, karena keadaan mental
seperti berpikir dan ingatan, (2) perilaku yang timbul dan terarah karena
keadaan, (3) goal atau tujuan yang
ingin dituju oleh perilaku tersebut.
Sedangkan menurut KBBI (2005) bahwa motivasi adalah dorongan yang timbul
dalam diri seseorang secara sadar atau
tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu.
1.
Jenis-jenis
Motivasi
(a)
Motif
Fisiologis
Motif fisiolofis atau dorongan pada umumnya berakar
pada keadaan jasmani, misalnya dorongan untuk makan, dorongan untuk minum,
dorongan seksual. Dorongan-dorongan tersebut berkaitan dengan
kebutuhan-kebutuhan untuk melangsungkan eksistensinya sebagai makhluk hidup.
Apabila lapar, ada dorongan untuk makan, dan apabila haus ada dorongan untuk
minum, dan sebagainya (Walgito, 2010:244)
(b)
Motif
Sosial
Motif sosial merupakan motif yang kompleks, dan
merupakan sumber dari banyak perilaku atau perbuatan manusia. Dikatakan motif
sosial karena motif ini dipelajari dalam kelompok sosial (sosial group). Motif sosial dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1)
kebutuhan akan prestasi, (2) kebutuhan untuk berafiliasi dengan orang lain, (3)
kebutuhan akan kekuasaan (Walgito, 2010:248).
A.
Perilaku
Perilaku adalah
aktivitas atau kegiatan yang ada pada individu sebagai akibat dan adanya
rangsangan yang mengenai individu itu sendiri. Sehingga perilaku itu merupakan
jawaban atau respon terhadap rangsangan mengenai individu. Perilaku adalah
tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan (KBBI,
2005). Sedangkan menurut Walgito (2010:11) menyatakan bahwa perilaku atau
aktivitas merupakan jawaban atau respon terhadap stimulus yang mengenainya.
Oleh karena itu, perilaku, lingkungan, dan organisme saling berpengaruh satu
dengan yang lain.
1.
Jenis-jenis Perilaku
Perilaku manusia dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu perilaku
reflektif dan perilaku non reflektif. Pertama,
perilaku reflektif adalah adalah
perilaku yang terjadi atas reaksi secara spontan terhadap stimulus yang
mengenai organisme tersebut. Kedua,
perilaku non-reflektif adalah
perilaku yang dikendalikan atau diatur oleh pusat kesadaran atau otak.
2.
Pembentukan
Perilaku
Seperti telah
dipaparkan di atas bahwa perilaku manusia sebagian terbesar adalah berupa
perilaku yang dibentuk dan perilaku yang dipelajari. Berkaitan dengan hal
tersebut maka salah satu persoalan ialah bagaimana cara membentuk perilaku itu
sesuai dengan yang diharapkan.
a)
Cara
pembentukan perilaku dengan kondisioning atau kebiasaan.
Cara pembentukan
perilaku dapat ditempuh dengan kondisioning atau kebiasaan. Dengan cara
membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan
terbentuk perilaku tersebut. Misalnya, anak dibiasakan gosok gigi sebelum
tidur, mengucapkan terima kasih bila diberi sesuatu oleh orang lain, dan
sebagainya (Palpov dalam Walgito, 2010:14).
b)
Pembentukan
perilaku dengan pengertian.
Pembentukan perilaku
dapat ditempuh dengan pengertian atau
insight. Misalnya, datang kuliah jangan sampai terlambat, bila naik motor
harus pakai helm, karena helm tersebut untuk pengamanan diri, dan sebagainya.
Cara ini berdasarkan atas teori kognitif, yaitu belajar dengan disertai
pengertian (Kohler dalam Walgito, 2010:14).
c)
Pembentukan
perilaku dengan menggunakan model.
Pembentukan perilaku
dapat ditempuh dengan menggunakan model atau contoh. Misalnya, orang tua
sebagai contoh anak-anaknya, pemimpin sebagai panutan yang dipimpinnya, dan
sebagainya. Hal tersebut menunjukkan pembentukan perilaku dengan menggunakan
model (Walgito, 2010:15).
PEMBAHASAN
Tokoh Larasati atau
yang sering dipanggil Ara dalam roman Larasati karya Pramoedya Ananta Toer
digambarkan sebagai perempuan yang kuat dan setia terhadap revolusi yang
terjadi. Ara rela berkorban dan melakukan perjuangan yang besar. Akan tetapi
Ara bukan hanya seorang wanita biasa, dia adalah seorang artis yang laku pada
masa penjajahan Belanda.
Ara sangat mencintai
Tanah Airnya yaitu Indonesia yang pada saat
itu sedang dijajah negara Belanda. Ara berkeinginan menjadi pejuang
kemerdekaan. Keberadaannya ingin diakui dan Ara merasa memiliki tanggung jawab
yang sama untuk memerdekakan negaranya. Ara menuntut kesetaraan hak dan peluang
yang sama dengan laki-laki dalam berjuang melawan penjajah. Dari sini,
kolonialisme menumbuhkan motivasi Ara untuk berjuang memerdekakan negaranya. Di
sisi lain motivasi-motivasi yang timbul menciptakan perilaku tokoh utama ini
berubah secara signifikan.
A.
Analisis
Motivasi
Dalam analisis motivasi
ini akan diuraikan kutipan-kutipan yang mencerminkan motivasi dari tokoh utama
yaitu Larasati (Ara). Seperti yang disebutkan dia atas, Ara berkeinginan untuk
turut serta memerdekakan negaranya dari cengkeraman Kolonialisme. Biarpun Ara
hanya seorang wanita, tetapi keadaan telah memaksa dirinya untuk menjadi wanita
yang kuat. Sosok bintang film yang disandang memotivasinya untuk berjuang
melawan penjajahan Belanda. Berikut kutipannya.
“ia berjanji
dalam hatinya, tidak akan main untuk propaganda Belanda, untuk maksud-maksud
yang memusuhi revolusi. Aku akan main film yang ikut menggempur penjajah”
(Toer, 2003: 8-9).
Kutipan dari Ara tersebut menarik karena
motivasi dari segala apa yang di buat oleh Ara adalah kemerdekaan. Hal ini
merupakan dorongan naluri setiap manusia. Kemerdekaan yang memang menjadi hak
setiap warga negara, kemerdekaan yang selalu menjadi keinginan setiap orang.
Kemerdekaan yang memberi ruang kebebasan untuk bertindak selama tidak
mengganggu kebebasan orang lain.
Motivasi juga hinggap pada Ara meskipun Ara menyesal karena lahir sebagai perempuan, tetapi tidak menciutkan dirinya untuk mengusir Belanda dari tanah airnya. Dia selalu berjuang melalui
caranya sendiri, dengan membawa selendang pemberian pemuda pejuang Ara melawan
prajurit Belanda tanpa rasa takut.
“Diremas-remas
selendang merah pemberian prajurit front yang tak dikenalinya. Kalau aku lelaki
aku bakar seluruh perkampungan artileri ini. Dan untuk pertama kali dalam
hidupnya ia menyesali kelahirannya sendiri sebagai wanita. Kalau aku lelaki aku
bisa berbuat banyak. Daerah ini bisa kalah berkali-kali. Tapi Revolusi tak
bakal menyerah! Pada waktunya, mulut-mulut besar ini akan dibabat oleh
Revolusi. Semua!” (Toer, 2003: 32).
Kutipan
teks tersebut bagus sekali, karena bisa memupuk semangat pemuda-pemuda
Indonesia. Ara tak pernah takut dengan revolusi, baginya sebelum berperang tidak boleh
merasa takut untuk kalah. Selama kita berjuang urusan kalah atau menang itu
silih berganti jadi harus selalu optimis. Keyakinan untuk menang selalu kita
pupuk agar semangat melakukan revolusi tetap membara dan berhasil
meraih kemenangan.
Itulah pesan yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer kepada pembaca.
Selain
itu, ungkapan yang disampaikan Ara secara tidak langsung mencerminkan motivasi
diri. Hal ini disebabkan penghinaan-penghinaan yang dialaminya. Berikut
kutipannya.
”Kemarahanku
memang tak berarti. Tapi peristiwa penghinaan demi penghinaan ini takkan mau
kulupakan,” (Toer, 2003: 37).
Kutipan di atas secara tersirat menggambarkan
motivasi Ara untuk membalas dendam kepada para pengkhianat bangsa. Hal tersebut
terlihat dalam ungkapan Ara “takkan mau kulupakan.” Pada kutipan tersebut Pramoedya
berhasil menggambarkan suasana yang dramatik.
Kutipan
berikut juga mencerminkan semangat Ara untuk meraih kemenangan. Kekalahan yang
pernah diderita memotivasi dirinya untuk berjuang. Kutipan di bawah ini hampir
sama dengan kutipan sebelumnya. Berikut kutipannya.
“Tidak, aku tidak takut lagi.”
“ Karena kita menang? Salah, perjuangan selamanya
mengalami menang dan kalah, silih berganti. Kalau kau menang, bersiaplah untuk
kalah, dan kalau kalah, terima kekalahan itu dengan hati besar, dan rebutlah kemenangan.”
(Toer,
2003: 108).
Pernyataan Ara di atas menggambarkan
ketidaktakutan Ara melawan penjajah. Pesannya, kekalahan harus menjadi motivasi
seseorang untuk meraih kemenangan. Indonesia waktu itu memang mengalami
keterpurukan, seharusnya hal tersebut memotivasi rakyatnya untuk bangkit.
Bagaimanapun juga penjajahan harus dihapuskan. Di samping itu, pernyataan Ara
tersebut sekaligus memotivasi lawan bicaranya.
Hal menarik dari kutipan di atas adalah
“terima kekalahan itu dengan hati besar, dan rebutlah kemenangan”. Kutipan
tersebut mengisyaratkan pada pembaca bahwa kekalahan bukanlah akhir dari
segalanya, bisa jadi dengan adanya kekalahan akan menciptakan kemenangan. Pada
kutipan yang lain, menggambarkan semangat Ara untuk meraih sebuah kemenangan, padahal
pada saat itu dirinya mengalami kekalahan. Berikut kutipannya.
”Jadi
Revolusi belum lagi bangkrut sama sekali, sekalipun sudah banyak para pembesar
dan penguasa sudah angkat bendera kain mayat! Ia tersenyum. Aku sudah kalah
sekarang, tapi Revolusi belum lagi bangkrut! Aku suadah kalah tapi besok,
mungkin lusa, mungkinpun sebulan, mungkin setahun lagi, akupun bisa menangkap
dia! Debaran jantung sekali ini terasa sedemikian tebal darahnya. Ia terharu.
Matanya bekaca-kaca. Indahnya dunia ini bila Pemuda masih tahu perjuangan!
(Toer, 2003: 160).
Kutipan di atas hampir sama dengan kutipan
sebelumnya, hanya saja Pramoedya Ananta Toer memberikan pesan menarik pada
kutipan tersebut. Pesan tersebut adalah
kritisi untuk pemuda-pemuda zaman revolusi, bahkan bisa dikatakan kritisi untuk
pemuda-pemuda zaman sekarang. Kritik yang disampaikan adalah “Indahnya dunia
ini bila Pemuda masih tahu perjuangan”. Bila kutipan tersebut di tempatkan pada
zaman dulu, mengisyaratkan lemahnya pemuda-pemuda dalam melakukan perjuangan,
bahkan tidak sedikit yang berkhianat. Bila kutipan tersebut di tempatkan pada
zaman sekarang, mengisyaratkan lemahnya pemuda-pemuda Indonesia untuk menjaga
budaya bangsa.
Di sisi lain, pekerjaan Ara sebagai
artis (pemain film) memotivasi untuk berjuang. Dia seolah-olah menantang
seseorang yang ada di hadapannya, bahwa dia mampu berjuang melalui profesinya.
Profesi yang dianggap masyarakat sebagai sampah belaka ditampiknya dengan
janji-janji yang telah diucapkan. Berikut kutipannya.
“Akan terbukti
nanti apakah aku, sebagai bintang film juga sanggup berjuang dengan seniku atau
tidak” (Toer, 2003: 9).
“Akan terbukti nanti”
menggambarkan janji Ara untuk memenuhi tuntutan sebagai warga Negara yang
terjajah. Sebagai artis (bintang film) bukan tidak mungkin melakukan
perjuangan. Dari kutipan tersebut, Pramoedya Ananta Toer ingin memberikan pesan
kepada pembaca, bahwa jangan pernah meremehkan atau mendiskreditkan profesi
seseorang. Dari sini, Pramoedya berhasil menggambarkan suasana secara mendalam
pada sebuah perjuangan.
“Nyawaku toh tidak bakal berharga bagi
Revolusi.” Mendengar itu mata opsir itu berapi-api. Mendesak, “Jadi kau tetap
republikein. Tidak punya niat masuk NICA*?” Larasati tersenyum. Kembali ia
duduk di samping perwira tamunya. “Apa keuntunganku? Dengan bangsaku sendiri
aku merasa lebih terjamin. Belanda tidak nonton aku di film. Dan sekiranya mau
masuk NICA, bukan main goblok aku ini kalau mengabarkan pada orang lain” (Toer,
2003: 21).
Dari kutipan di atas
menyatakan bahwa Ara merasa lebih nyaman dan terjamin hidup bersama bangsanya.
Pernyataan ini mengisyaratkan motivasinya untuk berjuang melawan Belanda.
Bahkan, Ara menolak mentah-mentah tawaran menjadi anggota NICA.
Revolusi juga mengubah
Ara untuk berjuang melawan penjajah. Keterpurukan yang dialami menggugah
semangat Ara untuk melakukan sesuatu untuk Negara dan bangsanya. Berikut
kutipannya.
“Bumi revolusi
masih luas. Bumi jajahan terlalu sempit. Semua orang penting di bumi penjajahan
ini tidak bakal lebih dari kau! juga kolonelmu sendiri lebih hina dari kau yang
paling tinggi kedudukannya.”
“Kau tidak
seperti dulu, Ara.”
“Tentu saja
tidak. Apa gunanya Revolusi kalau tidak bisa mengubah aku?” (Toer, 2003: 47).
“Tentu saja tidak. Apa gunanya Revolusi kalau tidak
bisa mengubah aku?” Statement yang
menarik karena menggambarkan semangat Ara untuk berubah. Dorongan untuk berubah
ini termotivasi dari keadaan yang telah dialaminya selama ini. Ara melihat
banyak orang-orang di sekitarnya (pribumi) yang menjadi mata-mata (antek) Belanda. Hal tersebut menjadikan
Ara marah kepada para pengkhianat bangsa. Dari kenyataan yang ada di hadapannya
dia termotivasi untuk terus berjuang. Bahkan Ara mengumpat pengkhianat
tersebut. Berikut kutipannya.
Ungkapan-ungkapan Ara
atau motivasi-motivasi yang terkandung dalam novel “Larasati” karya Pramoedya
Ananta Toer memberikan pesan kepada pembaca untuk selalu berjuang melawan
keadaan, walaupun dalam posisi yang lemah. Lebih lanjut, roman ini juga
mengisahkan tentang orang-orang yang kalah sebelum berperang, yaitu para
pengkhianat bangsa. Pramoedya menjelaskan melalui tokoh Ara, bahwa para
pengkhianat tersebut tidak pantas untuk menjadi warga Negara Indonesia, karena
jiwa dan raga mereka telah menjadi milik Belanda. Motivasi-motivasi tersebut
tentunya memupuk semangat pembaca untuk senantiasa menjaga persatuan dan
kesatuan Negara Republik Indonesia. Secara keseluruhan, motivasi-motivasi dari
Pramoedya untuk pemuda Indonesia yang disampaikan melalui tokoh Ara merupakan
hal yang menarik dan berhasil sebagai sebuah cerita motivasi.
B.
Analisis
Perilaku
Berdasarkan
rumusan masalah, analisis kedua menguraikan tentang perilaku dari Larasati
(Ara). Perilaku ini muncul ketika Ara termotivasi untuk berjuang melawan
penjajah. Perilaku yang tercermin menggambarkan sikap Ara untuk berperilaku
positif menanggapi hinaan dari orang lain. Berikut kutipannya.
“Aku boleh
seorang pelacur! Aku boleh seorang sampah masyarakat! Aku seorang bintang film
gagal! Tapi beradat! Tidak. Aku juga punya tanah air. Aku, Larasati, bintang
Ara. Sedang sebutan miss pun tak pernah aku pakai. Ara! Cukup Ara.” (Toer,
2003: 12).
Berdasarkan
kutipan tersebut penulis roman, yaitu Pramoedya sangat jeli menggambarkan
keadaan melalui kalimat. Larasati mengakui dirinya sebagai seorang pelacur,
tetapi perilaku keterbukaan ini merupakan suatu bentuk pemberontakan dalam
dirinya terhadap perilaku para penjajah yang semena-mena. Walaupun Larasati
adalah seorang pelacur tetapi masih beradat. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku
para Penjajah lebih kotor dari pada pelacur yang dialami oleh Larasati.
“Aku juga punya Tanah Air. Jelek-jelek tanah
airku sendiri, bumi dan manusia yang menghidupi aku selama ini. Cuma binatang
ikut Belanda” (Toer, 2003: 13).
Kutipan tersebut menarik karena
Pramoedya mampu membuat statement oposisi biner melalui tokoh Ara. Larasati pun
mengakui seberapa jeleknya Tanah Airnya akan tetapi dia juga tersadarkan
seberapa dia berhutang kepada Tanah Airnya yang telah menghidupi dia selama ini dan hanyalah binatang yang merelakan menjual cinta mereka
NICA atau Belanda untuk hidup yang berkecukupan. Di mata Larasati hanyalah
binatang yang tega menyerah kepada para penjajah,dan apalagi bila tujuannya
adalah karena kepuasaan tersendiri, mencari aman atau hanya material yang ditujunya. Larasati adalah
perempuan yang mempunyai kesetiaan yang
tinggi terhadap tanah airnya. Ia menolak ketika ia diminta bahkan didesak untuk
masuk NICA yang merupakan pemerintahan
Hindia-Belanda. Ara berkeras hati untuk melawan perintah yang telah diberikan
kepadanya oleh perwira Belanda.
Dalam hal ini, sikap ketegasan yang
dimiliki oleh Larasati merupakan wujud dari dorongan dalam dirinya untuk tetap melawan Belanda. Kesertiaannya diuji,
namun ia adalah pejuang sejati dengan caranya sendiri. Walaupun Larasati adalah
seorang wanita, tetapi hal itu tidak menghalangi dirinya untuk mengikuti
perang melawan tentara Belanda. Dia menyadari ajal mungkin akan menjemputnya
bila dia mengikuti perang ini, akan tetapi Larasati tetap berani untuk
mengikuti perang tersebut. Pada saat itu juga Larasati dipenuhi dengan
ketakutan dan kebingungan akan keberadaanya di medan perang. Akhirnya dia
pun melepaskan semua kekhawatiran dan ketakutannya, ketika dirinya terjun ke medan perang itu.
“Apa keuntunganku?
Dengan bangsaku sendiri aku merasa lebih terjamin. Belanda tidak nonton
aku di film. Dan sekiranya mau masuk Nica, bukan main goblok aku ini kalau
mengabarkan pada orang lain.” (Toer,
2012: 21)
Kutipan
tersebut menyatakan sebuah keyakinan terhadap bangsanya, dan ini ciri khas
Pramoedya menggarap karyanya. Larasati menyadari bahwa pada akhirnya bangsanya sendiri yang akan memberikan
jaminan kebebasan terhadap dirinya. Ia tetap bertahan sebagai seorang
republiken walau sehari-hari ia selalu bersama orang belanda untuk menghibur
mereka. Larasati hanya bisa mendukung dengan memakai status seniman yaitu
seorang artis dengan cara bermain film republiken. Akan tetapi dia hanya
ditawarkan untuk bermain film dibawah kendali NICA, dan pastinya dia
menolak tawaran itu. Tak pernah sedikitpun dia berpikir untuk
mengkhianati negaranya sendiri, Tanah Airnya. Perilaku Ara juga nampak saat dia
melihat orang-orang di sekitarnya yang
terkena imbas tindak kolonialisme dari Pemerintah Belanda. Berikut
kutipannya.
“Untuk pertama
kali ini Ara menangis begitu lama, seorang diri. Ia menangisi jiwa-jiwa muda
yang begitu rela, yang begitu tanpa dosa. Dan, katanya dalam hati, aku adalah
penjelmaan dari dosa ini sendiri.” (Toer, 2003: 29).
Dari kutipan di atas, perilaku dari tokoh Ara
mencerminkan keprihatinan melihat anak-anak muda yang menjadi korban tindakan
Belanda. Bahkan, Ara menyalahkan dirinya sendiri. Kutipan tersebut Pramoedya
dengan baik mengriktik kekejaman pemerintah Belanda kepada bangsa Indonesia.
Karakter Larasati berbeda dengan tipikal
perempuan-perempuan lainnya, dia akan melakukan berbagai cara untuk
menunjukan rasa cintanya kepada Tanah Airnya. Setiap orang pasti diuji
kesetiaannya dengan berbagai macam cobaan. Satu-satunya keiinginan yang dimiliki
oleh Larasati adalah hidup damai. Ia menyadari bahwa untuk hidup damai tidaklah
mudah apa lagi berada di tengah para penjajah. Berbagai cara harus dilakukan.
Dorongan untuk hidup damai ini membuat
Larasati nekat melakukan apa saja. Termasuk menjadi pelacur. Dorongan ini
muncul dalam dirinya akibat tekanan yang dilakukan oleh para penjajah. Larasati
tidak pernah dengan tulus hati menari atau bermain film. Apa yang dilakukannya
adalah kemunafikan. Semua sikap ini adalah dorongan untuk hidup damai tanpa ada
penjajahan.
Perilaku prihatin terulang saat Ara
berdialog dengan salah satu pengkhianat bangsa. Pernyataannya seolah-olah
mengumpat Larasati. Berikut kutipannya.
“Kehormatan mana lagi yang mesti kau
pertahankan ?” (Toer, 2003: 36).
Apa yang disampaikan Ara tersebut
menarik, karena perempuan memang tidak layak dihina. Umpatan di atas dijawab
Ara dengan lugas. Di sini Ara menunjukkan bahwa dirinya memang tidak pantas
untuk dihina maupun didiskreditkan siapapun. Bahkan, Ara mencerca balik pemuda
pengkhianat bangsa tersebut. Berikut kutipannya.
“Kembali air
mata membasahi matanya air matanya yang baru sebentar tadi kering. Tetapi
Larasati tahu, Terhadap pengkhianat-pengkhianat tak perlu mengalah, Ia pun tak
akan pernah. Dan perlahan-lahan ia menjawab,”Memang aku hanya seorang pelacur,
tuan kolonel. Tapi aku masih berhak mempunyai kehormatan. Karena, aku tidak
pernah menjual warisan nenek moyang.”(Toer, 2003: 36).
Pramoedya, dalam teks tersebut berhasil
mengungkapkan dua sisi yang bertentangan (oposisi biner) untuk diperbandingkan.
Ungkapan Ara di atas menggambarkan kehormatan sebagai bangsa yang terjajah.
Menurutnya, seorang pengkhianat lebih buruk daripada seorang pelacur. Pesan
dari kutipan di atas adalah bahwa sebagai warga Negara berkewajiban membela
negaranya apabila dijajah oleh Negara lain. Apapun profesinya, seseorang
berkewajiban mempertahankan kedaulatan tanah airnya. Pernyataan tersebut
dipertegas dengan kutipan di bawah ini.
“Ia
ingin suatu kehidupan damai, di mana ia dapat membaktikan seluruh hidupnya
dengan kecakap satu-satunya yang dimilikinya. Main film. Bagaimanapun juga
kotorrnya namaku, aku akan tetap berguna, kotor? Biar aku kotor, perjuangan
tidak akan aku kotori. Revolusi pun tidak! Negarapun tidak! Rakyat apa lagi.”
(Toer, 2003: 44).
Perilaku kasar juga
terlihat pada sosok Ara yang mencerca (berkata kasar) seorang pengkhianat
bernama Mardjohan. Dialog di bawah ini menunjukkan sikap Ara yang tidak senang
kepada para pengkhianat bangsa. Berikut dialognya.
”Tiba-tiba
Mardjohan memulai, “Engkau beruntung Ara,.
“Apa untungku? Di seberang kali Bekasi
itu akan mengenal banyak kanak-kanak yang mungkin sekarang telah tewas karena
merian tuanmu. Apa untungku?”
“Sttt.”Mardjohan berbisik.
“Gerombolan binatang!”Larasati berseru
setengah memekik.
“Besok atau lusa kau insaf , kau masih
berutung. Aku maafkan kau, Ara.”
“Binatang!” Larasati mengulangi.
Kembali sopir itu batuk-batuk
“Hati-hati
dengan mulutmu, Ara.”
“Apa
gunanya? Disini hati-hati dan tidak sama saja hasilnya.”
“Hati-hati.” Mardjohan mengulangi,”
Aku juga bisa hancurkan kau.”
“Ayoh, hancurkanlah.” (Toer, 2003:
42).
Melalui tokoh Ara, Pramoedya melampiaskan
kegeramannya pada pengkhianat. Kutipan tersebut menarik karena dialog mampu
membangun suasana yang dramatik. Ara menyebut Mardjoahan sebagai gerombolan
binatang, hal ini tidak lain karena Mardjohan bekerja sebagai mata-mata
Belanda. Bahkan, Ara menunjukkan sikap tidak takut akan ancaman yang
disampaikan Mardjohan. Pramodya Ananta Toer melalui tokoh Ara menyampaikan
pesan, bahwa kebenaran tidak akan pernah takut dengan kesalahan. Jika seseorang
itu berada dalam pihak yang benar, maka beranilah. Begitulah kira-kira pesan
dari pengarang.
Larasati datang jauh-jauh dari Yogyakarta
ke Cikampek untuk bertemu dengan ibunya yang sudah setahun lamanya
tidak bertemu dan sepanjang perjalanan dia selalu berdebat dengan
dirinya sendiri tentang revolusi. Kesetiannya yang tiada hentinya kepada Tanah
Airnya telah menggambaran kokohnya karakteristik Larasati. Walaupun banyak
halangan terjadi di perjalanannya ke Cikampek tetap saja dia teguh untuk
membela Tanah Airnya. Berikut kutipan perilaku Ara yang mencerminkan pejuang
Tanah Air.
“Salvo buat Ara yang setia!” seseorang
memekik (Toer, 2003: 29).
Sewaktu
dia berangkat menaiki kereta, banyak lelaki-lelaki yang berteriak
“Merdeka” ataupun namanya
“Ara!” (Toer,
2003: 29).
Setelah sampai ke Cikampek Larasati
telah dikira seorang NICA oleh seorang kakek yang merupakan tetangga
ibunya mengira bahwa Larasati adalah seorang NICA. Dengan demikian, sang kakek
memukul Larasati dengan tongkatnya, sehingga dada Larasati terasa sakit. Telah
disampaikan dengan berbagai macam cara untuk menunjukkan bahwa dia bukanlah
seorang inlander tetapi tetap saja tak berguna.
Hal menarik juga terjadi saat Ara
bertemu dengan seseorang bernama Didong. Dari pertemuan tersebut Ara tidak
menjadi gadis lagi. Anehnya, dengan kejadian itu Ara menjadi bahagia. Berikut
kutipannya.
“Habis
pertunjukkan, Oom Didong membawanya ke dalam sebuah rumah. Ia tak tahu dimana.
Malam itu ia tidur bersama dengannya-dengan pria gagah dan mempesona-duapuluh
lima tahun lebih tua dari pada dirinya.
Mana Oom Didong sekarang! Dan pria itu membuat baju gaunnya
berbercak-bercak dititiki tetesan tetesan darah. Darahnya sendiri yang membuat
ia untuk selama lamanya kehilangan masa para perawannya. Tetapi ia merasa
bahagia. Malam itu baginya merupakan malam yang bagi anak anak sebayanya masih
merupakan impian. Malam itu pula untuk pertama kalinya ia minum bir sampai
mabuk.” (Toer, 2003: 68).
Jika kita mencermati kutipan di atas, maka akan
ditemukan kebahagiaan Ara bertemu dengan Didong. Perilaku seperti ini biasa
tercermin pada malam pengantin baru. Kutipan tersebut juga mengisahkan jiwa
kekanak-kanakan Ara.
Demikian analisis
perilaku tokoh Ara dalam novel “Larasati” karya Pramoedya Ananta Toer.
Perilaku-perilaku yang tergambar dari tokoh Ara menunjukkan sikap sebagai warga
Negara yang baik. Hanya saja, ketika Ara menerima hinaan dari seseorang tentang
profesinya jiwanya bergejolak marah. Seolah-olah dengan ungkapannya Ara
melakukan pembelaan diri, dan menunjukkan bahwa dirinya bukanlah seperti yang
dipikirkan orang lain. Profesi bukan jaminan seseorang itu baik atau buruk.
Begitulah kira-kira pesan dari Pramoedya Ananta Toer melalui tokoh Larasati
(Ara). Berikut ini bagan pola dasar penelitian psikologi sastra novel “Larasati”
karya Pramoedya Ananta Toer.
NOVEL LARASATI
|
TEORI PSIKOLOGI
SASTRA
|
MOTIVASI
|
PERILAKU
|
BAIK
|
BURUK
|
SIMPULAN
Untuk lebih jelas
mengenai roman Larasati karya Pramoedya Ananta Toer, penulis menafsirkan inti
dari cerita roman tersebut, yaitu tokoh utama yang bernama Larasati (Ara) yang
mengalami gejolak jiwa karena dihadapkan dengan kenyataan. Kenyataan di sini
menggambarkan keterpurukan Larasati ketika menghadapi sistem kolonialisme yang
melanda negaranya. Dari kejadian-kejadian yang dialami membuat Larasati
termotivasi untuk melawan penjajah, serta mengubah perilaku Larasati untuk
menghadapi segala persoalan hidupnya.
Dalam penelitian ini
analisis motivasi menggambarkan semangat Larasati untuk turut serta berjuang
melawan kolonial Belanda. Profesi sebagai pelacur dan bintang film tidak
menghalanginya untuk tetap mencintai negaranya. Di samping itu, Larasati
menganggap bahwa profesinya lebih baik daripada pengkhianat bangsa. Semangat
perjuangannya juga di dapat dari keterpurukan ibunya. Tanpa sadar ibunya telah
mendorongnya untuk menjadi warga Negara yang baik.
Sedangkan analisis
perilaku menggambarkan perubahan sikap Larasati menelaah kehidupan. Perubahan
ini di peroleh dari keadaan yang memaksanya untuk dihadapkan pada berbagai
pilihan, yaitu berjuang untuk bangsa dan tanah air atau hanya diam menunggu.
Dari hasil analisis, Larasati mengalami perubahan perilaku positif, yaitu
merasa bahwa dirinya memunyai kewajiban memertahankan kedaulatan negaranya,
biarpun dia hanya seorang pelacur dan bintang film.
Pemaparan di atas dapat
ditelaah dengan menggunakan teori psikologi. Dalam hal ini, teori psikologi
bertujuan untuk mengungkapkan gejala jiwa yang dialami tokoh dalam karya
sastra. Gejala jiwa tersebut bisa berupa motivasi diri atau perilaku yang
dialami tokoh tersebut. Selain itu, para peneliti dapat menggunakan teori
psikologi untuk mengungkapkan kelainan jiwa yang dialami tokoh dalam karya
sastra.
DATAR PUSTAKA
Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Depdiknas.
2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Endraswara,
Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian
Sastra. Yogjakarta: PBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra.
Yogyakarta: Media Presindo.
Kasnadi dan Sutejo. 2010. Kajian Prosa: Teori dan
Aplikasinya. Yogyakarta: Felicha
Mahayana,
Maman S. 2005.”Dakwah Agama dalam Sastra”
dalam 9 jawaban Sastra Indonesia: Sebuah
Oreantasi Kritik. Jakarta: Bening Publising.
Moleong,
J, Lexy. 2009. Metodologi Penelitian
Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muhibbinsyah. 2001. Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Novia,
Windy. 2008. Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia. Surabaya: Khasiko.
Pradopo,
Rachmad Djoko. 2010. Beberapa Teori
Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Cetakan VII, cetakan I April 1995.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga
Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Siswantoro.
2005. Metode Penelitian Sastra : Analisis
Psikologis. Yogyakarta: Muhammadiyah University Press.
Sugiyono.
2010. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Teeuw. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra, cetakan kedua.
Jakarta: Pustaka Jaya dan Girimukti Pasaka.
Toer,
Pramoedya Ananta. 2003. Larasati. Jakarta: Lentera Dipantara.
Walgito,
Bimo. 2010. Pengantar Psikologi Umum.
Yogyakarta: Andi Offset.
Wellek, Rene dan Austin Waren. 1989.
Teori Kesusastraan. Melani Budianta.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wellek, Rene dan Austin Waren. 1995.
Teori Kesusastraan. Melani Budianta.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wellek, Rene dan Austin Waren. 2009b. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Komentar