MOTIVASI DAN PERILAKU TOKOH DALAM NOVEL LARASATI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA)

LATAR BELAKANG MASALAH
Sastra adalah dunia imajinasi kompleks yang banyak memaparkan  simbol-simbol yang mengandung makna. Simbol-simbol tersebut merupakan salah satu pembangun estetika sastra ilmiah yang perlu diterjemahkan. Menurut Teeuw (1984:181) makna dan arti sebuah karya tidak mutlak ditentukan oleh penulis, tetapi pula tidak sama sekali terjadi diluar kemandirian penulis.
Karya sastra merupakan bentuk perenungan dan penuangan ide dari pengarang. Hasil perenungan dan penuangan ide tersebut bisa melalui bermacam-macam bentuk atau media, salah satunya adalah novel. Novel merupakan bentuk karya sastra yang memaparkan kehidupan sosial, budaya, psikologis, pendidikan yang disajikan pengarang lewat tokoh, alur, latar, tema, dan amanat yang disajikan dalam bentuk cerita. Aminudin (1990:57) memaparkan karya sastra lahir karena adanya keinginan dari pengarang untuk mengungkapkan eksistensinya sebagai manusia yang berisi ide, gagasan, dan pesan tertentu yang diilhami oleh imajinasi dan realitas sosial budaya pengarang serta menggunakan media bahasa sebagai penyampaiannya.
Menurut Pradopo (2002:159) karya sastra secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh lingkungan pengarang. Sastrawan sebagai anggota masyarakat tidak akan lepas dari tatanan masyarakat dan kebudayaan. Dalam kehidupan nyata setiap manusia merupakan individu berbeda dengan individu lainnya. Manusia memunyai kepribadian, watak, temperamen, pengalaman, bahkan pandangan hidup (ideologi) yang berbeda antara satu dengan lainnya. Novel sebagai salah satu bentuk karya fiktif panjang menguraikan kepribadian serta karakter tokoh yang representatif dalam suatu alur atau keadaan tertentu.
Novel tidak bisa lepas dari peranan tokohnya. Tokoh merupakan unsur terpenting, yang ditampilkan secara lengkap misalnya ciri-ciri fisik, keadaan sosial, watak, tingkah laku, dan kejiwaannya. Berbagai kejadian yang dialami tokoh dalam karya sastra akan memermudah pembaca untuk memahami dan menafsirkan. Novel  yang mampu menggambarkan atau mencerminkan kehidupan yang nyata dalam sebuah masyarakat tergolong sebagai novel yang baik, karena pada  dasarnya, novel adalah pengetahuan  realita non-ilmiah yang muncul dan terjadi dalam suatu masyarakat (Wellek dan Waren, 1990:94).
Dengan demikian karya sastra berhubungan erat dengan psikologi, walaupun juga berhubungan erat dengan kajian ilmu lainnya. Hal tersebut sejalan dengan struktur pembentuk manusia, yaitu manusia terdiri dari raga dan jiwa. Psikologi adalah ilmu yang berkaitan dengan proses-proses mental yang berpengaruh pada perilaku (Novia, 2008:366). Budi Darma (2004:138) menyatakan bahwa ada tiga alasan mengapa psikologi masuk ke dalam kajian sastra, yakni (1) untuk mengetahui perilaku dan motivasi para tokoh dalam karya sastra, (2) untuk mengetahui perilaku dan motivasi pengarang, (3) untuk mengetahui reaksi psikologi pembaca (dalam Kasnadi dan Sutejo, 2010:64).
Pembaca akan mampu mengamati dan menafsirkan perilaku dan kejiwaan tokoh-tokoh yang diuraikan pengarang melalui novel/roman dengan pertolongan psikologi. Jika perilaku dan kejiwaan tokoh-tokoh tersebut mampu direkam pembaca dan sesuai dengan pengetahuan tentang kejiwaan manusia yang diketahui, maka pembaca telah berhasil menggunakan teori psikologi untuk menafsirkan cerita dari novel tersebut.
Salah satu karya sastra prosa yang akan dijadikan objek penelitian ini adalah roman “Larasati” karya Pramoedya Ananta Toer. Roman Larasati menceritakan cara yang ditempuh “Ara” dalam memperjuangkan revolusi dengan caranya sendiri. Sampai kehormatannya dia serahkan demi Indonesia merdeka. “Ara” memotivasi dirinya untuk selalu membela tanah airnya. Roman Larasati juga memaparkan bagaimama situasi sosial yang memengaruhi dan menjadi penyebab timbulnya berbagai sikap manusia dalam menghadapi situasi saat revolusi berlangsung. Roman Larasati ini begitu menarik karena bisa memotivasi pembaca untuk mencintai tanah air.
Dari pemaparan tersebut penulis akan melakukan penelitian hanya kepada tokoh “Ara.” Untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi “Ara,” penulis juga menggunakan teori perilaku dan teori motivasi sebagai alat bantu.


PSIKOLOGI
Psikologi adalah  suatu  ilmu  jiwa  yang meneliti serta mempelajari kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas  psikis manusia yang tercermin dalam  perilaku manusia dan mempelajari gejala-gejala kehidupan. Seperti telah dikemukakan tersebut psikologi merupakan ilmu yang membicarakan tentang jiwa. Oleh karena jiwa itu sendiri tidak tampak, yang dapat dilihat atau diobservasi ialah perilaku atau aktivitas-aktivitas yang merupakan manifestasi atau penjelmaan kehidupan jiwa (Darma, 2006: 133)
Menurut Muhibbinsyah (2001:64), psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan. Tingkah laku terbuka adalah tingkah laku yang bersifat psikomotor yang meliputi perbuatan berbicara, duduk , berjalan dan lain sebagainya, sedangkan tingkah laku tertutup meliputi berfikir, berkeyakinan, berperasaan dan lain sebagainya.
Menurut Walgito (2010:1), kata psikologi berasal dari kata psyche yang diartikan jiwa dan kata logos yang berarti ilmu atau  ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, kata psikologi sering diartikan dengan ilmu pengetahuan tentang jiwa atau disingkat dengan ilmu jiwa. Berdasarkan pendapat tersebut, psikologi menggambarkan refleksi dari kehidupan kejiwaan dan mempelajari aktivitas-aktivitas individu, baik aktivitas motorik, kognitif, maupun emosional. Psikologi merupakan ilmu tentang kesadaran manusia, para ahli psikologi akan mempelajari proses-proses elementer dari kesadaran manusia itu. Dari batasan ini dapat dikemukakan bahwa kedaan jiwa direfleksikan dalam kesadaran manusia. Unsur kesadaran merupakan hal yang dipelajari dalam psikologi itu.
Siswantoro (2005:27) mengatakan bahwa psikologi adalah ilmu atau kajian ilmiah tentang perilaku dan jiwa manusia. Sastra sebagaimana sudah kita pahami berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, esai yang diklarifikasikan ke dalam seni (art). Namun sebuah karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh dalam bentuk teks drama atau prosa (Endraswara, 2003:96).
Karena psikologi itu merupakan ilmu mengenai jiwa, maka persoalan yang pertama-tama timbul ialah apakah yang dimaksud dengan jiwa itu (Walgito, 2003: 5). Jiwa adalah seluruh kehidupan batin manusia (yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dsb) (KBBI, 2005). Keadaan yang menimpa memengaruhi perasaan serta pikiran manusia. Perasaan ini akan menimbulkan perubahan perilaku dalam kehidupannya. Bila seseorang mengalami hal baik, maka perasaan yang timbul akan baik juga, sehingga perilaku yang akan dilakukan cenderung positif. Sebaliknya, bila seseorang mengalami hal buruk dalam kehidupannya, maka perasaan yang timbul akan buruk, sehingga perilaku yang akan dilakukan cenderung negatif. Di sisi lain, ada sedikit orang yang mengalami hal buruk, tetapi hal buruk tersebut memotivasinya untuk berubah, sehingga apa yang dilakukan cenderung positif.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa psikologi merupakan teori yang memelajari jiwa manusia melaui perilaku dalam aktivitasnya sehari-hari untuk memecahkan sebuah masalah melalui caranya sendiri. Tingkah laku tersebut bisa bersifat psikomotor dan tertutup. Sehingga kita bisa mengetahui apa motivasi yang ingin dicapai.

PSIKOLOGI SASTRA
Psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan  proses dan aktivitas kejiwaan, tujuannya untuk memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung di dalam suatu karya sastra. Langkah pemahaman teori psikologi sastra dapat melalui tiga cara, pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk digunakan. Ketiga, secara simultan  menemukan teori dan objek penelitian (Endraswara, 2008:89).
Menurut Wellek dan Waren (1989:90), Istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian, yaitu; (1) Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pembeda, (2) Studi proses kreatif, (3) Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan (4) Studi yang mempelajari dampak sastra pada pembaca atau psikologi pembaca.
Jatman dalam Endraswara (2003:97) menyatakan bahwa antara karya sastra dan psikologi memiliki pertautan yang erat, secara tak langsung dan fungsional. Pertautan yang erat, secara tak langsung dan fungsional. Pertautan tak langsung, karena baik sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan. Psikologi dan sastra juga memiliki hubungan fungsional karena sama-sama mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Namun dalam psikologi gejala tersebut tampak riiil, sedangkan dalam sastra bersifat imajinatif.
Menurut Endraswara (2003:96-97) psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sastra sebagai aktivitas kejiwaan yang mana pengarang akan menggunakan cipta rasa, dan karya dalam berkarya. Pendekatan yang digunakan dalam pengkajian psikologi dalam karya sastra adalah pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Menurut Endraswara (2008: 2) dari sisi historis, psikologi sastra sejajar dengan psikologi sastra. Hanya saja sosiologi sastra lebih berkembang karena berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Di samping itu, penelitian tentang hubungan masyarakat dengan karya sastra dianggap lebih ringan daripada penelitian tentang hubungan kejiwaan dengan karya sastra. Kejiwaan dirasa begitu rumit, karena jiwa seseorang berada di dalam hati yang tidak terlihat. Mungkin hanya gejala-gejalanya saja yang bisa dikaji.
Jadi, dalam memahami fenomena kejiwaan itu dapat dilakukan lewat perilaku setiap apa yang diucapkan dan diperbuat oleh penanggung frustasi dan anxienty (kecemasan). Perilaku yangtercermin lewat ucapan dan perbuatan merupakan data atau fakta empiris yang menjadi agen penunjuk keadaan jiwa atau mental data atau fakta empiris yang menjadi agen penunjuk keadaan jiwa atau mental seseorang. Jadi meski jiwa yang menjadi ujung kajian, analisis tetap bersandar pada data-data empiris, yaitu fakta yang teramati (Siswantoro, 2005:26-27).
Berdasarkan teori tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa psikologi sastra adalah suatu  ilmu  jiwa  yang meneliti serta mempelajari kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas  psikis manusia yang tercermin dalam  perilaku manusia dan  mempelajari gejala-gejala kehidupan. Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang membicarakan unsur-unsur kejiwaan tokoh fiksional yang terkandung dalam karya. Berkaitan dengan pembicaraan psikologi dan sastra, psikologi analisis merupakan kajian yang paling dekat dengan sastra.
Istilah “psikologi sastra” oleh Wellek dan Waren (1989) diuraikan dalam bentuk esai kritis yang panjang. Kita dapat menyelami betapa pentingnya psikologi sastra untuk menangkap sisi lain dari karya sastra (Endraswara, 2008: 64). Sisi lain di sini adalah kejiwaan tokoh dalam karya sastra tersebut. Dikatakan begitu penting karena dengan mengetahui kejiawaan tokoh, maka pembaca akan mengetahui latar belakang diciptakannya karya sastra tersebut.

MOTIVASI
Dari sekian banyak disiplin ilmiah di lingkungan ilmu-ilmu sosial, ilmu psikologi paling dekat dengan teori motivasi dan aplikasinya. Seperti diketahui, psikologi adalah ilmu yang berusaha mengukur, menjelaskan dan ada kalanya mengubah perilaku manusia. Para psikolog dengan berbagai bidang spesialisasinya telah terbukti mampu memberikan sumbangan nyata terhadap pemahaman dan pendalaman perilaku individual yang sangat bermanfaat dalam memilih dan menentukan penggunaan teori motivasi yang paling tepat. Motivasi merupakan keadaan dalam diri individu atau organisme yang mendorong perilaku kearah tujuan yang ingin dicapai.
Siagian (2004:137) menyatakan bahwa motivasi merupakan akibat dari interaksi seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapinya. Karena itulah terdapat perbedaan dalam kekuatan motivasi yang ditunjukkan oleh seseorang dalam menghadapi situasi tertentu disbanding dengan orang-orang lain yang menghadapi situasi yang sama. Bahkan  seseorang akan menunjukkan dorongan tertentu dalam menghadapi situasi yang berbeda dan waktu yang berlainan pula.
Walgito (2010:240) menyatakan bahwa motivasi itu mempunyai tiga aspek, yaitu (1) keadaan terdorong dalam diri organism (a driving state), yaitu kesiapan bergerak karena kebutuhan misalnya kebutuhan jasmani, karena keadaan mental seperti berpikir dan ingatan, (2) perilaku yang timbul dan terarah karena keadaan, (3) goal atau tujuan yang ingin dituju oleh perilaku tersebut.  Sedangkan menurut KBBI (2005) bahwa motivasi adalah dorongan yang timbul dalam diri  seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu.
1.        Jenis-jenis Motivasi
(a)     Motif Fisiologis
Motif fisiolofis atau dorongan pada umumnya berakar pada keadaan jasmani, misalnya dorongan untuk makan, dorongan untuk minum, dorongan seksual. Dorongan-dorongan tersebut berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan untuk melangsungkan eksistensinya sebagai makhluk hidup. Apabila lapar, ada dorongan untuk makan, dan apabila haus ada dorongan untuk minum, dan sebagainya (Walgito, 2010:244)
(b)   Motif Sosial
Motif sosial merupakan motif yang kompleks, dan merupakan sumber dari banyak perilaku atau perbuatan manusia. Dikatakan motif sosial karena motif ini dipelajari dalam kelompok sosial (sosial group). Motif sosial dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) kebutuhan akan prestasi, (2) kebutuhan untuk berafiliasi dengan orang lain, (3) kebutuhan akan kekuasaan (Walgito, 2010:248).
A.    Perilaku
Perilaku adalah aktivitas atau kegiatan yang ada pada individu sebagai akibat dan adanya rangsangan yang mengenai individu itu sendiri. Sehingga perilaku itu merupakan jawaban atau respon terhadap rangsangan mengenai individu. Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan (KBBI, 2005). Sedangkan menurut Walgito (2010:11) menyatakan bahwa perilaku atau aktivitas merupakan jawaban atau respon terhadap stimulus yang mengenainya. Oleh karena itu, perilaku, lingkungan, dan organisme saling berpengaruh satu dengan yang lain.
1.     Jenis-jenis Perilaku
Perilaku manusia dapat dibedakan  menjadi dua, yaitu perilaku reflektif dan perilaku non reflektif. Pertama, perilaku reflektif adalah adalah perilaku yang terjadi atas reaksi secara spontan terhadap stimulus yang mengenai organisme tersebut. Kedua, perilaku non-reflektif adalah perilaku yang dikendalikan atau diatur oleh pusat kesadaran atau otak.
2.      Pembentukan Perilaku
Seperti telah dipaparkan di atas bahwa perilaku manusia sebagian terbesar adalah berupa perilaku yang dibentuk dan perilaku yang dipelajari. Berkaitan dengan hal tersebut maka salah satu persoalan ialah bagaimana cara membentuk perilaku itu sesuai dengan yang diharapkan.
a)      Cara pembentukan perilaku dengan kondisioning atau kebiasaan.
Cara pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan kondisioning atau kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuk perilaku tersebut. Misalnya, anak dibiasakan gosok gigi sebelum tidur, mengucapkan terima kasih bila diberi sesuatu oleh orang lain, dan sebagainya (Palpov dalam Walgito, 2010:14).
b)     Pembentukan perilaku dengan pengertian.
Pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan pengertian atau insight. Misalnya, datang kuliah jangan sampai terlambat, bila naik motor harus pakai helm, karena helm tersebut untuk pengamanan diri, dan sebagainya. Cara ini berdasarkan atas teori kognitif, yaitu belajar dengan disertai pengertian (Kohler dalam Walgito, 2010:14).
c)      Pembentukan perilaku dengan menggunakan model.
Pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan menggunakan model atau contoh. Misalnya, orang tua sebagai contoh anak-anaknya, pemimpin sebagai panutan yang dipimpinnya, dan sebagainya. Hal tersebut menunjukkan pembentukan perilaku dengan menggunakan model (Walgito, 2010:15).

PEMBAHASAN
Tokoh Larasati atau yang sering dipanggil Ara dalam roman Larasati karya Pramoedya Ananta Toer digambarkan sebagai perempuan yang kuat dan setia terhadap revolusi yang terjadi.  Ara rela berkorban dan  melakukan perjuangan yang besar. Akan tetapi Ara bukan hanya seorang wanita biasa, dia adalah seorang artis yang laku pada masa penjajahan Belanda.
Ara sangat mencintai Tanah Airnya yaitu Indonesia yang pada saat itu sedang dijajah negara Belanda. Ara berkeinginan menjadi pejuang kemerdekaan. Keberadaannya ingin diakui dan Ara merasa memiliki tanggung jawab yang sama untuk memerdekakan negaranya. Ara menuntut kesetaraan hak dan peluang yang sama dengan laki-laki dalam berjuang melawan penjajah. Dari sini, kolonialisme menumbuhkan motivasi Ara untuk berjuang memerdekakan negaranya. Di sisi lain motivasi-motivasi yang timbul menciptakan perilaku tokoh utama ini berubah secara signifikan.
A.    Analisis Motivasi
Dalam analisis motivasi ini akan diuraikan kutipan-kutipan yang mencerminkan motivasi dari tokoh utama yaitu Larasati (Ara). Seperti yang disebutkan dia atas, Ara berkeinginan untuk turut serta memerdekakan negaranya dari cengkeraman Kolonialisme. Biarpun Ara hanya seorang wanita, tetapi keadaan telah memaksa dirinya untuk menjadi wanita yang kuat. Sosok bintang film yang disandang memotivasinya untuk berjuang melawan penjajahan Belanda. Berikut kutipannya.
“ia berjanji dalam hatinya, tidak akan main untuk propaganda Belanda, untuk maksud-maksud yang memusuhi revolusi. Aku akan main film yang ikut menggempur penjajah” (Toer, 2003: 8-9).
Kutipan dari Ara tersebut menarik karena motivasi dari segala apa yang di buat oleh Ara adalah kemerdekaan. Hal ini merupakan dorongan naluri setiap manusia. Kemerdekaan yang memang menjadi hak setiap warga negara, kemerdekaan yang selalu menjadi keinginan setiap orang. Kemerdekaan yang memberi ruang kebebasan untuk bertindak selama tidak mengganggu kebebasan orang lain.
Motivasi juga hinggap pada Ara meskipun Ara menyesal karena lahir sebagai perempuan, tetapi tidak menciutkan dirinya untuk mengusir Belanda dari tanah airnya. Dia selalu berjuang melalui caranya sendiri, dengan membawa selendang pemberian pemuda pejuang Ara melawan prajurit Belanda tanpa rasa takut.
            Diremas-remas selendang merah pemberian prajurit front yang tak dikenalinya. Kalau aku lelaki aku bakar seluruh perkampungan artileri ini. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya ia menyesali kelahirannya sendiri sebagai wanita. Kalau aku lelaki aku bisa berbuat banyak. Daerah ini bisa kalah berkali-kali. Tapi Revolusi tak bakal menyerah! Pada waktunya, mulut-mulut besar ini akan dibabat oleh Revolusi. Semua!” (Toer, 2003: 32).

Kutipan teks tersebut bagus sekali, karena bisa memupuk semangat pemuda-pemuda Indonesia. Ara tak pernah takut dengan revolusi, baginya sebelum berperang tidak boleh merasa takut untuk kalah. Selama kita berjuang urusan kalah atau menang itu silih berganti jadi harus selalu optimis. Keyakinan untuk menang selalu kita pupuk agar semangat melakukan revolusi tetap membara dan berhasil meraih kemenangan. Itulah pesan yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer kepada pembaca.
Selain itu, ungkapan yang disampaikan Ara secara tidak langsung mencerminkan motivasi diri. Hal ini disebabkan penghinaan-penghinaan yang dialaminya. Berikut kutipannya.
”Kemarahanku memang tak berarti. Tapi peristiwa penghinaan demi penghinaan ini takkan mau kulupakan,” (Toer, 2003: 37).
Kutipan di atas secara tersirat menggambarkan motivasi Ara untuk membalas dendam kepada para pengkhianat bangsa. Hal tersebut terlihat dalam ungkapan Ara “takkan mau kulupakan.” Pada kutipan tersebut Pramoedya berhasil menggambarkan suasana yang dramatik.
Kutipan berikut juga mencerminkan semangat Ara untuk meraih kemenangan. Kekalahan yang pernah diderita memotivasi dirinya untuk berjuang. Kutipan di bawah ini hampir sama dengan kutipan sebelumnya. Berikut kutipannya.
“Tidak, aku tidak takut lagi.”
“ Karena kita menang? Salah, perjuangan selamanya mengalami menang dan kalah, silih berganti. Kalau kau menang, bersiaplah untuk kalah, dan kalau kalah, terima kekalahan itu dengan hati besar, dan rebutlah kemenangan.” (Toer, 2003: 108).
Pernyataan Ara di atas menggambarkan ketidaktakutan Ara melawan penjajah. Pesannya, kekalahan harus menjadi motivasi seseorang untuk meraih kemenangan. Indonesia waktu itu memang mengalami keterpurukan, seharusnya hal tersebut memotivasi rakyatnya untuk bangkit. Bagaimanapun juga penjajahan harus dihapuskan. Di samping itu, pernyataan Ara tersebut sekaligus memotivasi lawan bicaranya.
Hal menarik dari kutipan di atas adalah “terima kekalahan itu dengan hati besar, dan rebutlah kemenangan”. Kutipan tersebut mengisyaratkan pada pembaca bahwa kekalahan bukanlah akhir dari segalanya, bisa jadi dengan adanya kekalahan akan menciptakan kemenangan. Pada kutipan yang lain, menggambarkan semangat Ara untuk meraih sebuah kemenangan, padahal pada saat itu dirinya mengalami kekalahan. Berikut kutipannya.
”Jadi Revolusi belum lagi bangkrut sama sekali, sekalipun sudah banyak para pembesar dan penguasa sudah angkat bendera kain mayat! Ia tersenyum. Aku sudah kalah sekarang, tapi Revolusi belum lagi bangkrut! Aku suadah kalah tapi besok, mungkin lusa, mungkinpun sebulan, mungkin setahun lagi, akupun bisa menangkap dia! Debaran jantung sekali ini terasa sedemikian tebal darahnya. Ia terharu. Matanya bekaca-kaca. Indahnya dunia ini bila Pemuda masih tahu perjuangan! (Toer, 2003: 160).
Kutipan di atas hampir sama dengan kutipan sebelumnya, hanya saja Pramoedya Ananta Toer memberikan pesan menarik pada kutipan tersebut. Pesan  tersebut adalah kritisi untuk pemuda-pemuda zaman revolusi, bahkan bisa dikatakan kritisi untuk pemuda-pemuda zaman sekarang. Kritik yang disampaikan adalah “Indahnya dunia ini bila Pemuda masih tahu perjuangan”. Bila kutipan tersebut di tempatkan pada zaman dulu, mengisyaratkan lemahnya pemuda-pemuda dalam melakukan perjuangan, bahkan tidak sedikit yang berkhianat. Bila kutipan tersebut di tempatkan pada zaman sekarang, mengisyaratkan lemahnya pemuda-pemuda Indonesia untuk menjaga budaya bangsa.
Di sisi lain, pekerjaan Ara sebagai artis (pemain film) memotivasi untuk berjuang. Dia seolah-olah menantang seseorang yang ada di hadapannya, bahwa dia mampu berjuang melalui profesinya. Profesi yang dianggap masyarakat sebagai sampah belaka ditampiknya dengan janji-janji yang telah diucapkan. Berikut kutipannya.
“Akan terbukti nanti apakah aku, sebagai bintang film juga sanggup berjuang dengan seniku atau tidak” (Toer, 2003: 9).

“Akan terbukti nanti” menggambarkan janji Ara untuk memenuhi tuntutan sebagai warga Negara yang terjajah. Sebagai artis (bintang film) bukan tidak mungkin melakukan perjuangan. Dari kutipan tersebut, Pramoedya Ananta Toer ingin memberikan pesan kepada pembaca, bahwa jangan pernah meremehkan atau mendiskreditkan profesi seseorang. Dari sini, Pramoedya berhasil menggambarkan suasana secara mendalam pada sebuah perjuangan.
 “Nyawaku toh tidak bakal berharga bagi Revolusi.” Mendengar itu mata opsir itu berapi-api. Mendesak, “Jadi kau tetap republikein. Tidak punya niat masuk NICA*?” Larasati tersenyum. Kembali ia duduk di samping perwira tamunya. “Apa keuntunganku? Dengan bangsaku sendiri aku merasa lebih terjamin. Belanda tidak nonton aku di film. Dan sekiranya mau masuk NICA, bukan main goblok aku ini kalau mengabarkan pada orang lain” (Toer, 2003: 21).
Dari kutipan di atas menyatakan bahwa Ara merasa lebih nyaman dan terjamin hidup bersama bangsanya. Pernyataan ini mengisyaratkan motivasinya untuk berjuang melawan Belanda. Bahkan, Ara menolak mentah-mentah tawaran menjadi anggota NICA.
Revolusi juga mengubah Ara untuk berjuang melawan penjajah. Keterpurukan yang dialami menggugah semangat Ara untuk melakukan sesuatu untuk Negara dan bangsanya. Berikut kutipannya.
“Bumi revolusi masih luas. Bumi jajahan terlalu sempit. Semua orang penting di bumi penjajahan ini tidak bakal lebih dari kau! juga kolonelmu sendiri lebih hina dari kau yang paling tinggi kedudukannya.”
“Kau tidak seperti dulu, Ara.”
“Tentu saja tidak. Apa gunanya Revolusi kalau tidak bisa mengubah aku?” (Toer, 2003: 47).
“Tentu saja tidak. Apa gunanya Revolusi kalau tidak bisa mengubah aku?” Statement yang menarik karena menggambarkan semangat Ara untuk berubah. Dorongan untuk berubah ini termotivasi dari keadaan yang telah dialaminya selama ini. Ara melihat banyak orang-orang di sekitarnya (pribumi) yang menjadi mata-mata (antek) Belanda. Hal tersebut menjadikan Ara marah kepada para pengkhianat bangsa. Dari kenyataan yang ada di hadapannya dia termotivasi untuk terus berjuang. Bahkan Ara mengumpat pengkhianat tersebut. Berikut kutipannya.
Ungkapan-ungkapan Ara atau motivasi-motivasi yang terkandung dalam novel “Larasati” karya Pramoedya Ananta Toer memberikan pesan kepada pembaca untuk selalu berjuang melawan keadaan, walaupun dalam posisi yang lemah. Lebih lanjut, roman ini juga mengisahkan tentang orang-orang yang kalah sebelum berperang, yaitu para pengkhianat bangsa. Pramoedya menjelaskan melalui tokoh Ara, bahwa para pengkhianat tersebut tidak pantas untuk menjadi warga Negara Indonesia, karena jiwa dan raga mereka telah menjadi milik Belanda. Motivasi-motivasi tersebut tentunya memupuk semangat pembaca untuk senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia. Secara keseluruhan, motivasi-motivasi dari Pramoedya untuk pemuda Indonesia yang disampaikan melalui tokoh Ara merupakan hal yang menarik dan berhasil sebagai sebuah cerita motivasi.

B.     Analisis Perilaku
Berdasarkan rumusan masalah, analisis kedua menguraikan tentang perilaku dari Larasati (Ara). Perilaku ini muncul ketika Ara termotivasi untuk berjuang melawan penjajah. Perilaku yang tercermin menggambarkan sikap Ara untuk berperilaku positif menanggapi hinaan dari orang lain. Berikut kutipannya.
“Aku boleh seorang pelacur! Aku boleh seorang sampah masyarakat! Aku seorang bintang film gagal! Tapi beradat! Tidak. Aku juga punya tanah air. Aku, Larasati, bintang Ara. Sedang sebutan miss pun tak pernah aku pakai. Ara! Cukup Ara.” (Toer, 2003: 12).
Berdasarkan kutipan tersebut penulis roman, yaitu Pramoedya sangat jeli menggambarkan keadaan melalui kalimat. Larasati mengakui dirinya sebagai seorang pelacur, tetapi perilaku keterbukaan ini merupakan suatu bentuk pemberontakan dalam dirinya terhadap perilaku para penjajah yang semena-mena. Walaupun Larasati adalah seorang pelacur tetapi masih beradat. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku para Penjajah lebih kotor dari pada pelacur yang dialami oleh Larasati. 
 “Aku juga punya Tanah Air. Jelek-jelek tanah airku sendiri, bumi dan manusia yang menghidupi aku selama ini. Cuma binatang ikut Belanda” (Toer, 2003: 13).
Kutipan tersebut menarik karena Pramoedya mampu membuat statement oposisi biner melalui tokoh Ara. Larasati pun mengakui seberapa jeleknya Tanah Airnya akan tetapi dia juga tersadarkan seberapa dia berhutang kepada Tanah Airnya yang telah menghidupi dia selama ini dan hanyalah  binatang yang merelakan menjual cinta mereka NICA atau Belanda untuk hidup yang berkecukupan. Di mata Larasati hanyalah binatang yang tega menyerah kepada para penjajah,dan apalagi bila tujuannya adalah karena kepuasaan tersendiri, mencari aman atau hanya  material yang ditujunya. Larasati adalah perempuan yang  mempunyai kesetiaan yang tinggi terhadap tanah airnya. Ia menolak ketika ia diminta bahkan didesak untuk masuk  NICA yang merupakan pemerintahan Hindia-Belanda. Ara berkeras hati untuk melawan perintah yang telah diberikan kepadanya oleh perwira Belanda.
Dalam hal ini, sikap ketegasan yang dimiliki oleh Larasati merupakan wujud dari dorongan dalam dirinya untuk  tetap melawan Belanda. Kesertiaannya diuji, namun ia adalah pejuang sejati dengan caranya sendiri. Walaupun Larasati adalah seorang wanita, tetapi hal itu tidak menghalangi dirinya untuk mengikuti perang melawan tentara Belanda. Dia menyadari ajal mungkin akan menjemputnya bila dia mengikuti perang ini, akan tetapi Larasati tetap berani untuk mengikuti perang tersebut. Pada saat itu juga Larasati dipenuhi dengan ketakutan dan kebingungan akan keberadaanya di medan perang. Akhirnya dia pun melepaskan semua kekhawatiran dan ketakutannya, ketika dirinya terjun ke medan perang itu.
“Apa keuntunganku? Dengan bangsaku sendiri aku merasa lebih terjamin. Belanda tidak nonton aku di film. Dan sekiranya mau masuk Nica, bukan main goblok aku ini kalau mengabarkan pada orang lain.” (Toer, 2012:  21)
Kutipan tersebut menyatakan sebuah keyakinan terhadap bangsanya, dan ini ciri khas Pramoedya menggarap karyanya. Larasati menyadari bahwa pada akhirnya  bangsanya sendiri yang akan memberikan jaminan kebebasan terhadap dirinya. Ia tetap bertahan sebagai seorang republiken walau sehari-hari ia selalu bersama orang belanda untuk menghibur mereka. Larasati hanya bisa mendukung dengan memakai status seniman yaitu seorang artis dengan cara bermain film republiken. Akan tetapi dia hanya ditawarkan untuk  bermain film dibawah kendali NICA, dan pastinya dia menolak tawaran itu. Tak  pernah sedikitpun dia berpikir untuk mengkhianati negaranya sendiri, Tanah Airnya. Perilaku Ara juga nampak saat dia melihat orang-orang di sekitarnya yang  terkena imbas tindak kolonialisme dari Pemerintah Belanda. Berikut kutipannya.
“Untuk pertama kali ini Ara menangis begitu lama, seorang diri. Ia menangisi jiwa-jiwa muda yang begitu rela, yang begitu tanpa dosa. Dan, katanya dalam hati, aku adalah penjelmaan dari dosa ini sendiri.” (Toer, 2003: 29).
Dari kutipan di atas, perilaku dari tokoh Ara mencerminkan keprihatinan melihat anak-anak muda yang menjadi korban tindakan Belanda. Bahkan, Ara menyalahkan dirinya sendiri. Kutipan tersebut Pramoedya dengan baik mengriktik kekejaman pemerintah Belanda kepada bangsa Indonesia.
Karakter Larasati berbeda dengan tipikal perempuan-perempuan lainnya, dia akan melakukan berbagai cara untuk menunjukan rasa cintanya kepada Tanah Airnya. Setiap orang pasti diuji kesetiaannya dengan berbagai macam cobaan. Satu-satunya keiinginan yang dimiliki oleh Larasati adalah hidup damai. Ia menyadari bahwa untuk hidup damai tidaklah mudah apa lagi berada di tengah para penjajah. Berbagai cara harus dilakukan.
Dorongan untuk hidup damai ini membuat Larasati nekat melakukan apa saja. Termasuk menjadi pelacur. Dorongan ini muncul dalam dirinya akibat tekanan yang dilakukan oleh para penjajah. Larasati tidak pernah dengan tulus hati menari atau bermain film. Apa yang dilakukannya adalah kemunafikan. Semua sikap ini adalah dorongan untuk hidup damai tanpa ada penjajahan.
Perilaku prihatin terulang saat Ara berdialog dengan salah satu pengkhianat bangsa. Pernyataannya seolah-olah mengumpat Larasati. Berikut kutipannya.
“Kehormatan mana lagi yang mesti kau pertahankan ?” (Toer, 2003: 36).
Apa yang disampaikan Ara tersebut menarik, karena perempuan memang tidak layak dihina. Umpatan di atas dijawab Ara dengan lugas. Di sini Ara menunjukkan bahwa dirinya memang tidak pantas untuk dihina maupun didiskreditkan siapapun. Bahkan, Ara mencerca balik pemuda pengkhianat bangsa tersebut. Berikut kutipannya.
“Kembali air mata membasahi matanya air matanya yang baru sebentar tadi kering. Tetapi Larasati tahu, Terhadap pengkhianat-pengkhianat tak perlu mengalah, Ia pun tak akan pernah. Dan perlahan-lahan ia menjawab,”Memang aku hanya seorang pelacur, tuan kolonel. Tapi aku masih berhak mempunyai kehormatan. Karena, aku tidak pernah menjual warisan nenek moyang.”(Toer, 2003: 36).
Pramoedya, dalam teks tersebut berhasil mengungkapkan dua sisi yang bertentangan (oposisi biner) untuk diperbandingkan. Ungkapan Ara di atas menggambarkan kehormatan sebagai bangsa yang terjajah. Menurutnya, seorang pengkhianat lebih buruk daripada seorang pelacur. Pesan dari kutipan di atas adalah bahwa sebagai warga Negara berkewajiban membela negaranya apabila dijajah oleh Negara lain. Apapun profesinya, seseorang berkewajiban mempertahankan kedaulatan tanah airnya. Pernyataan tersebut dipertegas dengan kutipan di bawah ini.
“Ia ingin suatu kehidupan damai, di mana ia dapat membaktikan seluruh hidupnya dengan kecakap satu-satunya yang dimilikinya. Main film. Bagaimanapun juga kotorrnya namaku, aku akan tetap berguna, kotor? Biar aku kotor, perjuangan tidak akan aku kotori. Revolusi pun tidak! Negarapun tidak! Rakyat apa lagi.” (Toer, 2003: 44).

Perilaku kasar juga terlihat pada sosok Ara yang mencerca (berkata kasar) seorang pengkhianat bernama Mardjohan. Dialog di bawah ini menunjukkan sikap Ara yang tidak senang kepada para pengkhianat bangsa. Berikut dialognya.
”Tiba-tiba Mardjohan memulai, “Engkau beruntung Ara,.
          “Apa untungku? Di seberang kali Bekasi itu akan mengenal banyak kanak-kanak yang mungkin sekarang telah tewas karena merian tuanmu. Apa untungku?”
          “Sttt.”Mardjohan berbisik.
          “Gerombolan binatang!”Larasati berseru setengah memekik.
          “Besok atau lusa kau insaf , kau masih berutung. Aku maafkan kau, Ara.”
          “Binatang!” Larasati mengulangi.
          Kembali sopir itu batuk-batuk
          “Hati-hati dengan mulutmu, Ara.”
          “Apa gunanya? Disini hati-hati dan tidak sama saja hasilnya.”
          “Hati-hati.” Mardjohan mengulangi,” Aku juga bisa hancurkan kau.”
          “Ayoh, hancurkanlah.” (Toer, 2003: 42).
Melalui tokoh Ara, Pramoedya melampiaskan kegeramannya pada pengkhianat. Kutipan tersebut menarik karena dialog mampu membangun suasana yang dramatik. Ara menyebut Mardjoahan sebagai gerombolan binatang, hal ini tidak lain karena Mardjohan bekerja sebagai mata-mata Belanda. Bahkan, Ara menunjukkan sikap tidak takut akan ancaman yang disampaikan Mardjohan. Pramodya Ananta Toer melalui tokoh Ara menyampaikan pesan, bahwa kebenaran tidak akan pernah takut dengan kesalahan. Jika seseorang itu berada dalam pihak yang benar, maka beranilah. Begitulah kira-kira pesan dari pengarang.
Larasati datang jauh-jauh dari Yogyakarta ke Cikampek untuk bertemu dengan ibunya yang sudah setahun lamanya tidak  bertemu dan sepanjang perjalanan dia selalu berdebat dengan dirinya sendiri tentang revolusi. Kesetiannya yang tiada hentinya kepada Tanah Airnya telah menggambaran kokohnya karakteristik Larasati. Walaupun banyak halangan terjadi di perjalanannya ke Cikampek tetap saja dia teguh untuk membela Tanah Airnya. Berikut kutipan perilaku Ara yang mencerminkan pejuang Tanah Air.
“Salvo buat Ara yang setia!” seseorang memekik (Toer, 2003: 29).
Sewaktu dia berangkat menaiki kereta, banyak lelaki-lelaki yang berteriak “Merdeka” ataupun namanya “Ara!” (Toer, 2003: 29).

Setelah sampai ke Cikampek Larasati telah dikira seorang NICA oleh seorang kakek yang merupakan tetangga ibunya mengira bahwa Larasati adalah seorang NICA. Dengan demikian, sang kakek memukul Larasati dengan tongkatnya, sehingga dada Larasati terasa sakit. Telah disampaikan dengan berbagai macam cara untuk menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang inlander tetapi tetap saja tak berguna.
Hal menarik juga terjadi saat Ara bertemu dengan seseorang bernama Didong. Dari pertemuan tersebut Ara tidak menjadi gadis lagi. Anehnya, dengan kejadian itu Ara menjadi bahagia. Berikut kutipannya.
“Habis pertunjukkan, Oom Didong membawanya ke dalam sebuah rumah. Ia tak tahu dimana. Malam itu ia tidur bersama dengannya-dengan pria gagah dan mempesona-duapuluh lima tahun lebih tua dari pada dirinya.  Mana Oom Didong sekarang! Dan pria itu membuat baju gaunnya berbercak-bercak dititiki tetesan tetesan darah. Darahnya sendiri yang membuat ia untuk selama lamanya kehilangan masa para perawannya. Tetapi ia merasa bahagia. Malam itu baginya merupakan malam yang bagi anak anak sebayanya masih merupakan impian. Malam itu pula untuk pertama kalinya ia minum bir sampai mabuk.” (Toer, 2003: 68).
Jika kita mencermati kutipan di atas, maka akan ditemukan kebahagiaan Ara bertemu dengan Didong. Perilaku seperti ini biasa tercermin pada malam pengantin baru. Kutipan tersebut juga mengisahkan jiwa kekanak-kanakan Ara.
Demikian analisis perilaku tokoh Ara dalam novel “Larasati” karya Pramoedya Ananta Toer. Perilaku-perilaku yang tergambar dari tokoh Ara menunjukkan sikap sebagai warga Negara yang baik. Hanya saja, ketika Ara menerima hinaan dari seseorang tentang profesinya jiwanya bergejolak marah. Seolah-olah dengan ungkapannya Ara melakukan pembelaan diri, dan menunjukkan bahwa dirinya bukanlah seperti yang dipikirkan orang lain. Profesi bukan jaminan seseorang itu baik atau buruk. Begitulah kira-kira pesan dari Pramoedya Ananta Toer melalui tokoh Larasati (Ara). Berikut ini bagan pola dasar penelitian psikologi sastra novel “Larasati” karya Pramoedya Ananta Toer.

NOVEL LARASATI

TEORI PSIKOLOGI SASTRA

MOTIVASI

PERILAKU
 






                                                                                    

BAIK

BURUK
 


SIMPULAN
Untuk lebih jelas mengenai roman Larasati karya Pramoedya Ananta Toer, penulis menafsirkan inti dari cerita roman tersebut, yaitu tokoh utama yang bernama Larasati (Ara) yang mengalami gejolak jiwa karena dihadapkan dengan kenyataan. Kenyataan di sini menggambarkan keterpurukan Larasati ketika menghadapi sistem kolonialisme yang melanda negaranya. Dari kejadian-kejadian yang dialami membuat Larasati termotivasi untuk melawan penjajah, serta mengubah perilaku Larasati untuk menghadapi segala persoalan hidupnya.
Dalam penelitian ini analisis motivasi menggambarkan semangat Larasati untuk turut serta berjuang melawan kolonial Belanda. Profesi sebagai pelacur dan bintang film tidak menghalanginya untuk tetap mencintai negaranya. Di samping itu, Larasati menganggap bahwa profesinya lebih baik daripada pengkhianat bangsa. Semangat perjuangannya juga di dapat dari keterpurukan ibunya. Tanpa sadar ibunya telah mendorongnya untuk menjadi warga Negara yang baik.
Sedangkan analisis perilaku menggambarkan perubahan sikap Larasati menelaah kehidupan. Perubahan ini di peroleh dari keadaan yang memaksanya untuk dihadapkan pada berbagai pilihan, yaitu berjuang untuk bangsa dan tanah air atau hanya diam menunggu. Dari hasil analisis, Larasati mengalami perubahan perilaku positif, yaitu merasa bahwa dirinya memunyai kewajiban memertahankan kedaulatan negaranya, biarpun dia hanya seorang pelacur dan bintang film.
Pemaparan di atas dapat ditelaah dengan menggunakan teori psikologi. Dalam hal ini, teori psikologi bertujuan untuk mengungkapkan gejala jiwa yang dialami tokoh dalam karya sastra. Gejala jiwa tersebut bisa berupa motivasi diri atau perilaku yang dialami tokoh tersebut. Selain itu, para peneliti dapat menggunakan teori psikologi untuk mengungkapkan kelainan jiwa yang dialami tokoh dalam karya sastra.

DATAR PUSTAKA
Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogjakarta: PBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: Media Presindo.
Kasnadi dan Sutejo. 2010. Kajian Prosa: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Felicha
Mahayana, Maman S. 2005.”Dakwah Agama dalam Sastra” dalam 9 jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Oreantasi Kritik. Jakarta: Bening Publising.
Moleong, J, Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muhibbinsyah. 2001. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Novia, Windy. 2008. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Khasiko.
Pradopo, Rachmad Djoko. 2010. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Cetakan VII, cetakan I April 1995. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra : Analisis Psikologis. Yogyakarta: Muhammadiyah University Press.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Teeuw. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra, cetakan kedua. Jakarta: Pustaka Jaya dan Girimukti Pasaka.
Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Larasati. Jakarta: Lentera Dipantara.
Walgito, Bimo. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.
Wellek, Rene dan Austin Waren. 1989. Teori Kesusastraan. Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wellek, Rene dan Austin Waren. 1995. Teori Kesusastraan. Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wellek, Rene dan Austin Waren. 2009b. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



Komentar